Share

Keluarga kedua

Aldi pulang lebih cepat hari ini, tepatnya usai dirinya menjenguk istrinya di kantor polisi. Entah apakah ia masih bisa menyebut Nadira sebagai istrinya setelah semua yang dilakukan. Mulai dari menjatuhkan talak hingga memberi perempuan itu secarik kertas dari Kantor pengadilan agama.

Meskipun, benar apa kata Clara bahwa salah satu masalah bagi mereka berdua telah teratasi. Tetapi, ada beban yang tumbuh dalam hatinya saat meyaksikan Nadira harus melalui masa sulit seperti itu. Aldi sangat yakin bahwa Nadira bukanlah orang yang berani melakukan hal keji seperti itu. Aldi tahu itu semua adalah skenario yang terlah dirancang oleh Clara pastinya.

Begitu memasuki rumah, Aldi langsung disambut oleh keriuhan Rani yang memasang raut khawatir. Sepertinya kabar mengenai Nadira juga sudah sampai ke telinga keluarganya.

“Kak Aldi! Apa benar mbak Nadira ada dikantor polisi sekarang?” tanya Rani penuh penasaran, tak membiarkan kakak laki-lakinya untuk lebih dulu duduk.

Pria itu menghela napas, “Benar,” jawabnya sedikit lirih.

“Benar dia membunuh karyawan di kantor kamu?” Kali ini Ratih ikut bertanya. Ibu Aldi itu juga sama penasarannya dengan Rani. Pasalnya setaunya sejak dulu perempuan yang tidak pernah ia anggap sebagai menantu itu, selalu terlihat polos dan juga lemah lembut.

“Aldi tidak tahu, Ma. Polisi masih menyelidikinya,” jawab Aldi sekenanya saja. Ia tidak mau menambahkan komentar lain.

“Untung saja kamu sudah akan bercerai dengan dia, Aldi. Lihat apa yang terjadi sekarang! bisa-bisa dia malah mencoreng nama baik keluarga kita.” Ratih yang tidak membuka belas kasih pada sang menantu itu malah terlihat bersyukur.

“Ya ampun, Ma! Bagaimanapun mbak Nadira itu masih menantu di rumah ini loh. Bisa-bisanya mama malah ngomong seperti itu,” bela Rani pada kakak iparnya. Ia yakin bahwa Nadira tidak bersalah dan semua ini hanyalah kesalahpahaman saja.

“Dan kamu, kak! Kenapa kamu malah terlihat seperti tidak ada apa-apa sih! Istri kamu sedang kesusahan dan kamu gak melakukan apapun!”

Rani menatap penuh amarah pada kakaknya itu. Dadanya sesak memikirkan bagaimana kondisi Nadira didalam sel. Pasti kakak iparnya sangat merasa kesulitan. Belum lagi pasti banyak sekali yang dia pikirkan. Mendadak, Rani membenci kedua orang yang ada didalam rumah ini. Apakah mereka berdua tidak memiliki hati nurani meskipun hanya setitik kecil saja. Dan Aldi, ia tidak menyangka kakaknya bisa berubah menjadi lelaki yang tidak memiliki simpati seperti itu.

“Rani!” Ratih menaikkan suaranya, membuat suara dari televisi teredam beberapa sekian detik.

“Kamu tidak boleh berkata seperti itu pada kakakmu. Ingat! Semua yang kamu punya sekarang adalah hasil kerja keras dia,” ototnya hingga urat dilehernya tercetak jelas.

Rani tidak tahu lagi harus berkata apa. Melihat Aldi yang hanya diam melihat perdebatannya dengan sang ibu, membuat Rani memilih untuk melengos pergi kedalam kamarnya. Percuma juga dia mengutarakan pendapatnya, jika tidak ada telinga yang bersedia mendengarkannya.

“Dasar anak itu.” Ratih berdecak menatap kepergian anak perempuannya.

***

Devan baru selesai memarkirkan mobilnya dalam garasi rumah. Usai bertemu dengan sahabatnya, Yoga beberapa waktu yang lalu. Ia memutuskan segera pulang. Ini memang sedikit tiba-tiba karena Devan sebelumnya tidak berniat pulang kerumah dan memilih untuk menginap di hotel seperti sejak pertama kali pulang ke Tanah air. Setidaknya sampai ia puas bermain-main sebelum orang tuanya memaksanya untuk bekerja di Perusahaan.

