Share

Jebakan

Meskipun suasana hatinya sedang tidak baik, Nadira tetap menjalankan tugasnya sebagai menantu didalam rumah itu. Lihatlah bagaimana rupa perempuan yang sedang mencuci peralatan bekas masak di wastafel itu, jelas sekali bahwa dia tidak ada tidur sama sekali semalam.

Mertua dan adik iparnya sudah pergi keluar melakukan kesibukannya masing-masing. Tinggal Nadira dan Aryan si bayi kecilnya lah yang ada didalam rumah. Sampai akhirnya suara derit engsel pintu terdengar dari arah depan.

Nadira yang langsung familiar dengan sosok laki-laki yang baru masuk itu pun berjalan mendekati.

“Mas Aldi. Kamu dari mana aja, kenapa enggak pulang tadi malam, Mas?” Nadira bertanya dengan raut khawatir.

Sayangnya, kepedulian yang Nadira berikan tidak disambut dengan baik oleh Aldi. Pria itu malah melengos didepan Nadira.

“Sudahlah, Nad. Aku mau ganti baju. Ini sudah hampir siang, aku harus segera pergi ke kantor,” jawabnya sambil berlalu.

Nadira mengikuti langkah kaki suaminya yang berjalan menuju kamar mereka. Banyak sekali kalimat-kalimat yang terpatri dalam kepalanya untuk ditanyakan kepada Aldi. Bahkan, sebelum memulai semua itu, sesak didalam dadanya perlahan-lahan menggerogoti hatinya.

“Mas, kenapa kamu jadi begini sih?” Nadira akhirnya menarik lengan suaminya. Karena pria itu tak terlihat peduli dengan semua perkataan yang ia ucapkan.

Dengan keras Aldi menghempaskan tangan Nadira yang hampir melingkar pada lengannya.

“Mau kamu apa sih, Nad?” Wajah pria itu mulai pias oleh emosi, “Aku gak punya banyak waktu

lagi. Aku harus segera berangkat ke kantorku.”

“Setidaknya kamu jawab tadi malam tidur dimana, Mas?”

“Aku tidur bersama wanita yang jauh berkali-kali lipat dari kamu!”

Tenggorokan Nadira rasanya tercekat. Dadanya makin terasa sesak mendengar ucapan Aldi yang menyebutkan wanita lain tepat didepan wajahnya.

Bahkan, ia dibandingkan dengan perempuan yang Nadira tidak tahu seperti apa bentuknya itu.

Air matanya kembali mengucur. Batinnya sakit hingga kedua kakinya tidak bisa lagi menopang keseimbangan tubuhnya. Nadira terduduk ditepi ranjang yang sudah rapi itu. Tangannya meremas-remas pahanya seraya melampiaskan kekecewaan yang teramat besar dalam dirinya.

***

Sekitar pukul sepuluh Nadira pergi keluar dari rumah bersama dengan bayi kecilnya. Tidak lupa dia mengunci semua pintu dan jendela supaya ibu mertuanya tidak mengomel begitu melihat dirinya tidak ada didalam rumah.

Rencananya hari ini Nadira ingin pergi mengunjungi neneknya. Sudah hampir sebulan ia tidak bertemu dengan orang yang sudah merawatnya itu hingga besar. Terakhir kali bertemu adalah saat Nadira melahirkan di rumah sakit.

Awalnya neneknya juga berniat merawat Nadira pasca melahirkan. Tapi, sayangnya ibu mertua Nadira keberatan dengan kedatangan neneknya.

Tidak sampai setengah jam dengan mengendarai taksi, Nadira pun sampai dirumah neneknya. Rumah yang terlihat biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Namun, didalam sanalah Nadira dibesarkan dengan sangat baik oleh neneknya.

“Assalamualaikum, Nek.” Nadira mengucapkan salam begitu tiba didepan pintu rumah.

Tak lama Halimah pun menjawab salam dari dalam dan membuka pintu. Senyum di wajah yang mulai sudah keriput di banyak bagian itu menghangatkan hati Nadira. Hatinya sedikit tenang melihat wanita tua rentah didepannya sehat dan baik-baik saja.

Nadira lalu masuk, Aryan sendiri sudah dibawa oleh gendongan Halimah. Mereka kemudian duduk di kursi ruang tamu.

