Bab 37Pov Fatan.Akhirnya aku pulang ke rumah juga, syukurlah luka yang kuderita hanya luka luar saja. Irene membantuku berbaring di tempat tidur. Sebenarnya aku merasa sedikit aneh melihat Irene. Kemarin dia tak menemaniku di rumah sakit. Alasannya sakit perut, dan sejak dia datang tadi pagi sampai pulang sore ini dia lebih banyak diam. Aku mengamati wajah Irene yang sedang menyelimutiku. Wajahnya mendung, tak ada senyum di bibirnya.Bibirnya, hey kenapa dengan bibirnya? Sedikit bengkak dan kemerahan. "Bibirmu kenapa Ren?" Irene yang akan bergerak keluar kamar menghentikan langkahnya. "Gak papa Mas, alergi makanan mungkin," jawabnya malas."Memangnya kamu makan apa kemarin. Sini duduk, biar Mas lihat!" Irene pun duduk di sebelahku, aku bisa melihat dari dekat bibirnya. "Yakin karena alergi?" "Iya Mas, sudah ah gak usah dibahas. Aku masakin sup mau?" "Mas kok jadi pengen soto ya Ren, beli aja di perempatan sana!" "Ya sudah, tunggu sebentar!" Irene keluar kamar, sambil men
Bab 38"Ma-maaf Mas!" "Maaf-maaf enak aja kau!" "Mas Diki, lepaskan gak. Apa-apaan sih?" teriak Irene marah.Rupanya dia terbangun karena teriakan Mas Diki tadi.Mas Diki menoleh, lalu melepaskanku sambil mendorong tubuhku. Aku terhuyung dan terjerembab ke belakang. Untung mendaratnya di sofa, coba kalau di lantai. Irene mendekatiku dengan wajah khawatir. "Kamu gak papa kan Mas?" Aku menggeleng pelan, Irene mendekati Mas Diki dengan wajah marah."Ada apa sih Mas, kenapa kamu marah-marah?" tanya Irene heran."Orang ini sudah menipu kita Ren, ngakunya orang kaya taunya kere. Huh!" "Mas Diki, Mas Fatan gak seperti itu. Istrinya aja yang licik, semua harta dikuasainya sendiri."Wah hebat istriku, pandai dia menenangkan Mas Diki."Jadi, sebenarnya gimana?" "Jadi mantan istrinya Mas Fatan itu gak mau kalau hartanya jatuh ke tangan orang lain. Jadi semua harta dibuatnya atas nama dia sendiri."Wihh, keren kamu Ren, Mas salut. Mas Diki terdiam, matanya fokus menonton sinetron di telev
Bab 39Pov Nadhifa.Pria tadi semakin mendekat dengan seringai jeleknya. Aku sudah pasrah, kututup mataku dengan kedua telapak tanganku.Bugh ... Bugh ... Bugh ...."Ampun, tolong!" Aku membuka mataku, pria tadi sudah terkapar. Demikian juga dengan kedua temannya. Seorang pria telah menolongku, dia memegang tongkat besi yang dicampakkan pria yang hendak memperkosaku tadi.Aku mencoba bangkit, tanganku berdarah karena terkena duri tajam.Pria tadi mendekat sambil tersenyum."Kamu gak apa-apa Mbak?" tanyanya sopan."Alhamdulillah, aku gak apa. Hanya luka gores kena duri aja. Terimakasih ya Mas---""Diki, panggil saja aku Diki!" jawabnya masih tersenyum."Iya, terima kasih Mas Diki," ulangku."Oh iya Mas Diki tinggal di mana? Untung ada Mas Diki. Kalau tidak, ah saya gak tahu apa yang akan terjadi," ucapku tulus."Kebetulan saja Mbak Dhifa, saya kebetulan saja lewat di sini." "Maaf sepertinya saya belum menyebut nama, kok Mas Diki bisa menyebut nama saya dengan tepat?" tanyaku curiga.
