Share

Suami Kedua Untuk Istri Yang Terdzolimi
Suami Kedua Untuk Istri Yang Terdzolimi
Penulis: Sponjey

Perceraian

“Mas … kamu harus jelasin sama aku, ini ada apa sebenarnya?” Wanita itu bertanya dengan wajah yang sedikit pucat, bayangan hitam dibawah matanya jelas terpapar akibat harus begadang karena bayi kecil mereka yang belum lama lahir kedunia ini.

Selembar kertas putih yang tiba tadi sore dikirim oleh seorang kurir itu dipegang lewat tangan kurusnya, meremas menahan kepedihan yang mulai mencuat dalam hatinya. Namun, laki-laki yang sehari-harinya diidam-idamkan akan menjadi pemimpin untuk masa depannya kelak, hanya terdiam duduk ditepi ranjang dengan seprai berwarna biru dengan motif kotak.

“Apa maksud dari surat ini, Mas?” Nadira bertanya lagi dengan suara yang lirih. Batinnya menjerit marah ingin segera mendengar respon dari suaminya itu.

Aldi tidak berani menatap wanita yang sudah menemaninya hampir tujuh tahun belakangan dalam hidupnya itu. Matanya menilik kesisi lain supaya netra keduanya tidak saling beradu.

“Kamu bisa membacanya sendiri, Nad,” jawabnya datar.

Mata yang sejak tadi menahan mati-matian supaya cairan yang terbendung disana tidak tumpah, bak air bah perlahan menetes, mengalir membasahi kulit pipinya. Meskipun dia hanya seorang wanita lulusan SMA, tetapi dia sangat paham makna dari selebaran putih dengan namanya yang tercetak disana. Nadira hanya tidak mengerti, kenapa ada surat dari pengadilan agama yang ditujukan padanya dari Aldi-suaminya.

Perasaan hubungan mereka tidak ada masalah apapun. Semuanya baik-baik saja seperti biasanya. Mungkin hanya ibu mertuanya saja yang sampai saat ini belum sepenuhnya menerima Nadira sebagai istri dari Aldi. Tetapi, itu bukanlah masalah besar yang sampai-sampai membuat Aldi harus memberi surat cerai padanya.

“Aku butuh penjelasan dari kamu, Mas. Apa maksud dari surat gugatan cerai ini?” Nadira hampir histeris, untungnya dia masih bisa menahan emosi yang kian membara didalam dadanya. Ada putranya yang tertidur nyenyak di ranjang bayi yang tak jauh dari kasur mereka.

“Apa salahku sampai kamu tiba-tiba memberikan ini,” imbuhnya.

“Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Nad.”

Langit sangat cerah malam ini. Bahkan bulan yang bulat sempurna tersenyum diatas sana memanggil-manggil para pemuja malam supaya menyaksikan pesonanya. Berbeda dengan Nadira, dirinya bak disambar petir saat itu juga. Dadanya sesak serasa habis ditimpuk beratus kilo beban hingga sakitnya mengalahkan saat dia melahirkan normal anaknya waktu itu.

Apakah ucapan Aldi itu menjelaskan semuanya? Tentu saja tidak.

Air mata sudah tidak lagi dihitung jatuh berapa tetes ke lantai. Tapi yang jelas Nadira tidak menerima alasan dari suaminya barusan.

“Kamu bercanda, Mas? Kamu tidak lihat anak kita?” Nadira mencoba menunjukkan pada Aldi seorang bayi laki-laki kecil yang sejak tadi lelap dan sama sekali terganggu oleh ketegangan yang dibuat oleh kedua orang tuanya, “Dia buah cinta kita berdua, Mas. Dia adalah bukti dari cinta kamu dan aku.”

Aldi perlahan menoleh pada ranjang berukuran sedang milik putra kecilnya itu. Sejujurnya hatinya terguncang dan hampir sedikit tersadar dengan sebuah keputusan besar yang sudah dia buat beberapa hari lalu. Tetapi, sebuah pikiran lain kembali berhasil menguasainya dan menghempaskan opini tentang dua orang yang berada didalam kamar itu bersamanya.

“Nad, aku cuma mau kita pisah baik-baik. Kamu jangan membuat semuanya menjadi sulit seperti ini,” Nada Aldi sedikit naik, apalagi melihat wanita itu tidak henti meneteskan air mata. Hati kecilnya merasa sedikit tidak tega, namun dia harus melakukan ini jika mau mendapatkan impian besar masa depan yang sudah menantinya tidak lama lagi.

“Tapi aku gak mau pisah sama kamu, Mas. Tolong jangan seperti ini! Bagaimana dengan Aryan kalau kamu dan aku cerai?” Nadira menggoyang-goyangkan bahu milik suaminya itu, berharap semoga lelaki itu kembali sadar bahwa melakukan hal itu adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal. Terlebih lagi untuk anak satu-satunya mereka---Aryan.

“Kamu gak perlu khawatir, Nad. Aku pasti bakal memberikan nafkah wajib untuk Aryan.”