“Kamu kenapa gak sama suamimu, Nad?” tanya Halimah karena cucunya itu tiba-tiba mengabari akan datang ketempatnya.

Nadira hanya tersenyum tipis, neneknya tidak boleh tahu bahwa hubungannya dengan Aldi sedang pahit. Bisa-bisa penyakit jantung Halimah kambuh.

“Mas Aldi sibuk, Nek, di kantornya. Mungkin lain kali dia jenguk nenek bareng sama Nadira,” jawabnya penuh kebohongan.

Halimah hanya mengangguk, Aryan yang dipangkuannya nampak menggeliat saat mereka sedang berbincang.

“Kamu baik-baik saja kan, Nad?” tanya Halimah, “Lihat kamu sampai kurus begitu?”

“Nadira baik-baik aja, kok, Nek. Mungkin karena nyusuin Aryan sama sedikit kurang tidur aja,”

ungkapnya agar Halimah tidak khawatir.

“Kamu itu harus banyak-banyak makan yang sehat dan bergizi, Nad. Jangan sampai stress, ingat itu bisa mempengaruhi anak kamu juga,” ucap Halimah memberi nasehat.

“Iya-iya nenek aku yang paling cerewet nan bawel ini. Nadira pasti dengerin nasehat nenek kok.” Nadira memberi senyum lebar pada wanita tua itu.

“Oh iya, Nek. Nadira boleh titip Aryan disini sebentar boleh gak?” ucapnya menyampaikan tujuan utamanya kenapa datang kerumah ini.

Halimah mengernyitkan dahinya yang sudah banyak flek hitam itu, “Kamu mau kemana memangnya?”

“Nadira ada urusan sebentar. Bisa kan? Susu dan kebutuhan Aryan sudah Nadira persiapkan kok disitu,” jawabnya sedikit memelas sambil menunjuk tas berukuran kecil diatas meja.

“Ya sudah. Jangan terlalu lama perginya, kasihan bayi kamu kalau ditinggal lama-lama,” kata Halimah mengingatkan.

“Iya, Nek. Pokoknya nanti kalau ada apa-apa telpon aja Nadira, ya?” Halimah mengangguk.

“Kalau gitu Nadira pergi dulu ya, Nek,” Ia pun bangkit mendekati Halimah dan juga anaknya, “Aryan jangan nakal ya sama Opah,” imbuhnya sambil mencium kening sang anak.

Setelah selesai berpamitan, Nadira segera mencari kendaraan melalui aplikasi ponselnya. Tujuan menitipkan anaknya kepada neneknya tak lain tak bukan karena memang ada hal penting yang harus ia lakukan.

Taksi online yang Nadira pesan sudah merapat didekatnya setelah kurang lebih sepuluh menit dia menunggu. Nadira menyebutkan alamat tujuannya kepada sang supir.

Seiring roda mobil itu berputar, Nadira juga semakin menguatkan dirinya sendiri. Hal yang ia lakukan sudah tepat, Nadira hanya ingin segera meluruskan permasalahan yang sedang rumah tangganya dera.

Setelah menuntaskan perjalanan hampir setengah jam, akhirnya Nadira sampai didepan gedung dengan belasan lantai yang berdiri kokoh dihadapannya.

Gedung itu adalah perusahaan M.Corps tempat suaminya bekerja. Aldi pasti terkejut dengan kedatangan Nadira nantinya. Tapi, Nadira terpaksa harus melakukan ini.

Udara siang itu coba ia tarik banyak-banyak supaya memenuhi rongga paru-parunya yang sedikit sesak. Gugup bercampur takut, itu perasaan yang Nadira rasakan sekarang.

Setelah mengumpulkan tekad kuat-kuat, ia pun mulai melangkahkan kakinya menuju ke pintu masuk perusahaan itu.

“Permisi, Mbak. Saya mau tanya. Ruangan kerja atas nama Aldi Gunawan dimana, ya?” tanya Nadira ramah pada gadis muda yang berjaga di meja resepsionis.

“Dengan ibu siapa?”

“Nadira, Mbak.”

“Baik. Sebentar ya, Bu. Saya periksa sebentar.”

Sambil menunggu, Nadira mengamati sekeliling perusahaan itu. Semua orang berpakaian rapi dan juga memakai riasan diwajah bagi yang perempuan. Sebenarnya ada sedikit rasa iri dalam hatinya.

