Share

Trauma

Darren sibuk berkeliling semua ruangan mencari dimana keberadaan Renata.

“Dia kemana, Bu?”

“Dia siapa? Ahh … bos kamu itu ya? sudah pergi sejak subuh tadi, katanya ada pekerjaan mendesak. Hmmm, bukankah seharusnya ia beristirahat dulu ya?”

Ibu Darren sama sekali tak tahu secara mendetail tentang keadaan Renata yang memalukan. Sebab Darren sudah berjanji untuk merahasiakan itu dari siapapun.

“Ibu kenapa membiarkan dia pergi? Kalau dia bertemu orang jahat lagi gimana? Ibu juga kenapa tidak membangunkan aku?” pekik Darren dengan suara yang sedikit kesal.

“Ibu sudah bangunkan kamu, loh! Lagipula dia terlihat buru-buru. Jadi ibu bisa apa?”

Ekspresi Darren masih terlihat kesal. Ia terduduk tanpa berbicara apapun untuk menanggapi ucapan ibunya.

“Hmm … ngomong-ngomong ibu belum tahu siapa namanya. Anaknya lumayan baik dan ramah meskipun dia seorang atasan. Ibu suka. Siapa namanya?”

KRIK!

Otak Darren seketika berputar cepat. Setelah mengingat-ingat memorinya semalam, Darren memang belum sempat mencari tahu identitas gadis tersebut. Baik nama maupun alamat rumahnya.

‘Aish benar juga! aku bahkan belum bertanya siapa nama gadis itu?’

“Darren? Siapa namanya?” timpal ibunya lagi.

Karena Darren tak bisa memberikan jawaban, ia memilih untuk mencari alasan dan menghindari pertanyaan semacam itu dari mamanya. Ia lantas berpikir kalau saja seandainya ia bisa bertanya banyak tentang gadis tersebut, mungkin Darren juga akan lebih menyukainya.

“Aku berangkat lebih awal hari ini, jadi aku ... um, aku mandi dulu, Bu!”

Darren lantas berlalu pergi tanpa memberi jawaban apapun pada ibunya.

***

Begitu pulang ke rumah, Renata masih terlihat seperti biasa seolah ia hanya terbebani dengan pekerjaan kantornya.

Sehingga ia masih bisa beralasan dengan mudah bahwa semalam Renata harus lembur dan terpaksa pulang pagi. Orang tua Renata mungkin tak curiga dengan prilaku Renata sebab Renata mampu menyembunyikan dengan baik rasa takutnya.

Setelah berada di rumah, Renata sama sekali tak pernah keluar dari rumahnya. Ia menolak untuk bertemu orang banyak, terlebih jika orang itu masih asing bagi Renata.

Ponselnya juga sengaja ia matikan, termasuk semua jejaring sosial media atau emailnya. Renata tak ingin ada yang menghubunginya, sekalipun itu pekerjaan kantor atau apapun itu. Terlebih jika itu panggilan dari Riri.

Sungguh, Renata masih sangat kecewa dengan sahabatnya itu. Meskipun Renata mungkin mengira bahwa Riri juga tertipu dengan lelaki tua tersebut, namun rasanya Renata masih belum bisa membuka diri setelah mengalami kejadian yang membuatnya trauma seperti itu.

Hingga berhari-hari, Renata tak lagi masuk kantor. Ia menutup diri dan enggan menemui siapapun. Keadaannya terlihat normal meskipun sebenarnya mental Renata masih begitu sakit dengan kejadian tempo lalu.

“Hiss … lihat, Pah. Kenapa ada lelaki bejat seperti itu? Memang layak untuk di hukum seberat-beratnya untuk pelakunya!! Mama sampai merinding membayangkan menjadi korbannya,” hardik mama Erna penuh emosi kala melihat siaran berita pagi ini.

Jantung Renata lantas kembali berdegup dengan cepat usai melirik sekilas tentang kehebohan mamanya itu. Setiap kali melihat siaran berita atau hal-hal terkait pelecehan seksual, tubuh Renata seolah memberikan reaksi lebih.

Ia masih sangat takut. Tubuhnya seketika berkeringat meskipun ia merasakan tulang-tulangnya terasa menggigil. Belum lagi wajahnya pasti akan terlihat pucat.

“Oh ya, kamu kenapa jarang masuk kantor, Rena? Apa ada agenda khusus atau memang sedang cuti?” tiba-tiba mama Rose melemparkan sebuah pertanyaan untuk Renata sembari melahap sebuah biskuit.

Meski gugup, Renata berusaha untuk menjawabnya, “Ah itu aku merasa tidak enak badan belakangan ini, Ma. Mungkin esok atau lusa juga akan sembuh. Lagipula project yang aku lakukan bisa dikerjakan dari rumah tanpa harus ke kantor…”

“Kalau begitu biar mama periksa kesehatanmu, mama juga tahu kalau soal kesehatan meski mama hanya bukan seorang dokter sungguhan. Kemarilah!!”