“Bukan itu yang aku maksud, Mas. Kenapa kamu jadi seperti ini sih, Mas. Apa salah aku sampai kamu melakukan ini?”

Nadira terduduk dilantai. Dadanya bergetar hebat, dia menggigit bibir supaya suara tangisnya tak pecah. Hatinya sangat sakit. Tubuhnya tidak terlalu sehat sejak dia melahirkan anaknya sebulan lalu. Belum lagi ibu mertuanya yang masih tidak acuh padanya. Ia pikir setelah Nadira memberikannya cucu yang tampan dan menggemaskan, perlahan ibu mertuanya akan mulai menerimanya, malangnya itu hanyalah bayangan manis Nadira semata, tidak ada yang berubah.

Aldi bangkit, melirik perempuan yang sebentar lagi akan menyandang sebagai mantannya itu dengan sedikit iba. Sayangnya ego besarnya lebih memilih untuk melenggang dan akhirnya keluar dari kamar itu.

Diluar kamar milik Nadira dan Aldi itu, dua orang wanita yang juga tinggal didalam rumah itu sejak tadi diam-diam menguping pembicaraan mereka. Salah satu satu dari perempuan itu adalah Ratih, yang merupakan ibu Aldi atau ibu mertua Nadira. Sedangkan perempuan satunya adalah Rani, adik perempuan Aldi, juga merupakan adik ipar Nadira.

Pintu yang tiba-tiba dibuka dari dalam membuat Ratih dan Rani terkejut bukan main. Mereka berdua langsung salah tingkah karena Aldi keluar dari kamarnya. Ratih buru-buru menarik tangan anaknya itu untuk menuju kedalam kamarnya. Dia ingin memastikan apakah yang sejak tadi dia dengar itu memang benar.

“Kamu akan bercerai dengan Nadira?” Ratih bertanya dengan tidak sabar.

“Iya, Kak. Kenapa kamu tiba-tiba ingin menceraikan mbak Nadira?” Rani ikut nimbrung bertanya.

Aldi menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya pelan. Sebenarnya dia malas sekali harus menjelaskan pada ibu dan adiknya tentang yang sedang terjadi saat ini. Kepalanya juga cukup pusing karena memikirkan semuanya.

“Aldi tidak mencintai Nadira lagi. Jadi, Aldi ingin menceraikan dia,” jawabnya persis saat Nadira menanyakan hal itu.

“Kamu bercanda, Kak?” Rani menatap tak percaya. Pasalnya dia menjadi salah satu bukti betapa tergila-gilanya dulu pria itu pada Nadira. Bahkan, ibunya sampai sekarang masih menolak menerima wanita itu sebagai menantunya. Tetapi, kakak laki-lakinya tetap dengan keras kepala menjadikan Nadira sebagai istrinya.

“Tidak, Ran. Kakak serius akan menceraikan Nadira,” jawabnya teguh.

Ratih menepuk lengan anak perempuannya itu, “Kamu tidak usah ikut campur. Kakakmu pasti sudah terbuka matanya. Makanya sekarang dia sadar bahwa Nadira itu bukan wanita yang cocok buat Aldi.”

Ratih bahkan tidak penasaran lagi mengenai alasan sebenarnya putra tertuanya itu bercerai. Bagaimanapun, dia memang tidak pernah puas dengan Nadira sebagai menantunya.

“Mama gak boleh seperti itu, Ma. Bukannya mbak Nadira juga sudah kasih cucu buat Mama?” Rani tidak tega saat melihat kakak iparnya tadi menangis. Dia memang sempat melihat keadaan Nadira saat didalam kamar tadi meskipun hanya dengan sedikit celah.

“Itu urusan lain. Hal yang terpenting sekarang adalah mendukung keputusan kakak kamu. Ingat, semua yang kita dapatkan sekarang, kuliah kamu juga, itu adalah hasil kerja keras kakak kamu,” Ratih lalu beralih pada anak laki-lakinya, “Dan Aldi, Mama akan dukung semua keputusan kamu,” imbuhnya.

“Terimakasih, Ma,” ucap Aldi.

Rani benar-benar tidak bisa berkata-kata apalagi. Bahkan dia masih tidak bisa percaya bahwa kakaknya akan bersikap seperti ini. Biasanya apapun yang dikatakan oleh ibu mereka bila itu menjelek-jelekkan Nadira, Aldi akan langsung menegur ibunya. Tapi, ini berbeda sekali dan rasanya sangat tidak bisa dipercaya.

Daripada ikut sakit kepala memikirkan apa yang baru saja terjadi, Rani lebih memilih untuk keluar dari kamar ibunya. Meninggalkan kedua orang itu yang tidak tahu membicarakan apalagi. Yang jelas saat ini dia ingin menemui kakak iparnya. Pasti wanita itu sangat kesakitan sekarang.

“Mbak … boleh Rani masuk?” ucapnya saat sudah berada didepan pintu kamar Nadira.

Suara Nadira terdengar sangat lirih saat memberi ijin pada Rani. Wanita itu sudah tidak menangis lagi. Tapi matanya masih sedikit basah bekas jejak air mata yang tersisa.

