Share

Konspirasi

Sejak sinar matahari mulai mencuri masuk dari sela-sela bangunan kantor itu, ada sepasang bola mata yang sudah sejak lama terjaga. Was-was, khawatir, takut dan marah, semuanya berbaur menjadi satu didalam dirinya saat ini. Bahkan, sejak tadi malam ia tidak bisa memejamkan mata meskipun hanya sejenak.

Nadira dengan wajah yang sudah kusut itu berdiri didalam sel yang dingin. Memandangi kesibukan pagi didalam kantor polisi yang baru pertama kali ia lihat seumur hidup. Bukan pengalaman yang bisa dibanggakan memang.

“Permisi, Pak!” serunya pada seorang polisi yang terlihat masih cukup muda, mungkin kisaran dua puluhan.

Polisi yang sepertinya baru selesai membersihkan diri, jika dilihat dari wajahnya yang segar dan juga rambut yang masih basah itu menoleh, menghentikan langkahnya.

“Ya, ada apa?”

“Jam besuk kira-kira dimulai dari jam berapa ya?”

“Jam delapan pagi. Masih satu setengah jam lebih,” jawab Polisi itu dengan suara yang sangat khas, lantas melenggang pergi lagi.

Nadira mengangguk mengerti, lalu menarik napas dan membuangnya dengan berat. Ia sedikit kecewa. Ternyata masih cukup lama. Bermalam didalam sel ini meskipun baru sebentar, Nadira sudah merasa rindu dengan Aryan. Tidak tahu apakah anaknya menangis karena mencari keberadaan ibunya, dan juga ia sangat mengkhawatirkan keadaan sang nenek. Semoga saja hari ini ia bisa segera dibebaskan dari tempat ini.

***

“Loh, Devan kok sudah ada disini? Kapan datangnya?” Halimah terkaget saat baru keluar dari dapur sambil membawa semangkuk lauk yang baru dimasak.

“Baru aja kok, Tan. Memang sengaja mau datang pagi juga,” jawabnya sambil tersenyum, membuat matanya menyipit, terlihat semakin manis.

“Kalian berdua ada urusan?” Hanum melirik Yoga yang baru hendak menuang air kedalam gelasnya.

“Devan katanya mau ikut ke kantor polisi, Ma,” ucapnya setelah meneguk air, “Sekalian nanti membawa pengacara kenalan dia kesana,” jelasnya, membuat sorot mata Hanum bercahaya.

“Benarkah?” Dua orang laki-laki itu mengangguk kompak, “Ya ampun, Devan. Tante terimakasih banget karena kamu mau membantu. Padahal kan kamu juga enggak tahu apa-apa,” Hanum mengelus dadanya merasa lega. Setidaknya ada secercah harapan demi untuk membantu Nadira si anak malang itu.

“Sudahlah, Tan. Lagipula Devan memang dalam keadaan yang bisa membantu. Enggak mungkin kan membiarkan orang-orang yang sudah aku anggap keluarga mengalami kesulitan. Sedangkan aku masih sanggup untuk memberi bantuan,” jawab Devan.

Awalnya, semua yang ia lakukan memang murni karena mempertimbangkan hubungannya dengan Yoga. Belum lagi sahabatnya itu yang meminta tolong padanya secara langsung. Tidak mungkin Devan dengan mudah menolak.

Namun, kini Devan menjadi sedikit penasaran dengan orang yang hendak ia berikan bantuan itu. Seberapa baik dan hebatnya dia sampai bisa membuat Hanum dan juga Yoga hingga sebegitu cemasnya.

Usai menyelesaikan sarapannya. Devan pergi keluar disekitar pekarangan rumah Yoga yang sudah disulap menjadi beberapa pendopo kecil untuk pelanggan toko yang singgah. Sambil menunggu Yoga bersiap-siap, Devan kembali menghubungi pengacara yang di rekomendasikan Clara padanya tadi malam. Memastikan semuanya berjalan dengan baik.

Sekitar pukul setengah Sembilan, Devan dan Yoga sudah berada dalam perjalanan menuju kantor polisi. Mereka mengendarai mobil milik Devan. Awalnya Yoga sudah menolak, karena merasa tidak enak sudah terlalu merepotkan Devan. Namun, sayangnya pria itu cukup keras kepala dan tidak mendengarkan ucapannya.

“Dia memang sebaik itu kah?” tanya Devan sambil mengendalikan kemudi, tanpa menoleh kearah Yoga yang berada disampingnya.

“Dia siapa?”

