Share

Kabar pembunuhan

Bulu kuduk Nadira meremang kala polisi memasukkannya kedalam ruangan persegi empat, berukuran cukup sempit. Hanya ada satu meja dengan dua kursi yang saling berhadapan, lampu yang tingginya tapi diatas kepala juga sangat menyilaukan mata.

Nadira tidak tahu ruangan apa ini karena tempat itu benar-benar sangat pengap. Di sekelilingnya tidak ada apa-apa yang bisa dia lihat. Sampai seorang pria menggunakan kemeja masuk. Sepertinya bukan polisi karena tidak menggunakan seragam.

Pria itu lalu duduk di seberang kursi, kemudian menatap Nadira dengan mata yang tajam. Sontak, Nadira langsung menundukkan pandangannya tidak berani membalas dengan matanya.

“Wanita cantik terkadang tidak bisa ditebak, ya?” ucap sang detektif, tersenyum miring.

Jelas sekali sedang menyindir Nadira. Namun, perempuan itu masih memilih untuk menunduk.

“Baiklah. Tidak perlu banyak basa-basi lagi. Semakin cepat kamu mengaku, semua ini akan juga cepat selesai.”

“Tidak ada yang perlu saya akui disini,” jawab Nadira mengangkat kepala.

Detektif itu tiba-tiba memukul meja hingga suara keras memenuhi ruangan kecil itu. Nadira terkejut saat pria itu memberinya seringai yang sangat menakutkan.

“Kamu itu pembunuh! Berani sekali bersikap tidak acuh setelah menghilangkan nyawa orang lain,” tuduhnya.

“Sudah saya katakan saya tidak membunuh orang itu!” jawabnya tak kalah nyalang.

Detektif itu terkekeh melihat bagaimana keberanian Nadira dalam membantah ucapannya. Beberapa detik kemudian pria itu mengeluarkan sebuah plastik kecil transparan dan meletakkannya diatas meja.

“Lihat! Bagaimana kamu mau membantah barang bukti ini?”

Nadira terpaku sebentar, mengamati sesuatu yang berada didalam plastik transparan itu. Matanya melotot saat menyadari bahwa itu adalah gelang miliknya. Ia sangat yakin bahwa itu adalah miliknya.

Sontak, Nadira mengecek kearah pergelangan tangannya. Ia kembali terkejut begitu mendapati pergelangan tangannya kosong. Benda berkilau yang biasa melingkar disana tidak terlihat sama sekali.

“Bagaimana mungkin?” gumamnya tak percaya.

***

“Kamu sudah membereskan semuanya?” Clara bertanya pada Antoni -pria suruhannya- didalam ruang kerjanya.

Antoni mengangguk, “Tenang saja, Bu. Saya sudah mengamankan orang-orang yang kita perlukan. Saya yakin perempuan itu tidak akan bisa keluar dari sana.”

Clara tersenyum, mengandalkan Antoni memang tidak perlu diragukan. Hanya saja ia masih merasa sedikit ganjal dengan sikap Aldi saat melihat Nadira tadi.

“Sebaiknya kamu pantau supaya tidak terjadi masalah yang tidak diinginkan. Bagaimanapun caranya perempuan itu harus mendekam didalam penjara,” suruhnya lagi.

Suara pintu diketuk lantas membuat Clara dan Antoni menyudahi pembicaraan mereka. Tidak boleh ada yang mengetahui apa yang sedang mereka lakukan.

“Hei, kenapa kaget begitu saat aku masuk,” ucap Devan, pria muda yang sedang jadi buah bibir karyawan di perusahaan saat ini.

“Eh…Kak Devan,” Clara memberi kode mata supaya Antoni pergi dari ruangannya. Pria cepat tanggap dan segera keluar.

“Kenapa datang kesini?” Clara menghampiri pria yang merupakan kakak laki-lakinya itu sambil menghilangkan kegugupannya barusan.

“Kenapa? Tidak boleh?”

“Bukan begitu. Maksud aku bukannya kakak harusnya bertemu dengan papa dulu? Pimpinan maksudku,” jawabnya beralasan.

Devan menghela napas, memilih duduk disofa empuk ruangan Clara, “Kamu tau kan aku tidak suka kembali ke perusahaan?”

Clara terkekeh kecil, melihat pria yang dua tahun lebih tua darinya itu bertingkah seperti anak kecil.

“Bagaimanapun juga itu adalah keinginan papa, Kak. Pasti pilihan papa yang terbaik untuk kamu,” Clara ikut duduk di sebelah Devan.

“Kamu tau kan kalau kakak gak punya bakat untuk bekerja di perusahaan ini?”

Dua tahun berada diluar negeri nyatanya hanya akal-akalan Devan supaya tidak disuruh bekerja di tempat ini. Cukup setahun saja dia menderita karena mencoba menuruti omongan ayahnya.

“Bukannya dua tahun bersenang-senang diluar negeri sudah cukup, kak?” Clara setengah berbisik.

Dengan cepat Devan menutup bibir adiknya itu supaya tidak melanjutkan ucapannya. Semoga saja tidak ada yang mendengar kalimat barusan.

“Astaga! Hati-hati kalau bicara. Siapa tau ada yang mendengar,” serunya setengah berbisik sambil melihat kearah pintu.

“Kamu tahu darimana soal itu?” Devan bertanya. Selama ini dia memang hanya bermain-main di negara luar. Tentunya dengan mengelabui utusan ayahnya yang diam-diam mengawasi.