Pasti menyenangkan bisa bekerja ditempat seperti ini. Ia mengakui bahwa dirinya menjadi sedikit rendah, apalagi penampilannya yang sungguh memprihatinkan ini. Kalau tahu begini, Nadira pasti akan memoles wajahnya sedikit. Semoga saja Aldi tidak kesal karena tampangnya yang sedikit urakan itu.

“Ruangan Pak Aldi ada di lantai tujuh, ya, Bu,” Gadis resepsionis membuyarkan kehaluan Nadira.

“Ah, iya. Terimakasih.”

Tidak mau lagi membuang waktu, wanita itu pun segera mencari jalan untuk menuju ke lantai tujuh yang tadi disebutkan.

Nadira melihat kearah lift yang tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Dengan cepat ia segera melenggang kesana.

“Yah ... “ keluhnya setelah melihat ada papan terpampang disamping pintu lift, dan menunjukkan bahwa alat itu sedang dalam proses perbaikan.

Sementara Nadira yang masih menggerutu sendiri didekat lift. Clara dibuat terkejut karena melihat wanita itu tiba-tiba berada didalam gedung perusahaannya. Apa mungkin Nadira datang kesini untuk melabrak dia dan juga Aldi. Tetapi, agak mustahil karena wanita itu tidak pernah bertemu dengan Clara secara langsung. Sebaliknya, Clara tahu seperti apa wajah Nadira karena pernah melihatnya di ponsel Aldi.

Dengan terburu-buru dan wajah yang semakin panik, Clara meraih gawainya dan segera mencari kontak Aldi, lalu menghubungi laki-laki itu.

“Aldi ... wanita itu kenapa bisa ada di perusahaan ini?” racau Clara begitu panggilan tersambung.

“Wanita? Siapa wanita yang kamu maksud?” Aldi menjawab tak mengerti.

“Nadira. Dia sedang berada disini!”

“Astaga! Apa yang harus aku lakukan? Enggak boleh ada yang melihat Nadira dan aku bertemu disini!” Aldi ikutan berseru panik dari seberang telepon.

“Kamu tenang dulu. Biar aku coba handle masalah ini,” Clara mencoba menggunakan otak cerdiknya untuk menemukan ide, “Sekarang lebih baik kamu bersembunyi tidak peduli dimana, yang penting jangan berada diruangan. Aku bakal nyoba mencegah wanita itu sampai disana.”

Panggilan telepon itu diputus sepihak oleh Clara. Dia mencari kontak lain, seseorang yang cukup dia percaya bisa menangani masalah ini.

Sementara Nadira sepertinya memilih menggunakan tangga darurat daripada menunggu perbaikan selesai.

Clara cukup lega karena pintu lift karyawan sedang tidak bisa digunakan. Setidaknya ia bisa mengulur waktu untuk melakukan sesuatu.

“Halo...cepat kamu kejar wanita yang berada di pintu lift. Cegah dia supaya tidak bisa sampai ke lantai tujuh,” Perintahnya sambil terus menatap tajam sosok Nadira dari jauh.

Nadira mulai menanjaki anak tangga satu persatu. Dia mengeluh dalam hati karena melihat panjangnya jalan yang akan ia daki. Untungnya, Nadira hanya menggunakan sepatu tanpa hak. Kalau tidak, bisa habis kakinya merasakan pegal.

Saat tiba dilantai dua tangga darurat Nadira berhenti. Matanya melotot karena dikejutkan oleh sesuatu yang cukup membuat jantungnya hampir melompat. Didepannya ada seorang wanita yang berbaring dengan keadaan yang sangat memprihatinkan.

Wanita yang nampak kesusahan bernapas itu terlihat memegangi dadanya. Nadira yang menyaksikan itu tentu merasa tidak tega dan segera menghampiri. Namun, saat ia berhasil berada disisi orang itu, ibu-ibu yang Nadira taksir usianya baru empat puluhan itu mendadak pingsan.

Nadira panik bukan main. Ia coba periksa napas yang keluar dari mulut wanita yang kini berbujur dilantai, hampir tidak terdengar sama sekali.

Baiklah, Nadira beralih kearah dada untuk mendengarkan detak jantung. Hal itu lebih mengejutkan karena ia tidak mendengar apapun juga.