“Orang yang membuat abang sama tante sampai sebegitu khawatirnya.”

Devan bisa melihat dengan jelas. Kekhawatiran yang ia lihat tidak biasa, bukan sesuatu yang bisa digambarkan pada orang asing. Sayangnya, Devan belum tahu siapa orang itu, bagaimana rupanya, sampai membuat banyak orang memikirkannya.

“Mengapa malah tersenyum?” Devan kembali bertanya sebelum Yoga menjawab pertanyaannya sebelumnya.

“Aku tahu sejak tadi kamu mau menanyakan itu kan?” tebak Yoga.

“Ya, karena aku sedikit penasaran saja, Bang. Kamu dan juga tante kupikir sangat khawatir berlebihan kepada orang asing.” Yah, begitulah pikir Devan. Lagipula ia juga tahu siapa saja orang yang kenal dekat dengan Yoga. Menurut Devan, biasanya pria itu tidak akan sampai menunjukkan wajah muram karena terlalu khawatir.

“Nanti juga kamu akan ketemu dengan dia. Jangan lihat dia seperti orang yang kuat dari luar. Sejujurnya aku tahu dia sangat hancur didalamnya. Tapi jangan kamu perlihatkan rasa iba sama dia. Itu salah satu hal yang paling dibenci sama dia.”

Alis Devan saling tertaut usai mendengar penuturan Yoga barusan. Ah, jujur ia menjadi semakin penasaran. Devan pun semakin semangat menginjak gas memacu semangat membelah jalanan pagi yang mulai dipadati sesak mobil dan kendaraan lainnya itu.

Beberapa saat setelah sampai didepan kantor polisi. Devan dan Yoga masih berdiri diluar menunggu kedatangan sang pengacara yang katanya akan segera sampai. Benar saja, tak lama mobil merapat ke area parkir, milik pengacara yang mereka nanti-nanti.

Setengah jam sebelumnya,

Clara sudah duduk dibangku Tengah mobil dengan sopir pribadi berada didepan, mengendalikan kemudi dengan hati-hati. Ponsel mahalnya sudah ia tempelkan area daun telinganya, menunggu sebuah panggilan dijawab.

“Kamu sudah berangkat?”

“Sudah, Bu. Sekarang saya dalam perjalanan ke kantor polisi,” ucap Mario dari dalam telepon. Ia adalah pengacara yang Clara rekomendasikan kepada kakaknya, Devan, tadi malam.

“Ingat! Kamu harus pastikan apa yang sudah saya beritahu tadi malam. Sisanya kamu kondisikan sendiri. Kamu mengerti kan maksud saya apa?”

“Baik, Bu. Saya mengerti apa yang ibu Clara sampaikan semalam.  Anda tidak perlu khawatir. Percayakan semuanya pada saya, asal anda menepati janji yang diucapkan,” jawab Mario dengan yakin dari dalam telepon.

“Setelah semua berjalan sesuai yang saya inginkan. Artinya semua yang saya ucapkan ada didalam telapak tangan kamu.”

Clara menutup panggilan itu, dua matanya memilih untuk melihat pemandangan lewat kaca mobil. Otaknya berpikir keras sejak Devan tiba-tiba datang tadi malam hanya untuk meminta bantuan padanya. Itu juga diluar ekspektasi Clara. Mengapa secara mendadak Devan butuh seorang pengacara. Hal yang mengejutkan lain adalah mengenai sebuah kasus pembunuhan katanya.

Tidak tahu sebuah kebetulan atau memang ada kaitannya seperti yang sedang Clara pikirkan. Mustahil, kalau itu benar berkaitan dengan Nadira, wanita yang sengaja ia jebak menjadi kambing hitam insiden dalam Perusahaan. Tetapi, kalau memang benar begitu, bagaimana Devan bisa terlibat dalam hal ini. Oleh karena itu, Clara sengaja menyusun rencana selangkah lebih maju.

Kalau memang benar orang yang hendak Devan bantu itu adalah memang Nadira, tentu saja Clara tidak akan tinggal diam dan membiarkannya. Ia sengaja menyuruh Mario melakukan sesuatu bila nanti sudah dipastikan bahwa calon kliennya itu adalah wanita bernama Nadira. Mau bagaimanapun, wanita itu tidak boleh keluar dari penjara. Setidaknya sampai rencananya bersama dengan Aldi tercapai.

“Maaf membuat kalian menunggu,” ucap Mario sambil menenteng tas hitam, menghampiri kedua pria yang menyambut kedatangannya didepan kantor polisi.

