Share

Kunjungan

Hari semakin sore ketika Nadira berdiri dengan tangan memegang besi sel tahanan. Ada banyak tanda tanya yang masih belum ia temukan jawabannya sampai saat ini. Juga, kenapa belum ada keluarga atau siapapun yang mengunjunginya dikantor polisi.

Sampai akhirnya suara derap langkah kaki yang terburu-buru menarik perhatiannya. Postur tubuh yang jenjang berlari menuju kearahnya. Seulas senyuman mulai tercipta dibibir merahnya. Nadira nampak bersemangat saat lelaki itu berdiri tepat didepannya.

“Mas Aldi!” seru Nadira saking senangnya melihat sang suami datang.

Tatapan Aldi terlihat lesuh, memperhatikan Nadira dari ujung kaki sampai ujung kepala. Perempuan itu benar-benar tidak enak dilihat sekarang ini.

“Akhirnya kamu datang, Mas. Ayo cepat keluarkan aku dari sini, Mas,” Buru-buru Nadira mengadu meminta tolong.

Tapi, tujuan Aldi datang kesana bukanlah berniat untuk membebaskan atau mencoba menenangkan hati perempuan itu. Ia hanya ingin melihat kondisi Nadira saja.

“Maaf, Nad. Aku tidak bisa.”

“Tidak bisa? Apa maksud kamu, Mas?” tanya Nadira resah

“Kamu harus cari pengacara untuk membantu kamu.”

Itu bukan jawaban yang Nadira inginkan. Ia tarik lengan Aldi yang berada diluar lewat celah sel itu, menatapnya penuh dengan sorot harapan.

“Aku tidak bersalah, Mas. Untuk apa repot-repot mencari pengacara kalau semuanya sudah jelas. Kamu tidak percaya denganku?”

Emosi Nadira terkumpul kembali. Amarahnya muncul karena Aldi yang meresponnya begitu tak acuh. Padahal, saat ini hanya pria itu yang paling bisa ia andalkan.

“Sudahlah, Nad. Tujuanku kesini hanya untuk memberitahumu bahwa nenekmu akan segera sampai,” ucap Aldi.

“Apa Mas? Nenekku? Kamu yang memberitahu  kalau aku berada di kantor polisi?” Napas Nadira memburu cepat, pasti neneknya sangat syok begitu mendengar kabarnya saat ini.

“Kenapa kamu kasih tahu nenek sih, Mas. Kalau jantung nenek kambuh bagaimana? Nenek tidak boleh terkejut,” imbuhnya menyalahkan atas kelalaian Aldi.

“Apa boleh buat. Cepat atau lambat pasti nenekmu akan mengetahuinya, kan?”

Nadira sungguh tidak menyangka kalau Aldi akan berkata seperti itu. Enteng sekali dia berucap. Padahal awal mulai permasalahan ini terjadi sebabnya adalah karena. Kalau bukan karena Nadira ingin menemuinya di kantor Perusahaan, tidak mungkin hal ini akan terjadi.

“Gila kamu, Mas. Mata kamu benar-benar sudah dibutakan oleh wanita murahan itu?!”

“Jangan asal bicara omong kosong Nad. Kamu tidak tahu dia orang seperti apa.”

Nadira tertawa miris mendengar Aldi yang terang-terangan membela perempuan yang sudah menghancurkan rumah tangganya itu. Hatinya sakit, marah, keduanya bercampur menjadi satu. Ia bahkan tidak bisa lagi mengenali siapa orang yang berada didepannya itu.

“Apa yang sudah dijanjikan oleh wanita itu sama kamu, Mas. Sampai kamu tega melepaskan aku dan juga Aryan?” Nadira merasakan kepedihan saat menanyakan hal itu.

“Maafkan aku, Nad. Mungkin takdir kita berdua hanya sampai disini.”

