"Baik, Bu. Akan Nova laksanakan, oh ya Bu. Entah ibu mau dengar ini atau nggak," kata Nova gugup. "Katakan aja, Nov," kilahku. "Itu, Bu. Anu ...," Nova tergagap. "Anu apa Nov? Bilang aja, saya nggak marah," kataku tegas. "Itu, Bu. Selama ibu di kampung, bapak beberapa kali ke restoran makan," ucap Nova perlahan menanti reaksiku. "Trus? Apa bapak tau kalo itu restoran saya?" tanyaku cemas. Jangan-jangan Mas Andre sudah mengetahui bahwa aku yang memiliki restoran itu. Gawat, bisa habis diporoti mereka nanti. "Bu, kok diam? Ibu nggak senang bapak makan di restoran?" tanya Nova bingung. "Nggak, saya nggak masalah. Lalu apa yang salah?" tanyaku masih tak mengerti. "Bapak ke restoran dengan wanita, Bu." Deg! Benarkah? Berarti pesan dan panggilan di ponsel Mas Andre benar. Kalo Mas Andre telah selingkuh dan sudah berani jalan ke restoranku. Dengan wanita? "Nov, apakah CCTV restoran aktif saat itu?" tanyaku penasaran ingin tau seperti apa wanita itu. "Aktif, Bu. Setiap buka sampa
Wanita itu mengirimkan fotonya yang tanpa sehelai benangpun. Aku jijik melihatnya, begitu murahnya memperlihatkan auratnya di depan suami orang. Tunggu, aku masih ingat pesan yang wanita itu bilang kalo Mas Andre lihai. Jadi mereka sudah saling menikmati tubuh satu sama lain. Di mana mereka melakukannya, aku harus cari tau. Tak ingin ketahuan segera kumasukkan ponsel ke saku dan membuka dompet Mas Andre. Ada foto yang menyelip di dalamnya tapi masih setengah wajah. "Ada? Kok lama banget ngambil uang segitu aja, hah! Dasar lelet," ejeknya sambil merampas dompet dari tanganku. Aku cuma terdiam dan sedikit kaget tadi. Mas Andre suka tiba-tiba datang. Untunglah aku tidak ketahuan, mengatur debaran jantung agar aku tak pingsan. Lama-lama aku bisa kena serangan jantung. "Ini," kata Mas Andre menyerahkan lima puluh ribu. "Mana cukup, Mas! Kan Mas bilang juga untuk Mama dan mbak Rina," protesku. Mas Andre mendelik. "Sudah biar aku yang bayar, ntar kamu bohong dan menyimpan kembaliannya,
"Siapa yang datang, Ratih?" tanya Mas Andre begitu aku masuk ke rumah. "Awalnya aku nggak tau, ditanya baik-baik jawabnya malah ketus," kataku sebal. "Iya, tapi siapa sampai muka kamu manyun gitu?" Mas Andre menaikkan alisnya. "Lihat sendiri sana di rumah Mama, aku nggak kenal. Tadi Mama cuma manggil Mbakyu," jawabku acuh. Seketika raut wajah Mas Andre berubah pias. Aku yang melihat heran, kenapa Mas Andre begitu shock mendengarnya. Begitu menakutkan kah bagi suamiku wanita tua itu? Entahlah, aku tak peduli. Asal dia tidak ikut campur urusan kami saja sudah cukup. Mas Andre berjingkat pelan menuju jendela, mengamati rumah Mama. Aku yang penasaran ikut mengintip di belakangnya. Terdengar deru nafas yang berulang dari Mas Andre, entah apa yang dipikirkannya. Setelah dirasa aman, Mas Andre berbalik badan. Namun, dia terkejut saat membalik aku sudah berdiri tepat di depan. "Aaaaarrgh," teriaknya kaget. "Apa sih, Mas. Kok teriak-teriak?" tanyaku kesal, aku juga kaget mendengar teri
"Mana Andre?" tanyanya. "Ada dikamar, Tan. Lagi tidur," jawabku. "Bangunkan, Tante mau bicara!" pintanya. Aku mengangguk kemudian masuk kamar, Mas Andre masih juga mendengkur. Apa dia tak mendengar hempasan pintu dan suara teriakan Tante tadi. Huh, entah hewan apa yang bersarang di telinganya. "Mas, bangun! Ada Tante itu, dia mau ngomong sama Mas," kataku mengguncang tubuhnya. "Hum, apa sih! Ganggu orang tidur aja," bentaknya kesal. Bibirku dekatkan di telinga Mas Andre. "Mas, Tantemu itu mau bicara. Dia udah nunggu di ruang tamu," ucapku sedikit keras. "Apa?" sontaknya kaget lalu terbangun. "Ngapain?" Masih mulu tanya tanpa beranjak. Aku mengedikan bahu tanda tak tau, lalu berjalan keluar di ikuti Mas Andre yang sedikit salah tingkah. Tante mendelik melihat kami, lalu memberi isyarat duduk. "Sini, duduk! Tante mau bicara," ujarnya pada suamiku. "Ada apa, Tan?" "Besok, antar Tante menemui kenalan Tante. Dia punya anak gadis cantik, kerja di kantor juga seperti kamu," kata
