Share

Maukah Menikah Denganku?

“Darren? Darimana kamu tahu alamat rumahku?”

“Soal itu, aku sengaja mencari tahunya. Maaf jika –”

Renata sudah lebih dulu menarik tangan Darren dan membawanya ke taman belakang rumah Renata. Tepat di dekat kolam berenang miliknya.

Wajah Renata sungguh sangat panik. Khawatir jika nantinya Darren menceritakan tentang kejadian malam itu dan membuat orang tua Renata khawatir.

Ia yakin, suara gemericik air yang cukup keras tak bisa membuat mama atau papa Renata mendengar dengan jelas percakapan Darren dan Renata sekalipun mereka datang kemari.

Darren hanya bisa tersenyum tipis kala melihat wajah Renata dari jarak dekat, terlihat lucu baginya. Renata melihat ke kanan dan ke kiri seperti seorang pencuri yang harus memastikan keadaan sebelum ia melangsungkan aksi pencuriannya itu.

“Kita bicara di sini saja, ya? tak apa kan?” tanya Renata masih dengan dahi yang berkerut.

Darren kembali tersenyum dan mengangguk. Lalu duduk tepat di sebelah Renata tanpa di persilahkan untuk duduk sebelumnya.

“Kamu mencari tahu rumahku darimana?”

“Dari kantormu. Ini, kau meninggalkan ini di kamar ibuku,” ujar Darren sembari menunjukkan sebuah kartu nama Renata Michelle.

Renata lantas tersenyum canggung. “Maaf, karena aku tak sempat mengucapkan terima kasih kemarin. Juga pada ibumu….” Senyum Renata terlihat kikuk.

“Hmm, bicara tentang ibuku … dia mau kau sering berkunjung kalau kau punya waktu luang.” Darren kembali menarik sudut bibirnya yang indah. Sementara Renata, hanya mampu mengulum senyum karena malu.

Perlahan namun pasti, Darren seperti telah berhasil membawa Renata kembali ke dalam dunianya yang ceria. Hingga tanpa terasa mereka sudah hampir satu setengah jam menceritakan banyak hal dengan gelak tawa keduanya.

“Lihat, Pah! Baru kali ini Renata membawa teman lelakinya ke rumah, kan? Coba perhatikan, mereka terlihat sangat cocok bukan? Tampan dan cantik, apa Renata sebenarnya telah berkencan dengan seseorang?”

"Entahlah, papa juga belum yakin."

Secara diam-diam tanpa sepengetahuan Renata dan Darren, mama Erna dan Pak Wilyasa tengah memantau interaksi mereka dari balkon yang berada di belakang kolam berenang rumahnya.. Sehingga bisa terlihat jelas meski posisi duduk Renata dan Darren membelakangi orang tuanya.

“Darren, maaf aku mengatakan ini. Um ... boleh aku meminta sesuatu padamu?”

Tatapan mereka saling bertemu. Renata yang menatap Darren sendu juga gugup sementara Darren yang menatap Renata dengan begitu hangat.

“Tentu saja boleh, katakanlah!”

“Apa kau mau melakukan pernikahan denganku?”

UHUK!!!

Seperti tersetrum listrik puluhan ampere, Darren merasa tubuhnya kaku mendengar pertanyaan dari Renata. Ia juga beberapa kali menenangkan pikirannya, bahwa ia pasti salah mendengar. Tidak mungkin Renata mengajaknya menikah bukan?

“Kamu nggak papa?” ujar Renata panik, ia kemudian mengulurkan tissue dan membersihkan pakaian Darren yang basah karena minuman.

“Nggak, nggak papa. Kamu tadi bilang apa?”

“Oh itu … iya aku mau kamu dan aku menikah. Tapi tenang, ini bukan pernikahan sungguhan. Bukan pula pernikahan kontrak, karena ini hanya pura-pura tanpa ada ikrar janji diantara kita dan Tuhan,” tukas Renata ragu-ragu. Ia takut Darren mungkin akan menolaknya.

Dan benar saja, Darren sampai kesulitan menelan salivanya sendiri. ia tak percaya dan tak bisa menebak maksut pembicaraan Renata terhadapnya.

“Aku … sungguh tak mengerti maksut ucapanmu. Lantas pernikahan macam apa yang kamu inginkan?” tatapan Darren sungguh tajam, penasaran sekaligus tak percaya.

Renata juga sempat bingung bagaimana menjelaskannya kepada pria ini. namun Renata sudah memikirkannya dengan matang selama seminggu terakhir. Setelah kejadian itu, Renata pikir ia tak akan bisa menjalani kehidupan normal tanpa Darren di sisinya.

Ia terlalu takut menjalin kehidupan dengan pria asing lainnya. Belum lagi mengingat janjinya kepada mama Erna tentang pernikahan dan perjodohan. Terlalu menakutkan baginya jika nantinya Renata dijodohkan dengan pria yang menakutkan.