Aldi melenggang pergi usai berkata seperti itu. Nadira hanya bisa menumpahkan air matanya lagi dan lagi. Takdir katanya, bagaimana dengan takdir yang dia ucapkan saat dulu mengajak Nadira menikah. Apakah takdir hanya sebuah omong kosong belaka.

Sekarang, hanya sebuah tatapan kosong yang tersisa. Nadira tidak tahu harus mengadu pada siapa. Ia tidak lagi terpikir bagaimana caranya keluar dari tempat ini. Tetapi, bagaimana nanti menghadapi neneknya. Kalau benar akhirnya ia akan berakhir didalam penjara yang gelap. Kelak, siapa yang akan mengurus Aryan, anaknya dan juga neneknya yang sudah makin menua.

Nadira kembali tersadarkan saat Halimah benar-benar telah datang ketempat ini. Ternyata Aldi tidak berbohong dengan ucapannya tadi. Nadira sempat mengkhawatirkan bagaimana perjalanan neneknya kesini. Untungnya ada Yoga—teman kerjanya---yang terlihat mengekor dibelakang Halimah.

“Astaga, Nadira!”

“Nenek!”

Keduanya saling menautkan tangan untuk saling menguatkan, karena posisi Nadira yang masih didalam sel membuat ia dan Halimah saling memeluk.

“Nad, apa yang terjadi? Kenapa bisa berada didalam sini?” Yoga bertanya dengan raut khawatir. Pria itu sudah dianggap seperti kakak laki-laki Nadira sendiri.

“Aku juga gak tau, Mas. Aku cuma nolong orang yang gak sengaja bertemu dikantor mas Aldi. Tapi aku malah dituduh menjadi pembunuh,” katanya jujur.

Halimah menangis mendengar pengakuan yang dibuat oleh Nadira.

“Ya allah, Nad. Kenapa kamu bisa dituduh berbuat keji seperti itu,” ucap Halimah tak menyangka.

“Nek…Aryan gimana?” tanya Nadira baru teringat.

“Dia sudah nenek titipkan di toko roti milik kakek yoga.”

Nadira menghela napas lega, “Syukurlah.”

“Kita harus segera cari pengacara untuk kamu, Nad. Bagaimanapun kamu tidak bersalah,” usul Yoga.

“Tapi masalahnya polisi menemukan barang bukti yang memberatkan aku, Mas,” katanya.

“Barang bukti apa?”

“Gelangku. Aku ingat kalau itu pasti jatuh ketika aku menolong orang itu. Tapi tidak tahu kenapa bisa di tangan detektif yang menginterogasiku tadi,” jelasnya.

Yoga juga ikut menjadi bingung. Ia sangat percaya bahwa Nadira tidak mungkin melakukan perbuatan seperti itu. Dia adalah gadis yang baik dan suka menolong orang lain.

“Pokoknya, kamu harus tenang ya. Aku pasti bantu supaya kamu terbebas dari sini. Jangan khawatirkan hal-hal lainnya,” Yoga mencoba menenangkan hati Nadira.

“Iya betul, Nad. Aryan juga pasti akan baik-baik saja sampai kamu keluar dari sini,” kali ini Halimah ikut menimpali.

Nadira cukup tenang setelah mendengar semuanya. Syukurnya, keadaan neneknya tidak memburuk. Kalau benar terjadi apa-apa pada Halimah, pasti Nadira akan menyalahkan dirinya sendiri.

***

“Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Nadira disana?” tanya Hanum kepada Yoga putranya.

Sebelumnya Halimah memang meminta Yoga supaya mengantarnya ke kantor polisi setelah Aldi mengabari. Keluarga Yoga sendiri memang sangat dekat dengan Halimah dan juga Nadira. Kedekatan mereka sudah seperti keluarga kandung. Jadi, tak kaget jika Hanum juga turut khawatir mendengar Nadira dibawa ke kantor polisi.

“Yoga juga gak tau, Ma. Tapi, Nadira syukurnya baik-baik aja,” jawabnya.