Selesai sholat, aku tidak melihat kemana Mas Andre. Mencari seluruh sudut rumah tapi tak menemukannya. Saat keluar teras, mataku terarah ke rumah Mama. Ada sosok pria yang berdiri di balik jendela samping rumah mertua. Bukankah itu Mas Andre? Ngapain dia berdiri di gelap-gelapan? Penasaran aku pun mendekatinya, dengan berjinjit menuju Mas Andre. Terlihat dia sedang menempelkan telinganya ke jendela. Ya dari sana terdengar jelas, karena jendela itu tidak pernah di tutup Mama sebelum tidur. Suara Tante dan Mama yang berbincang menggelitik untuk didengar. Aku berdiri di belakang Mas Andre tanpa sepengetahuannya. "Mbak, aku nggak yakin Andre mau datang ke perjodohan itu," ucap Mama resah. "Kamu tenang aja, Yan! Mbak yakin Andre nggak bakal nolak, apalagi istri kampungannya itu udah dukung kita," jawab Tante percaya diri. "Tapi, bisa aja kan istri Andre berubah. Sapa tau tadi dia hanya berpura-pura. Selama ini dia nggak pernah manja seperti itu!" sahut Mama putus asa. "Sudahlah, ng
Terpaksa aku duduk dibelakang, berhimpitan dengan Mama dan mbak Rina. Apalagi mbak Rina membawa serta anaknya. Jadilah mobil itu penuh sesak. Mama dan mbak Rina mendelik melihatku dan mereka terus mendorongku hingga aku terjepit di sisi jendela mobil. Sebal, namun aku harus bisa bersabar. Lagipula ini ide ku sendiri jadi aku harus merasakan susah payah. Setengah jam di jalan, akhirnya sampai juga disebuah restoran mewah. Lagi-lagi di restoran milikku pertemuannya. Aku menggeleng, dunia ini begitu sempit. Hanya berputar-putar ke arah situ aja, kenapa semua selalu berhubung ke restoran ku. Namun, aku cemas jika para karyawan mengenaliku, bagaimana ini. Aku harus menghubungi Nova. Begitu mereka sudah keluar dari mobil dan masuk, aku memutuskan jalan paling belakang pura-pura lagi sakit perut. "Tuh kan, tadi Mama bilang apa. Suruh dirumah tapi nekat ikut, rasain sekarang kamu!" ejek Mama. "Sudah, biar aja dia. Lebih bagus dia nggak menampakkan wajahnya, dasar udik!" Tante melengos m
"Ada apa ini? Apa benar dia istri Andre?" tanya calon besan keheranan. "Nggak, dia bohong. Hanya mengaku-ngaku aja, nggak usah dipercaya," jawab Mama yang sedari tadi diam kini ikut bicara. "Andre, segera kamu usir dan pecat pembantu kamu itu. Jangan buat malu kita di sini!" hardik Tante sambil mencekal tanganku dan membuatku berdiri lalu didorong. Mas Andre yang lagi kebingungan juga bimbang. Namun, karena desakan Tante akhirnya Mas Andre bangkit dan meminta aku mengikutinya. "Ratih, ikut saya keluar!" kata Mas Andre terpaksa. Sampai di luar, Mas Andre memarahiku. "Kenapa kamu bocorkan status kita? Bukankah Mas minta izin kamu apakah Mas boleh jawab iya tadi." "Loh, bukankah Mas yang bilang nggak mau dengan perjodohan itu. Apa Mas berubah pikiran?" protesku sengaja aku pancing agar Mas Andre naik pitam. "Awalnya iya, tapi karena Tante terus mendesak dan Mas nggak ingin keluarga Mas jadi malu," alibinya. "Kenapa, Mas? Jangan bohong kamu, apa Mas suka gadis itu? Apa kalian suda
Aku terkejut mendengar alarm berbunyi dari ponselku. Memang sudah biasa tiap tidur kuaktifkan alarm, agar tidak terlambat bangun. Kulirik jam dinding sudah pukul lima pagi, sayup-sayup suara adzan mengalun merdu. Gegas aku bangkit dan menuju kamar mandi. Ruang pribadi dilengkapi kamar mandi dan toilet agar tidak bercampur dengan yang lain. Selesai mandi dan berwudhu, aku menjalankan sholat Subuh. Pagi ini suasana hatiku terasa segar, lagipula aku sudah bebas tak ada beban lagi menggelayut. Membuka pintu lalu menuju balkon, mencoba menghirup udara segar. Ah, leganya tidak pernah lagi kurasakan setenang ini. Walaupun ada sedikit sedih namun sudah jalanku harus berpisah dengan Andre. Ngomong-ngomong apa yang terjadi tadi malam ya? Gimana perjodohan itu, sukseskah? Bagaimana respon calon madu setelah aku didamprat keluar. Ah, lebih baik kutanya Nova saja, dia pasti tau semuanya. Terdengar pintu diketuk, gegas aku membuka. Ternyata Nova yang berdiri, ingin memberi laporan seperti biasa