Sambil menatap sekeliling dengan wajah yang sudah berkeringat karena panik, Nadira mencoba mencari pertolongan. Tetapi, Nadira takut jika ia tidak melakukan apapun sekarang ini, bisa-bisa wanita itu benar-benar akan meninggal. Ah, Nadira benar-benar merutuki dirinya sendiri karena memiliki otak yang bodoh.

Namun, Nadira tiba-tiba teringat dengan beberapa scene drama dengan tema kedokteran yang sering ia tonton.

“Aku coba gak ya?” Nadira bergumam sendiri. Ia ragu apakah yang sedang dipikirkan adalah sebuah solusi atau tidak.

Disisi yang tak jauh dari tempat Nadira berada, seorang pria tampak bersembunyi. Dia adalah orang suruhan Clara yang diperintah untuk mencegah Nadira naik.

Pria yang rapi dengan stelan jas itu sepertinya juga salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan ini. Dia belum melakukan apapun, masih mengamati dari jarak beberapa meter.

Akhirnya, Nadira memutuskan untuk melakukan CPR pada wanita yang sudah tidak sadarkan diri itu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Nadira meletakkan kedua telapak tangannya diatas dada wanita itu. Lalu sambil menghitung satu dua tiga dalam hati, Nadira mulai menekan-nekan dada ibu itu.

Pria suruhan Clara mengeluarkan ponselnya. Diam-diam merekam apa yang sedang Nadira lakukan. Dia tidak tahu apakah ini akan berguna nantinya. Tetapi otaknya memerintah lebih baik melakukan hal itu.

Setelah beberapa kali melakukan CPR, Nadira mencoba mendengarkan denyut jantung orang itu. Nihil, tidak ada tanda-tanda sama sekali. Ia coba mengelap peluh yang membasahi dahinya. Perasaannya memburuk, wanita yang tidak sengaja ditemukannya itu benar-benar sudah meninggal dunia.

Nadira segera bangkit. Ia harus melaporkan kejadian ini kepada pihak perusahaan. Ia kemudian kembali menuju tangga darurat yang tadi dilewati. Bahkan tidak sadar gelang tangannya terjatuh dilantai.

Pria yang diam-diam mengamati Nadira masih bersembunyi. Saat keadaan sudah kembali lengang, dia mengambil gelang yang terjatuh tadi, kemudian pergi dari tempat itu.

Didalam ruangannya, Clara berjalan bolak-balik karena cemas. Sampai suara ketukan pitu terdengar dari luar mengubah fokusnya. Rupanya itu adalah orang suruhannya. Dengan cepat, pintu itu kembali tertutup rapat.

“Apa yang kamu lakukan disini!?” serunya dengan mata melotot. Jelas-jelas tadi dia menyuruh untuk mengejar Nadira, “Saya minta kamu untuk mengejar dia!”

“Tenang saja, Bu. Wanita itu tidak akan naik sampai ke lantai tujuh,” ucap pria itu sambil tersenyum miring.

“Apa maksud kamu? Siapa yang berbaring dilantai itu?”

Pria itu lalu menunjukkan rekaman video yang ia ambil dengan gawainya pada Clara.

“Saya punya ide bagus untuk ibu,” katanya lagi, “Bagaimana kalau kita jebak wanita itu,” imbuhnya.

Clara berkedip mata tak paham, “Menjebak bagaimana maksud kamu?”

“Bukannya dia perempuan yang ingin ibu singkirkan?”

Clara tidak kaget kalau pria itu mengetahui apa yang ia inginkan. Bagaimanapun, orang itu adalah kaki tangan kepercayaannya yang selalu membantunya membereskan masalah.

“Lalu, ide apa yang kamu dapatkan?” Clara menjadi sedikit tertarik.

Sebelum menyampaikan isi otaknya, pria itu kembali tersenyum licik, “Kita buat dia menjadi

orang yang membunuh karyawan perusahaan yang meninggal itu,” ucapnya.

Clara sontak menutup mulutnya karena terkejut dengan ide yang dilontarkan pria itu barusan.

“Wanita yang tergeletak itu meninggal?” Pria itu mengangguk cepat.