“Terus, bagaimana selanjutnya? Kenapa Nadira tidak ikut dengan kalian?”

Yoga tak langsung menjawab. Dia juga bingung harus memberi jawaban seperti apa.

“Sepertinya kasus yang menimpa Nadira cukup sulit, Ma,” katanya.

“Sulit bagaimana?” Hanum jadi kembali khawatir melihat raut serius yang keluar dari wajah Yoga.

Untung saja nenek Nadira sudah ia suruh untuk masuk ke kamar melihat Aryan. Yoga memang sudah memaksa Halimah supay menginap saja dirumah mereka. Anggap saja supaya Nadira tidak khawatir dan ada orang lain yang bisa membantu menjaga Aryan.

Yoga menatap ke sekeliling mereka. Jangan sampai ada orang yang mendengar pembicaraan keduanya. Apalagi Halimah, bisa-bisa wanita itu kepikiran dengan Nadira terus.

“Nadira dituduh melakukan pembunuhan, Ma.”

Hanum langsung melotot, bahkan hampir berteriak. Untung saja ia sempat menutup mulutnya dengan tangannya sendiri, “Pembunuhan!?”

“Begitulah, Ma. Tapi aku yakin Nadira pasti dijebak,” Yoga mengutarakan dugaan yang sejak tadi ia pikirkan, “Tapi siapa dan kenapa dia menjebak Nadira seperti itu?”

“Ya ampun. Kasihan sekali Nadira. Dia pasti sangat sedih sekali dengan semua yang terjadi hari ini,” ucap Hanum prihatin.

“Iya, Ma. Makanya Yoga berniat membantu dia. Setidaknya sekarang kita bisa menjaga Nenek dan juga anaknya disini supaya Nadira tidak khawatir,” ucap Yoga.

“Iya, benar. Pokoknya kita harus membantu Nadira.”

Mereka berdua akhirnya mengakhiri pembicaraan yang cukup menguras emosi itu. Bersiap-siap untuk kembali membuka toko kue yang sengaja ditutup sementara.

Bunyi lonceng yang digantung didepan pintu masuk berbunyi nyaring, menandakan ada seseorang yang masuk kedalam toko itu. Tampak pria dengan stelan jas mengulas senyum ketika melangkahkan kakinya ke tempat itu.

“Bang Yoga!” teriaknya cukup kencang hingga kedua yang sedang mengurus toko didalam terkejut.

Yoga segera menoleh ke asal suara yang memanggil namanya dengan keras barusan. Dua sampai lima detik kemudian akhirnya dia tersadar pada seseorang yang ia kenal. Dengan cepat Yoga menghampiri pria itu dan kemudian mereka berpelukan beberapa detik.

“Devan…Kapan kamu tiba di Indonesia?” tanya Yoga setelah melepas rangkulan, ia memandangi tubuh Devan dari atas sampai bawah. Tidak ada perubahan yang berarti sejak mereka berpisah.

“Baru beberapa hari yang lalu kok. Sorry gak sempat ngabarin kamu, Bang,” katanya sambil tersenyum kecil. Yoga bahkan gemas dengan tingkah pria itu yang selalu terlihat ceria.

“Gak apa-apa. Justru ini jadi kejutan banget,” ujarnya.

“Ini Devan adik kelas kamu yang sering nginap dulu?” tanya Hanum yang ikut bergabung.

“Eh, Tante. Iya ini bener Devan yang sering minta bikini mie kalau lagi nginep hehe,” jawabnya jenaka, lalu menyalim tangan wanita itu.

“Ya ampun. Tante pikir kamu sudah lupa buat main kesini loh,” canda Hanum mengikuti gaya anak jaman sekarang.

“Ah, Tante. Mana mungkin Devan lupa. Malah yang paling aku kangenin kalau ada disini itu adalah mie telur buatan tante,” ucapnya dengan sergap, membuat Hanum tersenyum.