“Tidak apa-apa. Kami berdua juga belum lama sampai disini,” jawab Devan.

Mereka tidak banyak membuang waktu dan segera bergegas memasuki tempat itu. Benar saja, sepertinya ketiga pria itu merupakan tamu pertama yang datang pada hari ini. Devan dan Yoga lebih memilih membiarkan Mario mengambil alih keadaan. Mereka lebih bisa mengandalkan pengacara itu karena pastinya dia lebih leluasa dalam mengikuti protocol seperti ini.

Tidak lama Nadira datang dengan didampingi oleh seorang polisi dibelakangnya. Kedua tangannya terkunci oleh borgol besi, untuk kedua kalinya dirinya mendapatkan pengalaman seperti ini. Kemarin ketika tiba-tiba polisi datang menangkap dan membawanya ke kantor polisi, lalu kedua kalinya adalah pagi ini.

Yoga bangkit dari kursi tempatnya menunggu. Matanya menyorot Nadira dari atas sampai bawah. Hatinya nelangsa melihat bagaimana berantakannya perawakan wanita itu. Sosok wanita yang berpenampilan sederhana, namun selalu rapi, dan bersih itu tidak lagi terlihat hanya dalam semalam saja.

Berbeda dengan Yoga yang memasang rona wajah haru, Devan malah mengerutkan kening.  Ia merasa sedikit familiar dengan wanita yang pergelangan tangannya diborgol itu. Seperti pernah melihat wajahnya, tetapi Devan lupa mengingatnya dimana.

“Mas Yoga!”

“Nad, kamu baik-baik saja kan?”

Nadira mengangguk, kali ini ia lebih tegas ketimbang waktu kemarin dijenguk. Ia harus tenang menghadapi kekacauan yang merenggut ketenangan hidupnya.

Devan memilih berdiri mengamati, lagi pula kursi yang bisa diduduki di meja untuk membesuk hanya ada dua. Ia rasa yang lebih baik diberikan pada orang yang memiliki kepentingan saja.

“Aku baik-baik aja, Mas. Nenek sama Aryan bagaimana?” Nadira tak terlalu mencemaskan dirinya. Meskipun berada didalam jeruji, ia masih cukup mampu untuk menjaga dirinya sendiri. Namun, berbeda dengan neneknya yang sudah rentah dan mudah sakit. Siapa yang akan mengurus beliau jika Nadira dalam keadaan seperti ini.

“Kamu tidak perlu khawatir, Nad. Nenek kamu dan Aryan ada di toko bersama dengan mamaku. Selama masalah kamu belum selesai, Nenek Halimah biar Mas minta untuk menginap dirumah kami saja. Jadi, kamu jangan terlalu banyak pikiran,” ucapnya perhatian.

Yoga paham sekali pasti Nadira sangat kalut. Tetapi, ada yang membuat Yoga sangat marah sebenarnya. Sejak kemarin, ia menunggu suami Nadira menghubunginya siapa tahu membutuhkan bantuannya.

Sementara ditempatnya berdiri Devan sedikit terpukai pada sosok wanita yang sejak tadi mereka tunggu. Ia menatap dengan pandangan yang sedikit tidak asing. Rasanya Devan pernah melihat perempuan bernama Nadira itu. Alih-alih bertanya untuk memuaskan rasa keingintahuannya, ia lebih memilih untuk menahannya saja. Sengaja tidak ingin merusak suasana haru Yoga dengan Nadira.

“Oh iya, Nad. Perkenalkan dia adalah pengacara yang akan membantu kamu kedepannya,” Yoga mengenalkan Mario pada Nadira. Perempuan itu langsung menjabat tangan Mario sambil menyipitkan mata tersenyum menundukkan kepala sedikit.

“Lalu ini …” Yoga sedikit memutar tubuh mengarah pada Devan yang berada sedikit dibelakangnya, “Devan. Dialah orang yang membantu mencarikan pengacara untuk kamu.”

Nadira spontan berdiri ingin mengucapkan terimakasih pada sosok asing yang baru ia lihat pertama kalinya. Devan sedikit tergagap karena perkenalan yang cukup mendadak. Hingga pandangan mata mereka saling bertemu. Devan sedikit terpana dengan betapa bening bola mata itu. Hatinya menjadi terenyuh. Sekarang ia tahu kenapa keluarga Yoga begitu memedulikan wanita itu. Bahkan, Devan bisa melihat bahwa Nadira adalah wanita yang cukup baik. Setidaknya itu kesan pertama yang ia rasakan lewat tatapan mata barusan.