Saat sudah masuk ke dalam rumah, ia melihat pembantu rumah tangga mereka sedang mebereskan meja makan. Waktu makan malam memang sudah berlalu sekitar beberapa menit yang lalu. Devan menyapa pembantu rumah tangganya itu dengan cengiran khasnya. Tidak lupa ia memberi kode supaya wanita yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan keluarga mereka itu untuk jangan berisik. Devan tak ingin orang tuanya tahu bahwa ia pulang kerumah.

Terutama Handoko, alias ayahnya.

“Mas Devan kenapa baru pulang? Sudah makan malam? Mau saya masakin dulu?” tanya ART bernama Marini itu secara beruntun.

Devan melambai tangan cepat, ia sudah kenyang karena makan malam di rumah Yoga tadi.

“Papa dan Mama pada dimana, Bik?” tanya Devan dengan suara yang berbisik, bak maling yang takut ketahuan.

“Tuan dan Nyonya sepertinya sudah kembali kedalam kamar, Mas. Mau saya panggilin?”

“Eh, jangan-jangan, Bik. Gak usah panggil mereka,” potongnya cepat-cepat.

“Kalau Clara? Dia sudah dirumah atau belum?”

Tujuan Devan pulang secara tiba-tiba memang hanya untuk menemui adik perempuannya saja. Ada yang ingin ia tanyakan pada Clara.

“Kalau Non Clara sepertinya masih di Gazebo atas, Mas. Tadi saya lihat dia masih nelpon. Gak tau kalau sekarang,” jawab Marini.

Tanpa membuang waktu lagi, Devan pun segera naik ke lantai dua rumah karena gazebo yang di maksud oleh sang bibi berada diatas itu. Tidak lupa ia mengucapkan terimakasih pada Marini.

Benar saja. Saat Devan sampai dilantai dua rumah mereka, ia melihat Clara berada di Gazebo. Devan segera mendekati adiknya itu untuk menanyakan sesuatu padanya. Clara terlihat kaget saat mendapati sang kakak sudah berdiri tepat dibelakangnya. Dengan wajah yang sedikit gugup ia mematikan panggilan telpon yang sejak tadi ia lakukan.

Clara menatap Devan dengan raut khawatir. Apakah kakaknya tadi mendengar obrolannya di telepon. Kalau benar seperti itu, ini bisa gawat.

“Kenapa terkejut begitu sih?” tanya Devan sambil memberi senyuman pada sang adik.

“Kakak sejak kapan ada disini?” Clara mencoba menutupi kegugupannya.

“Baru aja kok. Kenapa sih kaya kaget gitu. Kayak habis ngapain aja,” serunya sambil terkekeh, lalu memilih duduk di sofa lembut yang ada di Gazebo.

Clara membuang napas lega. Melihat gelagat kakaknya barusan, sepertinya dia belum mendengar apapun saat ia asik menelpon tadi. Untung saja Clara segera cepat menyadari kehadiran Devan. Kalau tidak, semua rencana yang tidak boleh orang lain tahu bisa ketahuan.

“Gak apa-apa kok, Kak. Lagian kamu tiba-tiba ada dibelakang aku?” ucapnya dengan nada sedikit manja. Melihat raut datar biasa milik Devan sekarang bisa dipastikan bahwa pria itu tidak mendengar apapun.

“Ya maaf. Aku mau manggil kamu sebenarnya. Eh, kamu malah nengok ke arah kakak.”

“Iya deh. Oh iya, kok kak devan gak ngabarin mau pulang kerumah?” Clara sudah duduk disebelah sang kakak.

“Sengaja. Biar papa gak tau,” cengirnya tidak jelas, “Sebenarnya kakak pulang memang mau ketemu sama kamu,” jelasnya membuat Clara mengangguk sekaligus menyipitkan matanya. Sepertinya bukan hal sepele. Jika benar, kakaknya pasti akan menanyakannya lewat panggilan telpon saja.

“Apa itu?”

“Kakak ingin kamu mencarikan seorang pengacara yang handal,” kata Devan.

Kalian pasti tahu alasan Devan tiba-tiba menanyakan soal pengacara kepada sang adik. Ya, karena Yoga yang meminta tolong padanya saat bertemu tadi. Melihat cara kakak kelas semasa sekolahnya dulu itu meminta dengan tulus, Devan bertekad untuk mencarikan pengacara yang sangat professional. Untuk itu, Devan membutuhkan koneksi adiknya karena dia pasti lebih kompeten dalam hal itu.