Yoga dan Devan akhirnya memutuskan untuk mengobrol didepan toko. Disana juga ada kursi yang mereka sediakan untuk pelanggan yang datang. Basa-basi setelah lama tidak bertemu ternyata cukup menyenangkan. Apalagi bagi Devan, Yoga adalah sahabat sekaligus orang yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.

Ketika topik yang mereka bicarakan sepertinya mulai habis, Yoga teringat tentang Nadira. Sebelumnya ia membahas akan mencarikan pengacara untuk membantu menyelesaikan masalah wanita itu. Mumpung sedang bersama Devan, ia ingin menanyakan pada pria itu mungkin dia mengenal seorang pengacara yang bisa diandalkan.

“Oh iya, Van. Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?”

Devan terkekeh pelan, “Kamu kayak sama siapa aja sih, Bang. Tinggal tanya aja. Kayaknya serius banget?”

“Begini, kamu ada kenalan pengacara gak?”

“Pengacara?” Devan bertanya balik. Sedikit aneh mendengar Yoga menanyakan hal itu, “Abang mau ngurus apa sampai mau cari pengacara?”

“Ah, bukan begitu. Ada orang lain yang memerlukan pengacara itu,” jawabnya jujur.

“Kalau boleh tau. Masalah seperti apa yang ingin di urus. Biar nanti aku cari sesuai dengan kebutuhan yang abang cari,” jelas Devan.

Yoga terlihat sedikit ragu mengucapkan kalimat selanjutnya. Mengatakan hal itu rasanya seperti sama dengan mengotori nama Nadira. Tetapi, cara satu-satunya memang harus mencari pengacara yang bisa diandalkan. Nah, menurut Yoga untuk hal ini Devan sangat bisa diandalkan. Ia tahu Devan berasal dari keluarga kelas atas, setidaknya kalau bukan dia pasti ada keluarganya yang mempunyai kenalan seperti itu.

“Ini kasus pembunuhan,” kata Yoga, “Lebih tepatnya dituduh melakukan pembunuhan.”

Devan tercengang. Kata ‘pembunuhan’ sudah beberapa kali terdengar oleh telinganya beberapa kali dalam sehari ini. Sebuah kebetulan atau memang dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Mengapa mudah sekali melakukan perbuatan kejam seperti itu.

“Sepertinya membunuh sedang jadi tren pada hari ini,” gumam Devan.

“Apa yang kamu bilang, Van?”

“Eh…Buka napa-apa kok, Bang,” jawabnya sambil menyengir, “Pokoknya nanti aku bantu cari pengacara handal supaya bisa membantu orang itu.”

“Terimakasih banyak, Van. Maaf banget, malah minta tolong padahal kamu datang kesini niatnya untuk berkunjung,” ucap Yoga merasa tak enak.

“Santai aja, Bang. Aku malah senang dengar kamu minta tolong seperti ini padaku. Tandanya berarti aku bisa sedikit diandalkan,”  sombongnya membanggakan diri.

Yoga terundang ikut tertawa melihat sikap jenaka Devan yang tidak berubah dari dulu. Pria itu selalu pandai menghangatkan suasana dengan tingkahnya yang kadang konyol.

Yoga juga berharap semoga apa yang ia lakukan bisa membantu Nadira supaya segera dibebaskan dari fitnah yang kejam itu. Tidak tega rasanya saat menjenguknya tadi di kantor polisi. Entah wanita itu bisa tidur malam ini atau tidak. Semoga Nadira bisa bersabar sejenak, Ia akan menggalakan segala cara untuk membantu wanita itu.

Bersambung...

Sponjey

Aku ucapkan banyak terimakasih untuk kalian yang sudah mampir dan membaca cerita ini. Maaf kalau masih banyak salah dan juga tulisan yang mungkin kurang menarik. Aku juga dalam proses belajar untuk menciptakan kualitas tulisan yang mampu membuat membekas bagi para pembaca. Tetap dukung aku ya dengan baca setiap bab yang sudah aku publish. Big love for you guys ;)

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status