Pagi itu, Sukma duduk di ruang rapat utama kantornya. Dinding kaca tinggi memantulkan cahaya matahari yang masuk dari luar, membuat ruangan tampak terang, tapi hatinya justru terasa berat. Di hadapannya ada berkas yang sudah ia tandatangani—surat pengangkatan Farel sebagai Direktur Utama. Ia menatap nama Farel yang tercetak tegas di lembar itu. *Dia pantas. Aku tahu dia bisa.* Meski perdebatan terakhir mereka masih terasa membekas, Sukma yakin memberi Farel posisi ini akan membuatnya merasa dihargai, setara. Suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Seorang asisten masuk, memberi tahu bahwa Carlos sudah menunggunya di ruang rapat. Sukma menghela napas, merapikan map di tangannya, lalu berjalan menuju ruangan yang ada di lantai paling atas. Carlos berdiri di dekat jendela besar, jas hitamnya terpotong rapi mengikuti garis bahu lebar. Saat pintu terbuka, ia menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya—senyum yang selalu membuat Sukma merasa sedikit terancam sekaligus… diingatkan
Sukma berdiri di dapur, mengenakan apron sutra berwarna krem. Tangannya dengan lincah mengaduk saus karbonara yang kental, mencium aroma keju parmesan yang mulai meleleh sempurna. Di meja, Farel duduk dengan lengan terlipat di depan dadanya, mengamatinya dengan mata berbinar. Dulu, dia selalu menikmati momen seperti ini—melihat Sukma memasak dengan penuh cinta. Sukma mengambil sepiring spageti yang sudah tertata rapi di atas piring porselen. Dia mencicipi sedikit sausnya, memastikan rasanya sempurna, lalu tanpa sadar bergumam, “Dimitri juga suka yang seperti ini.” Hening. Sukma langsung membeku. Mata Farel yang tadinya hangat berubah dingin dalam sekejap. “Apa?” suaranya rendah, tapi tajam seperti pisau. Sukma menelan ludah. Sial. Kenapa dia harus keceplosan menyebut nama Dimitri di depan Farel? Farel menyandarkan tubuhnya ke kursi, rahangnya mengeras. "Jadi, selama ini aku hanya makan makanan favorit mantan suamimu?" Sukma buru-buru menggeleng. "Bukan begitu—aku han
Farel duduk di tepi sofa, matanya menatap Sukma yang sedang sibuk mengaduk teh di dapur kecil mereka. Setelah beberapa detik hening, ia menghela napas dan memutuskan membuka pembicaraan. “Sayang, aku pengen ngobrol, tapi tenang, ini bukan soal alien menyerang bumi atau dinosaurus yang bangkit dari kubur,” kata Farel dengan nada setengah bercanda. Sukma menoleh, tersenyum kecil. “Serius? Kalau serius biasanya kamu langsung ngelantur ke mana-mana.” Farel bangkit, berjalan mendekat, dan mengambil tangan Sukma dengan lembut. “Aku cuma pengen tahu, kamu nyaman gak sama aku? Aku nggak mau jadi kayak charger HP yang cuma nyolok doang tapi nggak ngecas.” Sukma tertawa pelan, “Kamu ini pinter banget bikin analogi, ya? Charger yang nggak ngecas? Itu artinya apa, sih?” “Ya, aku nggak mau hubungan kita cuma formalitas doang, tapi gak bikin kamu merasa puas dan bahagia,” jawab Farel serius tapi tetap dengan senyum mengembang. Sukma duduk di hadapannya, menatap mata Farel. “Aku nyaman
--- Sukma lagi santai, sambil ngecek ponsel. Pesan masuk dari Carlos bikin dia senyum-senyum. “Kamu masih aja sibuk ngurusin aku, ya?” ketik Sukma. Balasan Carlos langsung masuk, “Iya dong. Aku penasaran, pria lokal kamu itu sanggup nggak sih terusin ‘jalan’ yang udah aku buka? Atau cuma bisa jalan kaki doang?” Sukma ketawa kecil, “Haha, kamu nih, sok jagoan. Kalau aku puas? Ya jelas dong. Pria lokal aku itu gak cuma jago jalan, tapi juga jago bikin aku lupa sama masa lalu.” Carlos bales, “Lupa masa lalu? Itu sih gampang, yang susah itu bikin kamu lupa kamu pernah ‘mainan’ Black Mamba.” Sukma lempar emoji senyum nakal, “Mainan? iya itu black mamba beracun." Carlos tertawa, “Racun itu buat bikin ketagihan, Sukma. Tapi aku gak bakal bohong, aku masih penasaran farel itu bisa kasih apa yang aku kasih.” Sukma santai, “Dia kasih apa? Kasih hati, kasih waktu, kasih perhatian. Itu yang gak bisa kamu beli pakai duit.” Carlos nge-typing lagi, “Bisa iya, bisa nggak. Tapi a
Keesok harinya Hujan di luar mulai berkurang, tapi suasana di ruang makan itu masih terasa berat. Farel duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua tangan melingkari cangkir teh yang mulai dingin. Sukma di seberangnya malah terlihat santai—satu kaki terlipat di kursi, satu tangan menopang pipi sambil menatapnya. “Bukannya…” Farel membuka suara dengan nada hati-hati, “…dulu kau selingkuh sama Gerald?” Sukma tersenyum tipis, lalu pura-pura menatap ke atas seolah sedang mengingat. “Gerald yang mana?… ya Tuhan, itu nama udah lama nggak mampir di kupingku.” Farel tetap menatapnya, matanya tajam. “Terus, kenapa malah nikah sama Dimitri? Kalau memang waktu itu ada Gerald, kenapa nggak sama dia?” Sukma langsung terkekeh. “Karena Dimitri lebih kaya… dan *performanya* jauh lebih bagus.” Farel menghela napas berat. “Aku serius nanya, Sukma.” “Aku juga serius jawab,” balasnya sambil menaikkan bahu, lalu meneguk sisa tehnya. Farel mencondongkan tubuh, nadanya mulai meninggi
Malam itu hujan deras. Rintiknya memantul di kaca ruang makan, membentuk alur yang tak beraturan, seperti lukisan abstrak yang tak pernah selesai. Farel dan Sukma duduk berhadapan di meja makan; piring mereka sudah kosong, hanya tersisa teh hangat di cangkir masing-masing. Aroma jahe dan kayu manis bercampur dengan suara hujan, menciptakan suasana yang… nyaris damai. Percakapan awalnya ringan—tentang makanan favorit masa kecil, tentang liburan yang belum jadi. Sukma bercerita soal masa kecilnya di Brighton, soal roti lapis yang terlalu banyak selai, sementara Farel membalas dengan kisah sekolahnya di kota kecil. Semuanya mengalir santai, sampai di kepala Farel muncul satu pertanyaan yang sudah lama ia simpan. Dia menatap Sukma, memerhatikan gerakan tangannya saat memegang cangkir. Akhirnya ia bertanya pelan, “Boleh aku tanya sesuatu… tentang masa lalumu?” Sukma mengangkat alis. “Tentang apa?” “Carlos,” jawab Farel singkat. Tatapan Sukma berubah, bukan menjadi dingin, tapi