Dahi Clara berkerut mendengar permintaan kakaknya barusan.

“Seorang Pengacara? Kakak sedang terlibat masalah?” tuduhnya tiba-tiba, karena itu yang terlintas spontan dalam kepalanya.

“Tentu saja  bukan dong!” jawabnya cepat, “Kamu pikir aku seperti apa.”

“Lalu, kenapa meminta mencarikan pengacara?” Clara sedikit bingung menatap sang kakak.

“Ada. Teman kakak yang meminta tolong. Pasti kamu punya kenalan pengacara yang hebat kan? Bisa kenalkan pada kakak?”

Clara mengangguk paham. Hampir saja dia berburuk sangka pada Devan.

“Tentu saja bisa. Kasusnya seperti apa biar Clara cari yang pas,” ucapnya enteng. Itu bukanlah hal yang sulit. Melihat dari status keluarga mereka, tentu banyak pengacara-pengacara hebat yang senang bekerja sama dengan Perusahaan mereka.

“Pembunuhan. Itu kasusnya.”

Deg. Jantung Clara yang mula tenang berdetak tiba-tiba bak tersengat listrik. Kata ‘pembunuhan’ menjadi kata yang tidak asing didengar oleh telinganya hari ini. Entah ini sebuah kebetulan atau ada sesuatu dibaliknya.

“Pembunuhan?” tanya Clara memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

“Iya, pembunuhan.” Devan mengangguk tegas mengulangi ucapannya, “Bisa?”

Mendadak Clara menjadi sedikit penasaran dengan teman kakaknya itu. Bagaimana bisa waktunya bisa bertepatan dengan kejadian yang ia rencanakan terhadap Nadira. Apakah mungkin ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang dibicarakan oleh Devan. Tapi, bagaimana bisa kakaknya ikut terlibat. Clara dengan cepat menangkis pemikiran asal itu. Mustahil kalau dia mengenal wanita miskin itu.

“Hei! Kenapa malah diam?” Devan memecahkan lamunan Clara.

“Bukan gitu, Kak. Aku cuma sedikit kaget mendengar kasus teman kakak itu,” ucapnya coba mencari tahu sedikit.

“Sama. Tapi dia meminta bantuan juga untuk membantu orang lain.”

“Orang lain, maksud kakak bagaimana?” Clara menjadi semakin penasaran.

“Iya orang lain. Jadi, teman kakak ini punya orang yang sudah dianggap seperti keluarganya. Nah, sepertinya orang itu dijebak sudah membunuh orang lain. Kakak juga tidak banyak bertanya lebih lanjut.”

Clara mendelik mendengar penjelasan Devan. Kenapa instingnya menangkap sesuatu yang rasanya sangat mustahil. Tidak mungkin ada kebetulan yang sangat diluar nalar seperti ini. Apakah orang yang dimaksud teman sang kakak adalah Nadira. Sayang sekali Devan juga tidak tahu lebih detail sehingga Clara juga tidak  bisa bertanya lebih banyak.

“Baiklah. Nanti akan Clara cari pengacara untuk membantu teman kakak. Besok Clara kirim kontaknya,” ucap Clara. Otaknya berselancar memikirkan sebuah rencana.

“Kamu memang adikku yang bisa banget diandalkan,” ucap Devan bangga sambil mengelus puncak kepala sang adik. Tidak lupa ia mengucapkan terimakasih pada Clara.

“Kakak mau langsung ke kamar?” tanya Clara saat kakaknya bangkit lebih dulu.

Devan langsung menggelengkan kepala, “Enggak. Kakak mau balik ke hotel aja. Males ketemu sama papa. Nanti pasti langsung diceramahi,” katanya asal, membuat Clara tertawa kecil. Kakaknya itu memang pandai sekali membuat gurauan.

“Ya sudah kalau begitu. Clara gak anterin ya. Mau balik langsung ke kamar aja. Kakak hati-hati dijalan.”

Keduanya akhirnya meninggalkan Gazebo yang dihiasi lampu-lampu kecil dengan cahaya lembut. Devan akhirnya turun ke lantai bawah dan segera menuju garasi mobil. Urusannya sudah selesai. Besok rencananya ia akan menyampaikan kabar baik ini pada Yoga.

***

Pagi-pagi sekali Devan mendapatkan pesan dari Clara yang berisikan nomor kontak pengacara yang dimintanya semalam. Pria yang baru menyukur jenggot dan bulu kumis diwajahnya itu tampak senang usai membaca pesan itu. Ia tidak mau membuang waktu dan segera membersihkan diri lalu bersiap-siap. Yoga pasti senanng mendengar kabar ini.