“Terimakasih karena sudah mau membantu saya. Maaf sekali kalau merepotkan kamu,” ucap Nadira cukup sungkan.

“Eh, tidak apa-apa. Justru saya senang bisa membantu.” Devan menjawab dengan senyuman canggung.

Karena waktu yang tidak leluasa dan juga dibatasi, Yoga tidak banyak membahas hal lain lagi. tujuannya datang hari ini membawa pengacara adalah untuk mencari jalan terang dari permasalahan ini. Mario meminta untuk berbicara empat mata dengan Nadira saja. Tanpa banyak basa-basi Yoga dan juga Devan akhirnya memilih untuk menunggu diluar.

Pria yang mempunyai rahang tegas itu sedikit merenggangkan dasi yang melingkar di lehernya. Wibawanya sebagai pengacara memang cukup membuat Nadira terpesona. Setidaknya itulah yang ia rasakan saat berhadapan langsung dengan Mario. Nadira menaruh harapan besarnya pada pria itu.

Mario banyak menjelaskan beberapa prosedur secara singkat. Hingga sampailah mereka disebuah kalimat dari mulut Mario yang cukup membuat dahi Nadira berkerut.

“Maksudnya? Saya harus mengakui insiden itu adalah perbuatan saya?” Jujur Nadira sangat bingung. Ia memang buta akan siatem perhukuman di negara ini. Tapi, meskipun otaknya memiliki kapasitas yang pas-pasan, penjelasan Mario yang terakhir memang cukup membuat dirinya langsung berkomentar.

“Benar,” Kepala pria itu mengangguk dengan tatapan yakin, “Saya bisa menjamin anda bisa mendapatkan keringanan hukuman penjara.”

Nadira makin bingung. Sejujurnya ia menjadi sedikit merasa aneh dengan solusi yang ditawarkan oleh Mario. Pria itu malah memintanya untuk mengakui kejahatan yang tidak pernah sama sekali ia lakukan. Nadira bimbang, ia juga takut membuat sang pengacara itu merasa diremehkan.

“Bukankah itu malah membuat nama saya menjadi seorang pembunuh?”

“Semua bukti yang memberatkan sudah mengarah pada anda, Bu. Apa yang lebih penting ketimbang segera menyelesaikan semua ini dengan cepat?”

“Tapi saya benar-benar tidak membunuh perempuan itu, Pak,” jelas Nadira mulai putus asa.

Dadanya kembali sesak saat mengingat jadian naas yang menimpanya. Andai saja ia tidak gegabah dan bisa mengendalikan emosinya. Tidak mungkin ia pergi ke kantor polisi menemui Aldi hanya demi meminta penjelasan, yang akhirnya membuat dirinya terjebak dalam situasi yang begitu sulit ini.

“Saya tahu,” jawab Mario dengan wajah tenang. Alis mata yang tebal lagi-lagi membuat raut seriusnya memancar dengan sempurna, “Oleh karena itu saya ingin membantu anda mempercepat proses ini. Dengan begitu meskipun anda diputuskan menjadi seorang pembunuh. Setidaknya masa tahanan anda akan lebih singkat.”

“Benarkah?” tanya Nadira takut-takut. Jujur, ia masih merasa sedikit tidak yakin dengan solusi yang Mario utarakan.

“Tentu saja. Saya juga berjanji, kelak akan mencoba kembali membersihkan nama anda dengan mengumpulkan bukti-bukti baru. Tetapi, untuk saat ini solusi yang saya sebutkan tadi adalah yang terbaik.”

Perundingan antara Nadira dengan Mario berakhir dengan cukup baik. Nadira akhirnya menyetujui kesepakatan untuk mengakui bahwa dialah tersangka pembunuhan itu. Mario pun pergi meninggalkan kantor polisi dan segera masuk kedalam mobilnya di parkiran.

Mario menyalakan ponsel miliknya, menghubungi seseorang yang ia tebak sudah tidak sabar menunggu kabar darinya.

“Bagaimana?”

Panggilan itu langsung tersambung dan mengeluarkan suara wanita milik Clara.

Bibir Mario saling tertarik, “Seperti dugaan anda.”

“Ternyata benar orang yang dibantu oleh kakakku adalah Nadira?”

Mario mengangguk, “Benar. Tetapi ibu tidak perlu khawatir. Saya jamin semua berjalan sesuai dengan rencana yang anda inginkan.”

Ditempatnya, Clara tersenyum puas. Semuanya sudah berada dalam genggamannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status