Khawatir bahwa sang mama mungkin curiga atau semakin cemas, Renata harus berusaha semaksimal mungkin untuk beralasan. “Tak usah, Ma. Aku sudah minum obat dari apotek. Sepertinya memang kelelahan, hanya butuh rehat sejenak bisa kembali pulih.”

“Kamu yakin? Apa nggak sebaiknya ke rumah sakit kalau belum merasa sehat?”

“Ya. aku baik-baik aja, Ma. Ini juga sudah mulai ringan kok,” senyum Renata mulai mengembang. Sayangnya tak berlangsung lama, ia segera kembali masuk ke dalam kamarnya.

“Ya sudah kalau begitu. Mama juga masih ada banyak pekerjaan dan pasien. Jaga kesehatanmu sendiri ya?”

CUP!

Suara mama Erna begitu lembut dan menenangkan. Berbeda ketika mama Erna sedang dalam mode sensitif dan berisik. Setelah mengecup kening putrinya, mama Erna lantas pergi bersama supir pribadinya.

‘Mama bilang aku sudah berusia kepala tiga, tapi sampai sekarang aku masih diperlakukan seperti putrinya yang berumur sepuluh tahun? Hmmmhh!!’

Tepat pada hari ini, sudah satu minggu lamanya Renata benar-benar tidak keluar rumah. Ia membatasi dirinya sendiri untuk berjumpa dengan orang banyak.

Mungkin, kalau hanya pelecehan seksual ringan tanpa kekerasan dan keanehan lain Renata tidak akan setakut ini mengingat usianya bukan lagi seorang remaja. Namun kondisi Renata berbeda. Ia yakin bahwa pria itu memiliki kelainan seks yang aneh dan mengerikan.

Yang membuatnya sampai sangat takut adalah pria itu sudah hampir menelanjangi dirinya dengan kasar, belum lagi lelaki tua itu melakukan adegan dimana ia menunjukkan kemaluannya dan memainkannya di hadapan Renata.

Entah berapa kali, Renata selalu menangis di dalam kamarnya. Hal itu selalu ia lakukan secara berulang-ulang tanpa sepengetahuan papa dan mamanya. Tak jarang, Renata juga sampai menyakiti dirinya sendiri hanya untuk melepaskan rasa takutnya.

Seperti yang ia lakukan kali ini. Setelah berusaha menahan dirinya di depan orang tuanya, Renata kembali masuk dan mengunci kamarnya. Ia lantas pergi ke kamar mandi lalu menatap tragis refleksi dirinya di dalam cermin besar.

“Kenapaaa!!??? Kenapa aku harus mengalami ini!! dasar laki-laki sialan!! Argh!!! Tidaak!!!”

Renata menjerit-jerit di dalam kamar mandinya. Menggaruk tubuhnya hingga berdarah, menarik rambutnya sampai rontok, dan tak jarang menceburkan dirinya ke dalam bath up dengan volume debit air yang full.

Begitu seterusnya hal-hal yang Renata lakukan berhari-hari untuk mengurangi rasa traumanya.

Sore harinya, bel rumah Renata berbunyi. Renata tahu ada seorang tamu yang datang, namun yang Renata pikir itu mungkin rekan kerja mama atau papanya. Sama sekali tak ada hubungannya dengan Renata.

TOK!

TOK!

“Rena, ada rekan kerjamu. Keluarlah!” teriak mama dari depan pintu kamar Renata.

‘Alaah, pasti Riri. Aku takut bahwa aku menjadi emosional ketika melihatnya nanti. Lebih baik aku tak usah menemuinya!’

Renata memilih untuk tetap berada di dalam kamarnya. Ia tak akan keluar untuk menemui Riri meski hanya sejenak.

“Kalau itu Riri, katakan bahwa aku sedang tidur, Ma!”

“Bukan, Riri! Mama juga tidak tahu. Temui segera, Nak. Jangan membuat tamu menunggu terlalu lama!”

Bola mata Renata terpaku barang sejenak. Kalau bukan Riri siapa lagi kira-kira yang mungkin datang ke rumahnya?

“Siapa namanya, Ma?”

“Ma? Mama??”

Rupanya mama Rose sudah beranjak pergi dari tempatnya berdiri tadi. Sempat berpikir keras menebak-nebak siapa gerangan yang datang, Renata tetap saja tak menemukan jawabannya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk turun ke bawah.

Awalnya Renata mungkin tak akan menebak siapa yang akan datang. Namun ketika Renata mulai berjalan mendekat ia tak menyangka bahwa tamunya adalah seorang lelaki. Punggungnya masih terlihat asing bagi Renata, dan ia yakin tak memiliki teman seperti ini di kantornya.

“Maaf? .... Loh, Darren? Darimana kamu tahu alamat rumahku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status