Devan membawa mobilnya menuju ke rumah Yoga. Sengaja tidak mengabari tentang kedatangannya seperti kemarin. Nanti, ia juga berencana untuk ikut pergi ke kantor polisi bersama dengan Yoga serta pengacara yang dipilihkan oleh Clara. Biarlah ia bolos ke Perusahaan sekali lagi. Lagipula Devan masih belum resmi menjadi pegawai disana. Paling-paling nanti ayahnya akan mengomel padanya.

Sekitar empat puluh lima menit menempuh perjalanan. Akhirnya Devan sampai dirumah semi toko milik keluarga Yoga. Temannya itu memang memiliki usaha toko roti yang sudah terkenal dari generasi ke generasi.

“Loh, Devan?” Yoga yang saat itu baru selesai lari pagi didepan rumah terkejut melihat Devan keluar dari mobil.

Pria yang sudah rapi dengan kaos hitam itu menghampiri Yoga.

“Habis jogging, Bang?” sapa Devan pada pria yang bajunya sudah basah oleh keringat itu.

“Iya. Kamu kenapa pagi-pagi sudah sampai sini?”

“Aku mau kasih kabar baik sama kamu, Bang. Aku sudah dapat pengacara yang bisa membantu,” katanya. Hal itu langsung membuat mata Yoga berbinar. Tidak menyangka bahwa akan secepat ini Devan membantu mencarikannya pengacara. Padahal belum ada sehari dia meminta tolong.

“Kamu serius?”

“Iya, Bang,” ucap Devan berusaha meyakinkan, “Kalau abang mau, kita bisa hubungi pengacara itu sekarang juga.”

Yoga mengucap banyak syukur dalam hati. Semoga ini adalah awal yang baik.

“Benarkah?”

Devan langsung mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Dengan cepat ia menghubungi nomor kontak yang tadi pagi dikirim oleh adiknya. Setelah tersambung, Devan menjelaskan secara singkat inti permasalahan kasus yang Yoga ceritakan. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu langsung nanti di kantor polisi.

“Terimakasih banyak, Devan. Kalau tidak ada bantuan dari kamu. Sepertinya ini semua tidak mungkin berjalan lancar,” ucap Yoga dengan tulus. Jika bukan karena Devan ia pasti masih dilanda kebingungan, dan tidak tahu bagaimana membantu Nadira secepatnya.

“Santai aja, Bang. Lagipula aku juga senang kalau memang bisa dan mampu membantu kamu.” Devan sudah menganggap Keluarga Yoga sebagai keluarga keduanya. Jadi, membantu Yoga juga sama dengan membantu saudaranya juga.

“Oh iya. Nanti aku boleh ikut ke kantor polisi juga?” tanya Devan.

“Kamu tidak sibuk?” Yoga balik bertanya. Sebenarnya ia tidak masalah sama sekali jika Devan ikut menemaninya menjenguk Nadira di kantor polisi. Hanya saja ia takut semakin merepotkan Devan.

Devan malah tertawa kecil, “Sejak kapan seorang Devan bisa sok sibuk, Bang.”

Benar juga pikir Yoga. Dari dulu semenjak mereka sudah saling kenal ia tidak pernah melihat Devan melakukan hal-hal yang tidak dia sukai. Devan adalah pria yang suka bermain dan banyak menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Terkadang Yoga bertanya-tanya saat melihat Devan selalu tenang sekali menghadapi kehidupan dan tidak menghawatirkan masalah apapun. Devan juga sedikit misterius karena tidak pernah membahas masalah keluarganya. Dan juga, sampai sekarang Yoga juga tidak pernah berniat menanyakannya. Baginya, itu adalah hak Devan sendiri karena itu adalah privasinya.

“Ya sudah kalau begitu. Asal tidak merepotkanmu saja,” kata Yoga.

Pagi itu akhirnya Devan dan Yoga memutuskan untuk menjenguk Nadira bersama-sama. Yoga juga mengajak pria itu untuk masuk kedalam rumahnya untuk sarapan. Ia yakin Devan pasti terburu-buru datang ke tempatnya karena memang sepagi itu. Devan sendiri memang tidak pernah segan dan canggung jika bertamu disana. Karena, sejak lama ia menganggap orang-orang disana sebagai keluarga keduanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status