Share

Restu Mama Papa

Suami Paruh Waktu – 6

“Aku yang akan mengalah, Renata. Kamu bisa melakukan apapun hal yang kau sukai. Aku tidak akan memaksakan nantinya hakku jika kau tak ingin melakukannya. Yang perlu digarisbawahi, aku menolak dengan tegas adanya pernikahan pura-pura. Sekarang aku kembalikan padamu, pilihan mana yang akan kau ambil?”

Tatapan Darren begitu tegas. Bak sebuah pedang yang mungkin bisa saja mengunus jantung Renata kapanpun ia mau. Darren begitu memukau, begitu berwibawa dengan pesonanya.

Bahkan, setiap inchi tubuhnya, setiap tutur kata yang keluar dari bibirnya, setiap sentuhan dan perhatian kecil yang ia berikan, mampu membuat Renata menjadi lebih tenang.

“Apakah itu artinya … aku tidak harus melayanimu kan?” ujar Renata ragu – ragu.

Darren tersenyum simpul. Tak lama kemudian ia mengangguk. “Tidak masalah kalau kau keberatan. Aku bisa menerima jika memang kau menolak untuk itu. Jangan khawatir, selama aku tahu bagaimana kondisinya, sekali lagi aku tidak akan memaksanya.”

Tetap saja, bagi Renata pernikahan ini masih terdengar berat. Bagaimana jika Darren mengkhianati ucapannya sendiri? bagaimana jika Darren tidak menepati janjinya itu?

‘Ah, tidak – tidak. Jangan semudah itu percaya, kau baru mengenalnya. Menyerahkan hidupmu pada pernikahan yang sah bukankah itu sebuah kebodohan buatmu, Renata??’ batin Renata asik berkecamuk dan bertengkar dengan hebat.

“Bagaimana, sudah ada jawaban?” tanya Darren lagi. Ia sudah menunggu beberapa detik untuk mendengarkan pilihan dari Renata.

“Tidak.”

Kening Darren berkerut. Kedua alisnya juga terlihat sedikit berubah. Ekspresi Darren yang terkejut itu, sukses membuat Renata menjadi salah tingkah.

“Um, itu maksutnya … aku tidak bisa memberikan jawabannya sekarang. iya … itu maksut ucapanku,” jawab Renata singkat.

Renata terlihat kesulitan mengendalikan dirinya. Beberapa kali ia seperti menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri.

Darren paham, sangat paham. Dan ia tak banyak berkomentar dengan jawaban Renata barusan.

“Hum, baiklah … aku akan menunggunya kapanpun kau siap memberikan jawaban. Kalau egitu aku pulang dulu, jaga dirimu baik – baik. Okey?”

Darren lantas berdiri, dan mengusap kepala Renata beberapa kali. Meski tak begitu lama, tetap saja sikap manis Darren mampu membuat Renata kembali sesak napas. Renata merasa rongga dadanya terasa sempit hingga tak ada pasokan oksigen yang cukup untuk itu.

“Ah, iya. Silahkan … nanti aku hubungi lagi.”

Renata hanya menjawab singkat, ia lambaikan tangannya rendah untuk mengantar kepergian Darren sampai gerbang rumahnya.

“Tuh kaan, papa … lihat betapa romantisnya mereka. Mama yakin, Renata dan pemuda itu pasti memang sedang menjalin hubungan. Anak itu juga terlihat baik kan, Pah?” sergah mama Erna yang terlihat gemas. Ia bahkan sampai beberapa kali mencubit perut suaminya yang terlihat sedikit buncit.

“Aw, argh! Sakit, mama. Iya … papa juga lihat kok. Kalau papa sih setuju – setuju aja dengan dia. Tapi sepertinya papa masih kurang begitu yakin dengan pemuda itu? Bagaimana kalau dia tidak benar – benar mencintai putri kita, hayo?”

“Hush! Gak lihat apa tadi bagaimana cara dia menyentuh rambut Renata. Padahal kan dia juga tidak tahu kita di sini. Itu artinya ya dia memang tulus. Mama juga sebenarnya tidak bisa menjamin sih. Tapi … yah tetap harus yakin bahwa dia yang terbaik.”

Pak Wilyasa hanya diam mendengarkan ucapan istrinya yang terakhir. Ia hanya memutar bola matanya dan berusaha mencerna kalimatnya. Dan tak lama, ia lantas menarik tangan Mama Erna untuk segera turun ke bawah tepat setelah ia melihat anak perempuan tunggalnya mulai memasuki istana besarnya ini.

“Hey … hey, anak papa sudah ada pacar tapi tidak dikenalkan ya?”

Suara menggelegar pak Wilyasa sudah terdengar dengan amat sangat jelas meski wujudnya belum nampak di hadapan Renata.