Wanita itu masih bisa memberikan senyum tipis pada adik iparnya saat masuk kedalam kamarnya. Nadira tidak lagi duduk dibawah lantai, melainkan di tepi kasur dekat ranjang milik anaknya yang masih terlelap.

“Ada apa, Ran?” tanya Nadira dengan wajah yang membuat hati Rani terenyuh tidak tega.

Rani pun turut duduk disebelah wanita itu. Bisa dilihat wajah yang super sangat melelahkan itu.

Rani menjadi sedikit merasa bersalah karena selama ini tidak bisa membantu banyak. Rani selalu sibuk dengan kegiatan kuliahnya. Belum lagi dia mengambil pekerjaan paruh waktu, sehingga hampir jarang berada dirumah. Dia tidak bisa selalu membantu jika Nadira sedang kesusahan.

“Mbak … kamu baik-baik saja?” Hanya itu yang bisa Rani ucapkan.

Nadira membuang napas pelan, menyaksikan betapa anggun bayi kecilnya itu melalang-buana dalam alam mimpi.

“Kamu pasti sudah mendengarnya kan, Ran?” Suara itu terdengar sarat, tenggorokan Nadira bahkan rasanya ikut pedih sekarang.

Rani menunduk lesu. Lihatlah, wanita yang biasanya terlihat sangat ceria dan tangguh itu, kini berubah menjadi muram.

“Aku bingung dan malu karena melihat sikap kak Aldi yang tiba-tiba berubah seperti itu, Mbak. Tapi aku juga gak tahu harus melakukan apa buat membantu kamu, Mbak.”

“Tidak perlu merasa seperti itu, Ran. Mbak pikir kakak kamu hanya sedang stress dengan pekerjaannya saja. Besok pasti semuanya akan baik-baik saja, “ ucapnya. Lebih tepatnya mencoba untuk berpikir positif dan menenangkan dirinya sendiri.

Tetapi, Rani pikir itu bukanlah inti permasalahan sekarang. Melainkan selembar kertas kusut yang teronggok dibawah lantai. Rani bisa melihat dengan jelas itu adalah surat cerai dari Pengadilan Agama. Namun, ada baiknya dia tidak membahas hal itu lebih lanjut. Melihat kakak iparnya yang sudah mulai tenang seperti ini sepertinya lebih baik.

Malam itu berlalu dengan waktu yang rasanya berjalan lebih lambat ketimbang biasanya. Aldi tidak kembali kedalam kamarnya dengan Nadira.

Lelaki itu pergi, keluar dari rumah dengan mobil dan menuju ke suatu tempat untuk menemui seseorang. Seseorang yang merupakan menjadi alasan terbesar kenapa membuat keputusan besar malam itu. Seseorang yang menjanjikan masa depan berkemilau jika Aldi bersama dengannya.

“Aldi!” panggil seorang wanita dengan penampilan yang elegan serta glamor. Aura kelas atasnya bahkan bisa tercium dari sekian radius. Wanita itu sedang duduk disebuah meja salah satu kafe, sambil memegang segelas anggur merah.

“Sudah lama menunggu saya, Bu?” ucap Aldi langsung duduk dikursi sebelah sang wanita.

Wanita itu mengerucutkan bibir, memberi tatapan kesal, “Kebiasaan kamu harus segera diubah. Terlalu formal. Ingat! Saya ada adalah pacar kamu sekarang, bukan atasan kamu dikantor.”

Aldi terkekeh pelan, langsung menyadari kesalahannya. Dia lalu meraih jemari wanita yang kuku-kukunya sudah diberi warna merah merona itu, kemudian mengecupnya pelan, “Maaf, sayang.”

Wanita itu adalah Clara, merupakan anak dari pemilik perusahan M-corps yang bergelut dibidang makanan. Aldi bekerja diperusahaan itu hampir tiga tahun dan menjadi salah satu karyawan dengan kinerja terbaik.

“Bagaimana dengan urusan kamu?” tanya Clara tanpa basa-basi. Lelaki didepannya pasti paham apa yang sedang dia maksud sekarang.

Senyum yang tadi timbul dari bibir Aldi perlahan pupus, “Sepertinya aku butuh waktu sedikit lama untuk itu.”

“Why? Apa susahnya menceraikan dia? Atau kamu masih cinta sama perempuan itu?” Clara menatap kesal.

“Bukan…bukan itu maksudku. Tentu saja aku hanya mencintaimu, Cla,” ucap Aldi cepat.

“Lalu?”

“Kamu tau kan bahwa kami memiliki bayi yang baru berusia satu bulan?”

“Aku tidak peduli dengan hal itu. Aku cuma mau kamu menepati janji yang pernah kamu ucapkan padaku,” katanya tak ingin mendengar alasan apapun keluar dari mulut Aldi.

“Atau … kita singkirkan saja wanita itu supaya tidak bisa menganggu urusan kita kedepannya, “ Clara tersenyum licik.

“Maksud kamu?” tanya Aldi takut-takut.

“Kamu tidak perlu khawatir. Biar aku yang memikirkan hal itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status