Maka dari itu, Renata hanya ingin Darren. Ia sudah begitu nyaman bersama Darren dan segala kepribadiannya, caranya memperlakukan Renata juga menyelamatkannya, termasuk Renata juga menyukai kesederhanaan ibu Darren.

“Sejujurnya … aku belum siap untuk menikah. Aku juga sulit mengatakan hal ini. aku tak tahu mengapa aku ada di posisi ini. aku terjebak, aku bingung…” suara Renata kian parau. Ia berusaha untuk menahan tangis dan rasa takutnya.

Darren mencoba untuk mengerti. Ia memberi kesempatan Renata untuk menenangkan dirinya. “Tenanglah, aku akan mencoba memahami kamu.”

“Kau tau kenapa aku harus mengalami pelecehan seksual semacam itu? Itu semua karena usahaku untuk mengenal lelaki dan melakukan sebuah pernikahan. Usiaku tak lagi muda, orang tuaku memintaku untuk menikah, sementara aku enggan dan tabu dalam dunia percintaan. Jika aku tak bisa menemukan jodohku sendiri, maka aku akan dijodohkan dengan pria asing…”

Darren belum menanggapi. Tatapannya sama sekali tak mengerjap dari ekspresi wajah Renata.

“Tapi … tapi aku juga tak bisa melakukan perjodohan. Aku takut, Darren … aku takut karena kejadian malam itu!!”

Bola mata Renata mulai basah oleh genangan air mata yang perlahan jatuh. Darren masih belum menyentuhnya, hanya memberikan dua lembar tissue untuk Renata.

“Lantas apa yang kau inginkan dariku? Percayalah akan ada lelaki yang nantinya dengan tulus mencintaimu…” tukas Darren. Ia merasa dirinya semakin bingung.

“Aku hanya ingin kamu menjadi suamiku beberapa waktu ke depan, karena aku tak ingin menikah dengan orang asing. Kamu pilihanku. Mungkin ini terdengar tak masuk akal, tapi hanya ini pilihan yang aku punya. Kita bisa berpura-pura menjadi suami istri dalam jangka waktu tertentu saja.”

Darren lantas terdiam. Ia juga sudah mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Renata. Ia butuh beberapa menit untuk memberikan Renata sebuah jawaban.

“Maaf, Renata. Tapi aku menolaknya. Aku tak bisa melakukan pernikahan pura-pura. Kalau kau bersedia, aku akan menikahimu secara nyata dan sungguh-sungguh. Bukan pura-pura.”

Sungguh, Darren terlihat semakin tampan kala ia memberikan sebuah jawaban yang begitu tegas. Pancaran aura dalam dirinya menunjukkan bahwa Darren pria sejati yang sangat berwibawa dan bertanggungjawab.

Namun sayangnya bukan itu jawaban yang Renata inginkan. Renata justru kecewa kala permintaannya di tolak.

“Tapi tak mungkin, usiaku terpaut jauh di atasmu. Apa bisa kita menjalin hubungan suami dan istri?” Renata akan mencoba dengan berbagai alasan untuk mematahkan prinsip Darren.

“Apa ada yang salah soal umur? Tidak kan? Lagi pula aku tidak mempermasalahkan usiamu.”

“Tapi aku belum siap untuk menikah…”

“Apa yang membuatmu belum siap untuk menikah, katakan … agar aku bisa membantumu agar bersiap.”

Sempat terdiam beberapa detik sampai akhirnya, ragu-ragu Renata mulai menjawab, “Aku … masih belum ingin menjalin komitmen dengan seseorang… aku juga masih menginginkan lebih banyak untuk karirku…”

Kini saatnya Darren yang menjadi diam. Perlu pemikiran berhari-hari untuk menuntaskan masalah ini sebab Darren tahu sepertinya Renata tetap enggan mengalah dan keras kepala.

“Intinya aku tak bisa melakukan pernikahan sungguhan!” pinta Renata sekali lagi.

Tanpa Renata kira sebelumnya, tangan Darren mulai bergerak meraih tangan Renata. Ia genggam dengan erat tangan gadis itu. Senyum Darren mengembang sempurna, sikap Darren menunjukkan seakan Darren terlihat lebih dewasa daripada Renata.

“Kalau begitu … aku akan mengalah. Kita masih bisa tetap menikah sungguhan tanpa ada komitmen di dalamnya."

"Apa boleh melakukan hal semacam itu?" tanya Renata ragu.

"Aku rasa tak apa asal ada kesepakatan dan pengertian dari keduanya. Jadi saat kau menjadi istriku, kamu bisa melakukan apapun hal yang kau sukai selama itu tidak melanggar aturan pernikahan. Aku juga tidak akan memaksakan hakku jika kau tak ingin melakukannya. Tapi yang jelas, aku menolak dengan tegas adanya pernikahan pura-pura. Sekarang aku kembalikan padamu, pilihan mana yang akan kau ambil?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status