Bab 40"Sudah larut malam, kamu pulang sama Om ya. Biar mobil kamu dibawa sama supir Om!""Iya Om, terima kasih." Om Faisal mengantarkanku ke rumah. "Besok kamu ke kantor polisi untuk membuat laporan. Om jemput jam 8 pagi ya!" "Iya Om, terima kasih. Dhifa masuk dulu, Om hati-hati di jalan!" pesanku.Aku membuka pintu depan dengan kunci yang biasa kubawa. Aku gak mau mengganggu istirahat Mertua dan anak-anakku.Setelah membersihkan tubuh aku membaringkan tubuhku di ranjang. Tiba-tiba ponselku berdering, dari Mas Riko.Jawab gak ya? Aku masih malu dengan kelakuanku kemarin. Aku takut nanti istrinya semakin marah padanya.Tapi penasaran juga, ngapain dia menghubungiku terus."Assalamualaikum," jawabku akhirnya. "Waalaikumsalam, akhirnya kamu mau menjawab Fa. Kamu gak apa-apa kan Fa? Ada yang terluka, maaf ya Mas baru aja dengar beritanya!" Aku tersenyum mendengar suara girang Mas Riko. Sesenang itu kah dia, hanya karena aku mau menerima panggilannya."Alhamdulillah Mas, aku baik-bai
Bab 41Aku mengintip lagi dari pintu belakang, sudah sepi. Pasti Dhifa sudah pergi."Ngapain kamu ngintip disitu Ren!" tanya mertuaku.Yaelah ni nenek sihir ngagetin aja. Untung aja aku gak punya penyakit jantung."Mbak Dhifa kemana Ma?" tanyaku penasaran."Mulai kepo kamu? Terusin kerjamu sana. Setrikaan dah banyak tuh!" Ngikut ajalah, dari pada panjang urusannya. Eh tapi tunggu dulu, kenapa tadi aku gak tanya soal Mas Diki-Diki tadi sih.Tapi mana mungkin nenek sihir itu mau menjawab. Aku meneruskan pekerjaanku kembali. Hah, gak salah ni pakaian yang harus disetrika sebanyak ini. Apa mereka habis pesta kemarin, masa ditinggal sehari aja sudah sebanyak ini. Lagian siapa yang mencuci pakaian ini kemarin, hmm pasti nenek sihir yang mencucinya. Sambil menunggu setrikaannya panas, aku memeriksa ponselku sebentar. Aku tertawa membaca postingan temanku di KBM. "Kamu mau nunggu itu setrikaan bergerak sendiri Ren!" "Ng-nggak Ma, ini baru mau mulai kok," jawabku.Ini nenek sihir suka ba
Bab 42Part Riko.Aku memperhatikan Dhifa yang sedang menjawab beberapa pertanyaan dari polisi.Wajahnya kelihatan serius, tetapi hal itu tak mengurangi kemanisan wajahnya.Wanita cantik itu sudah biasa, tetapi memandang Dhifa aku melihat selain cantik dia juga manis. Senyumnya tulus dan bila aku menatap bola matanya yang polos aku harus menunduk atau memalingkan wajahku ke tempat lain. Jika tidak, aku yakin tak lama kemudian aku akan salah tingkah. Jantungku berdebar dan keringat dingin akan menetes di balik pakaianku. Sejak pertama bertemu di Cafe bersama Dera sahabatku, aku sudah tertarik pada sosok Dhifa.Sosok wanita mandiri dan tidak neko-neko. Tak ada kesan genit saat pertama kami berkenalan. Padahal sebelumnya banyak wanita yang berubah kecentilan saat bersamaku. Apalagi dengan para wanita yang sedang mengurus proses perceraian mereka. Banyak yang berusaha menarik perhatianku, namun tak sedikit pun bisa menggetarkan hatiku. Dhifa berbeda, sikap cueknya saat pertama kali b
Bab 43"Iya Ma," jawabku mewakili Dhifa."Oala, ternyata aslinya cantik banget, bukan-bukan cuma cantik tapi manis," puji mamaku.Nah benarkan, Mama juga sama penilaiannya denganku."Ah Tante bisa aja, kenyataannya aku malah ditinggal kok Tante," tukas Dhifa dengan wajah menunduk malu. "Itu mantan suami kamu aja yang gak bersyukur, oh iya kok malah ngobrol terus. Sebentar ya, Tante buatin minuman dulu!" "Iya Tante."Aku masih tersenyum melihat Dhifa yang kelihatan duduk santai di depanku."Adik kamu mana, Mas?" tanya Dhifa."Di kamar, mau ketemu sekarang?" Dhifa mengangguk, aku membawanya ke kamar adikku. Rupanya adikku sedang mengganti popok bayinya."Rini, ini teman Mas datang menjenguk kamu. Fa ini adikku, Rini!" Mereka saling berjabat tangan berkenalan. "Jadi ini Mbak Dhifa, terima kasih lho Mbak mau datang kemari," ucap Rini senang.Mama dan Rini adikku memang pernah mendengar nama Dhifa disebut-sebut sebagai salah seorang klienku."Kamu suka nggosipin aku di rumah sini ya
Bab 44Sambil tetap berusaha fokus mengemudi, aku bercerita masa lalu hidupku. Tentang Kumala istriku yang sudah meninggal saat melahirkan anakku. Tentang anakku yang akhirnya juga menyusul Kumala karena jantungnya gagal berfungsi. Lalu tentang orang tua Kumala yang ngotot menjodohkan aku dengan Vanessa adiknya Kumala. "Kenapa Mas gak mau dijodohkan dengan Vanessa. Bukannya dia cantik Mas?" "Mas merasa dia gak baik Fa, Mas gak suka dengan cara berpakaiannya dan pergaulan dengan teman-temannya.""Kalau saja Mas Fatan punya pandangan seperti Mas Riko!" keluhnya."Kamu masih mengharapkan Fatan kembali padamu Fa!" tanyaku sedikit cemburu.Dihh, sadar Riko. Kamu belum ada ikatan dengannya."Aku gak mengharapkan dia lagi Mas, sudah berulangkali dia mengecewakanku dan anak-anaknya. Alea dan Axel bahkan tak pernah merasa sedih karena kehilangan papinya."Aku tersenyum tipis mendengarnya, kamu masih punya harapan Riko. Sabar ya, bujukku pada hatiku.🔥🔥🔥🔥🔥Pov Irene."Mas, sudah mulai b