Dari sela pintu aku tidak melihat apa-apa. Penasaran, sedikit aku lebarkan daun pintu. Yang aku dapati hanya wanita dengan rambut panjang yang berjalan ke arah pintu yang keluar lewat garasi. Saat suara langkah mendekat, segera aku kembali ke ranjang. Menarik selimut untuk pura-pura tidur. "Kenapa Mas Hendra tidak memperbolehkan wanita itu berisik? Apa dia takut aku terbangun dan memergoki dia dengan wanita lain?" Aku meremat selimut dengan isi kepala masih berputar, menerka siapa wanita itu? Kenapa terlihat akrab dengan kekasihku?Dulu saat saat pernikahan yang pertama, aku begitu percaya dengan laki-laki. Namun sekarang rasa curiga begitu menghantui pikiran. Logikanya, Aditya yang begitu-begitu saja ada wanita yang merebut. Apalagi seperti Mahendra ini, yang loyal kepada wanitanya. Seperti denganku, dia tidak segan-segan mengeluarkan uang. Aku tidak boleh kecolongan.Suara pintu dibuka terdengar. Aku menggerakkan kaki pura-pura terbangun karena kaget. Sambil mengusap-usap mata aku
Aku dan Mahendra tersenyum bersama, ketika menoleh tiga orang penjaga toko serentak pura-pura sibuk. "Mas Hendra usil. Tidak malu apa sama mereka," ucapku sambil menyenggolkan siku ke arahnya. "Kenapa harus malu? Malu itu kalau kita bertengkar, ini kita kan bermesra-mesraan. Toh mereka bukan anak kecil. Yah, sudah maklum sama kita yang sedang jatuh cinta ini. Yang kami beli sudah disiapkan, termasuk bersama surat resmi yang dikeluarkan dari toko perhiasan ini. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih, kemudian mengantar kami sampai pintu. "Duit memang mampu membeli penghormatan," bisikku sambil menggandeng kekasihku. Satu tangannya membawa belanjaan perhiasan tadi, tugasku mengapit lengannya. Bermanja-manja saja. Ini perbanding terbalik dengan kisahku saat bersama mantan suami. Ketika belanja, dia hanya mau menunggu di mobil. Tidak peduli betapa susahnya aku berebut belanjaan, atau keberatan menenteng tas. Sering kali aku protes. "Apa bedanya diantar suami atau dijemput
Seperti biasa, aku tidak diperbolehkan keluar mobil sebelum dia membukakan pintu. Dia menengadahkan tangan, dan aku menerimanya, kemudian aku keluar dari mobil. Tanpa melepas genggaman, kami memasuki lift. "Mau beli apa lagi, sih, Mas? Aku tidak mau disebut cewek matre.""Cewek matre itu kalau dia minta-minta. Ini kan aku yang ingin memberimu.""Sudah kebanyakan."Dia mempererat genggaman. "Untuk calon istri Mahendra, itu belum cukup. Masih banyak kejutan untukmu."Kaki ini mundur dengan sendirinya ketika dia mendekat. Kebiasaan di setiap kesempatan selalu begitu. Ini di tempat umum, kalau ada yang masuk lift gimana?"Mas...." Aku memalingkan wajah ketika tangannya terulur. Bukan menangkup tengkuk ini seperti biasanya, tetapi tangannya berhenti pada dahiku. Dia menyingkirkan helaian rambut dan menyelipkan di belakang telinga. "Rambutnya harus dirapikan dulu. Ini ada daun juga." Dia menunjukkan daun kering, mungkin ini terselip ketika kami di tepi sawah. "Kaget aku, Mas. Aku pikir m
"Dari tamu dari Belgia itu. Sebentar aku baca""Apa yang dia katakan?" Aku mendekatkan diri padanya. Kemudian dia menyodorkan ponsel yang menunjukkan isi pesan yang membuat kekasihku ini tersenyum. Pesan dalam bahasa inggris. Walaupun aku tidak kuliah, aku masih ingat pelajaran bahasa inggris saat SMA dulu."Jadi Mas Hendra bertemu dengan mereka dua hari lagi?""Iyap, betul. Mereka mau liburan ke Bali dulu. Ini kabar baik.""Kenapa? Bukankah justru urusannya tidak kelar-kelar?" Dia tertawa. "Ya kabar baik, lah. Jadinya aku bisa mengantarmu pulang, tidak harus menyuruh Pak Salim. Sebenarnya, aku tidak mau kamu pulang bersama dengan Pak Salim, apalagi saat ke sini juga dijemput dia.""Ya tidak apa-apa. Mas Hendra lebih baik mengurus hal pekerjaan di sini. Aku tidak mau menjadi beban dan membuat Mas Hendra kerjaannya berantakan.""Tidak, lah, Dek. Semua sudah aku handle sesuai porsinya. Kalau aku terlalu ikut campur ke oprasional, apa kerjaannya manager? Nanti dia justru tidak mandiri
Dia begitu tergesa membuka pintu. Tidak memasang sabuk pengaman, tapi justru mencondongkan badan ke arahku. "Dek, aku kangen.""Mas kita ini sedang di mo__" ucapanku terhenti saat tangan besarnya sudah meraih tengkuk dan mulut ini dikunci olehnya. Posisiku yang terjepit, meleluasakan niatnya. Percikan gairah mulai di gubug tadi seakan menuntuk pelampiasan. Mungkin ini juga akibat ketegangan tadi. Tangan yang sempat akan mendorong tubuhnya, sekarang justru meremas ujung kemejanya. Terlebih ketika wajahnya terbenam di leher ini. Perlakuan yang tiba-tiba membuatku tidak berkutik. Bisa jadi ini hukuman karena membuatnya sempat was-was. Kami sama-sama terengah sambil saling menatap. Dengan ibu jarinya, dia mengusap bibir ini. Sepertinya, dia mengakibatkan pewarna bibirku berantakan. Aku mendorongnya pelan memberi jarak. Gerakanku tak sengaja menyingkap ujung rok. Seketika aku mengatup kedua kaki ketika tanganku terulur. "Kalau di depan laki-laki lain tidak boleh sampai kelihatan." Terny
"Aku ingin pemeriksaan kesehatan reproduksi."Seketika dia menoleh dengan wajah penuh keterkejutan. Terdiam sebentar, kemudian mengarahkan mobil ke sisi jalan. Di pelataran yang agak luas, dia menghentikan mobilnya.Dia melepas sabuk pengaman, dan mengarahkan badannya ke arahku. "Ada apa, Dek? Kenapa kamu tiba-tiba mengatakan itu?" Nada suaranya terdengar tenang, dengan gerakan kepala yang menunjukkan perhatian. Akan tetapi di mataku ini seperti pengadilan. Menuntut aku yang sudah memberi harapan yang ternyata kosong."Ada masalah?" tanyanya lagi dengan tatapan menelisik. Aku menggeleng sambil tersenyum, berusaha menutupi ketakutanku. "Tidak ada, Mas. Hanya aku ingin jaga-jaga supaya nantinya kamu tidak kecewa.""Kecewa?""Iya," jawabku mantap. Aku sudah mulai mendapatkan keberanian. Sambil menegakkan badan, aku menjelaskan. "Ini bukan hal baru. Banyak kok pasangan yang memeriksakan kesehatan reproduksi di awal supaya clear di awal."Dia beringsut. Wajahnya menunjukkan ketidak terim