Tentu saja Renata terkejut bukan main. Sepanjang jalan masuk gerbang sampai pintu utama rumahnya, Renata belum berhenti memikirkan soal Darren berikut perjanjian pernikahan yang sedang mereka pertimbangkan saat ini. Belum sampai masuk ke ruang tamu, Pak Wilyasa sudah menodongnya dengan pertanyaan semacam itu.

“Papa apaan sih, belum juga turun udah teriak – teriak aja di dalam rumah. Pamali kali, Pah.”

“Ehh … papa tanya nggak di jawab malah ngajarin. Iya iya papa minta maaf. Tapi bener kaaan?” imbuh Pak Wilyasa lagi yang masih terus menggoda putri kesayangannya itu.

“Enggak. orang kita baru kenal kemarin kok.”

“Masa sih? tapi kayanya dia udah kenal kamu lama. Yaa … semacam tahu semua soal kamu, gitu?”

Mama Erna, ikut – ikutan turut andil dalam percakapan Wilyasa dan putrinya. Memang sengaja, kedua orang tua Renata sedang berusaha untuk menggoda putrinya agar sang putri bisa segera menikah.

“Ngga gitu juga, Ma. Aku berhutang kebaikan sama dia. Jadi … yah, mungkin terlihat dekat. Sudah deh, Renata mau masuk kamar.” Renata terkesan cuek dan enggan menanggapi pembicaraan mama dan papanya saat ini.

“Berhutang kebaikan, maksutnya gimana itu Ren?”

Posisi Renata sudah berdiri membelakangi ibunya. Padahal, Renata malas sekali membahas dan mengingat soal kejadian malam itu. Renata sangat membencinya, karena dengan mengingat hal itu, rasa trauma dan ketakutan dalam diri Renata kembali muncul secara tiba – tiba.

“Nggak apa – apa, Ma.”

“Sebentar, Renata. Papa dan mama sejujurnya sangat mendukung dan sangat – sangat setuju jika kamu memang bisa bersatu dengan laki – laki itu. Untuk itu lah kami ingin mengenalnya lebih jauh. dan untuk menuju kesana, kami ingin bicara denganmu lebih serius. Kembali dan duduk sebentar kemari, Renata,” pinta sang ayah.

Kini, Pak Wilyasa tidak sedang bercanda. Gaya bicara dan juga suaranya juga sudah terdengar lebih tegas dari sebelumnya.

Semua anggota keluarga itu termasuk semua asisten rumah tangganya juga tahu, jika Pak Wilyasa sudah dalam mode serius, maka tidak ada yang akan berani menolaknya. Sebab mereka juga tahu bagaimana nantinya jika Pak Wilyasa kemudian marah. Masalah akan menjadi besar dan fatal.

Renata kemudian menghembuskan napasnya dengan lembut. Dirinya pasrah, sebab harus bagaimana lagi karena Pak Wilyasa adalah satu – satunya orang yang tidak pernah Renata bantah ucapannya.

Dengan lembut, Renata mulai membalikkan tubuhnya dan mengikuti apa perintah ayahnya. Mereka berhadapan di sebuah sofa panjang di ruang keluarga. Hanya ada Mama Erna di sebelah Pak Wilyasa kemudian ada Renata di hadapan mereka berdua.

“Pertama, papa ingin kamu menceritakan siapa laki – laki dan darimana asal usulnya?”

Renata menjawab dengan cepat. “Namanya Darren. Aku bertemu dengannya secara tidak sengaja. Mungkin … beberapa hari yang lalu. Aku tidak tahu pasti asal usul keluarganya.”

Renata tak menatap mata ayah dan ibunya. Ia lebih memilih mengalihkannya ke bawah. Renata menatap keramik rumahnya dengan tatapan kosong dan memberikan jawaban dengan malas meski memang apa yang ia jawab memang apa adanya.

“Sungguh kamu tidak tahu bagaimana keluarganya? Hmm … tak masalah. Kalau begitu bagaimana dengan sikapnya?”

‘Argh, papa kenapa sampai serepot ini sih. seolah – olah aku akan baru pertama dekat dengan seorang lelaki? Haruskah sedetail itu?’

“Baik.”

“Selain itu.”

“Ramah.”

“Renata …. yang lebih spesifik dong?” ujar mama Erna menunjukkan aksi protes terhadap jawaban Renata yang terdengar pasrah.

“Ya itu yang Renata tahu, Ma. Memangnya Renata harus jawab apa? Nggak mungkin mengada-ada kan??”

Bibir Renata membentuk kerucut. Wajahnya terlihat menyebalkan untuk dilihat oleh ayah dan ibunya.

“Sudah, begini saja. Kalau kamu tidak ingin menjawab, bawa dia ke pertemuan keluarga kita besok malam. Papa sendiri yang akan menilai bagaimana karakter dia,” tukas Pak Wilyasa dengan sangat tegas.

Wajah Renata lantas terangkat sempurna. “A-pa? Pah … mana mung --”

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status