Clara terkekeh lagi, “Bukan hal yang sulit. Tapi tenang, aku gak bakal kasih tau ke papa, kok.”

“Oh iya, tadi dibawah kenapa bisa ada polisi?” Devan tiba-tiba teringat pada kejadian saat dia baru datang ke perusahaan ini.

Clara sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari kakaknya, “Oh itu … ada insiden. Kakak gak perlu pikirin. Semuanya sudah beres, Kok,” jawabnya, mencoba menghentikan topik bahasan itu.

Pintu ruangan diketuk kembali dari luar, Pria yang nampak tergesa-gesa masuk begitu saja. Membuat Clara dan Devan terheran. Apalagi Clara yang mengaduh dalam hati karena kedatangan Aldi yang tidak seperti karyawan pada umumnya.

“Eh…Maaf. Sepertinya Bu Clara sedang ada tamu,” Aldi juga sama terkejutnya saat melihat Clara tidak sendirian diruangan itu. Ia segera bergegas kembali keluar, sebelum Devan menghentikan langkahnya.

“Sepertinya ada yang penting untuk dibicarakan,” Devan bangkit dari duduknya, “Silahkan…saya juga cuma mampir sebentar.”

“Cla…pokoknya jangan bilang sama papa soal tadi ya,” alihnya pada sang Adik sambil mengedipkan mata.

“Kenapa kamu tiba-tiba masuk seperti itu,” ucap Clara sedikit kesal saat Devan sudah pergi dari ruangannya, “Untung saja kakakku tidak berpikir macam-macam,” ucapnya.

“Maaf, aku terlalu terburu-buru tadi,” sungutnya, “Tadi itu kakakmu, Pak Devan?” tanyanya.

“Iya. Dia baru kembali dari luar negeri beberapa hari yang lalu. Apa yang mau kamu bicarakan sampai terlihat cemas?”

Aldi membasahi kerongkongannya dengan meneguk ludahnya sendiri, “Nadira dituduh menjadi pembunuh. Apa benar kamu yang merencanakan semua itu?” tanyanya.

“Huh…Aku kira ada hal penting apa. Rupanya masalah itu,” ucap Clara setengah tidak semangat.

“Kenapa kamu melakukan itu, Cla. Nadira tidak mungkin melakukan pembunuhan. Ini tidak masuk akal sama sekali,” Aldi terlihat frustrasi.

“Kenapa kamu malah bersikap seperti ini, Aldi. Semua yang aku lakukan untuk kepentingan kita berdua, kan?”

“Tapi tidak dengan cara yang kejam seperti itu, Cla?”

“Apa? Kejam kamu bilang?” Clara melotot, urat lehernya hampir tercetak di leher, “Tidak ada kata kejam bagi Clara dalam menuntaskan masalahnya.”

Aldi mengacak rambutnya bingung. Kini semua sudah diluar kendalinya.

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Bagaimana dengan nasib Nadira?”

“Tentu saja dia tidak boleh keluar dari sana. Dia harus dipenjara.”

Aldi melotot, tidak pernah terbayang bahwa Clara akan menghalalkan segala cara.

***

Nadira masih membantah bahwa dialah orang yang membunuh wanita—karyawan—perusahaan yang tergeletak dilantai dua tangga darurat.

Ia masih berdebat tak mau mengakui segala tuduhan yang dilayangkan terhadapnya.

“Saya berani bersumpah bahwa saya hanya mencoba menolong perempuan itu, Pak. Kalau tidak percaya coba cek CCTV yang ada disana.”

“Kebetulan tidak ada CCTV ayang mengawasi disana,” jawab detektif cepat.

Nadira menggeleng, “Tidak mungkin perusahaan sebesar itu tidak memiliki CCTV,” katanya tak percaya.

Detektif itu malah tertawa didepan mukanya, “Hei! Bukan itu yang perlu kamu pikirkan. Jelaskan mengenai barang bukti ini,” Pria itu menunjuk-nunjuk gelang yang sejak tadi mematung diatas meja.

“Itu memang benar gelang saya, Pak. Tetapi bukan berarti itu membuktikan bahwa sayalah yang membunuh. Anda seharusnya menyelidiki lebih jauh,” ucap Nadira seraya menjelaskan.

“Wah, berani-beraninya anda mengajari cara kerja saya,” Detektif itu menggebrak meja sekali, membuat bahu Nadira naik saking kagetnya.

Beberapa detik kemudian Detektif itu menyondongkan tubuh kedepan, hingga akhirnya wajahnya hanya bersisa beberapa jengkal dari Nadira. Hembusan napas pria itu bergemuruh menahan amarah.

“Dasar pembunuh!” seru sang detektif tepat di wajah Nadira.

Ruangan kembali lengang saat detektif itu pergi meninggalkan Nadira sendirian. Wanita itu merenungi apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tidak ada lagi air mata yang turun untuk mengantarkan sedihnya.

Hal yang terpikirkan olehnya saat ini adalah Aryan, bayi kecilnya. Tidak tahu apakah neneknya sudah mendengar berita tentang dirinya yang dibawa oleh polisi apa belum.

Nadira jadi khawatir dengan keadaan neneknya. Takut sekali jika wanita renta itu terkejut dan kemudian jatuh sakit. Ia coba berpikir keras untuk mencari bantuan supaya bisa dikeluarkan dari tempat ini. Tetapi, bagaimana caranya. Semua barang-barangnya sudah disita oleh polisi.

Bersambung,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status