“Untungnya, sudut kamera yang saya rekam sangat cocok untuk membuat jebakan itu, Bu. Dan yang mesti kita lakukan adalah mengotak-atik CCTV yang ada di lantai darurat dan kemudian melaporkan wanita itu pada polisi sebagai tersangka pembunuhan.”

Ide yang sangat cemerlang milik pria itu disambut hangat oleh Clara. Tidak disangka-sangka ada kebetulan yang sangat menguntungkan baginya.

Padahal dia masih memikirkan cara untuk menyingkirkan wanita itu supaya tidak mengacaukan hubungannya dengan Aldi. Ternyata malah datang momen seperti ini.

Clara tersenyum lebar karena merasa puas.

Di lantai bawah perusahaan, Nadira sudah menyampaikan apa yang dia saksikan pada Resepsionis. Ia tidak lagi kepikiran soal menghampiri ruangan suaminya yang berada di lantai tujuh. Pikirannya kacau karena menyaksikan wanita yang ditolongnya malah meninggal tepat dihadapannya.

Nadira memutuskan untuk berdiri disana sambil menunggu ambulans yang dipanggil datang.

Beberapa menit kemudian, rombongan polisi pun datang. Nadira pikir mereka ingin meninjau TKP secara langsung. Ia juga sudah bersiap-siap jika nanti polisi memintai keterangan kesaksian padanya. Karena, Nadira adalah orang pertama yang menemukan wanita itu.

“Siapa yang bernama Nadira disini?” tanya salah satu polisi dengan perutnya yang sudah terlihat buncit.

Nadira pun yang merasa terpanggil mengangkat tangannya, “Saya, Pak.”

Beberapa polisi pun akhirnya turut mendekati Nadira, “Anda kami harap untuk ikut kekantor

polisi untuk proses penyelidikan,” ucapnya.

Nadira yang langsung merasa ada kejanggalan atas apa yang disampaikan oleh bapak polisi itu pun segera berkomentar, “Bukannya harusnya saya dimintai keterangan kesaksian ya, Pak” ucapnya.

“Anda adalah orang yang saat ini dianggap sebagai tersangka pembunuhan. Ada saksi yang sudah melaporkan anda.”

Nadira melotot, dia menggeleng cepat dan menolak tangan polisi yang hendak memasang borgol di pergelangan tangannya, “Pak ... ini sepertinya ada salah paham. Saya adalah orang yang menemukan wanita itu, bukan pembunuhnya,” jelasnya, Nadira sudah berkaca-kaca karena takut apa yang sedang terjadi kepadanya.

Banyak karyawan menaruh mata pada Nadira saat ini. Lebih lagi rumor pembunuhan yang disebarkan dari seorang anonim dengan cepat meluas.

.Diantara keramaian itu terdapat Clara yang menyunggingkan senyum picik sambil menatap dari kejauhan.

“Apa yang terjadi? Kenapa Nadira bisa dibawa oleh polisi?” Aldi berseru kaget begitu tiba disebelah Clara. Wanita itu memang sempat mengabarinya.

“Kamu tidak lihat? Satu masalah sudah beres?” serunya masih melihat rombongan polisi.

“Apa ini ulahmu, Cla?” tanya Aldi. Ia melirik Clara dengan sedikit ngeri. Ada rasa tidak tega saat dia melihat Nadira diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun perempuan itu sudah cukup lama hidup bersamanya, dan Aldi mengenal Nadira sangat baik.

“Kenapa? Kamu kasihan dengan wanita itu?” Clara memandangnya sengit.

Ah, Aldi tak tahu harus berkata apa lagi. Clara memberinya tatapan mengintimidasi yang membuat nyalinya ciut.

Clara menghela napas, “Satu masalah sudah beres. Selanjutnya tinggal memikirkan cara agar kamu bisa oleh Papa,” ucapnya sambil melenggang pergi begitu saja.

Aldi masih berdiri ditempatnya, menyaksikan Nadira yang sudah dibawa kedalam mobil polisi. Entah apa yang sudah dilakukan oleh Clara hingga bisa membuat Nadira seperti itu.

Sementara diluar pintu perusahaan seorang pria muda berdiri menyaksikan keramaian sejak tadi. Menatap dengan iba dari kejauhan. Sebuah sambutan yang unik setelah sekian lama kembali lagi ke perusahaan ini.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status