Carlos melangkah masuk ke apartemen Sukma dengan langkah berat, napasnya masih panas karena amarah dan obsesi yang membara. Matanya menyala penuh dendam, tubuhnya tegang seperti singa yang terpojok. Ponsel sudah ia lempar ke sofa, pesan terakhir dari Sukma dan kabar Keira serta Desmond di luar negeri berputar di kepalanya. “Kau tahu apa yang terjadi, Sukma? Aku baru saja pulang… dan aku dengar kabar dari salah satu pegawaimu,” Carlos mulai dengan suara gemetar tapi penuh amarah. “Keira… dan Desmond… sudah pergi ke luar negeri?! Apa maksudmu ini?!” Sukma tertawa pelan, nada suaranya masih tenang, bahkan dingin. “ Aku tahu kau kesal, tapi dengar dulu penjelasanku.” Carlos hampir meledak. “Penjelasan? Kau pura-pura mau menikahiku, pura-pura bantu aku ambil Desmond dari Keira… tapi ternyata semuanya bohong?! Kau kerja sama Keira? Kau… kau menipuku?” Suaranya naik, hampir berteriak. Sukma menarik napas panjang, nada suaranya tetap lembut tapi menampar. “Ya, Carlos. Aku memang men
--- Farel memasuki ruang tamu apartemen Sukma, tapi begitu pintu terbuka, pemandangan yang ia lihat membuat jantungnya berhenti. Carlos duduk santai di sofa, napas masih berat, tubuh lengket dengan Sukma yang baru saja selesai berhubungan intim. Tubuh Sukma separuh tertutup selimut tipis, rambut acak-acakan, wajahnya tetap tenang, bahkan sedikit tersenyum. Farel menelan ludah, napasnya tercekat. “Apa… apa yang kalian lakukan…?” suaranya nyaris pecah. Carlos menoleh dengan santai, menatap Farel seolah ia hanyalah pengganggu yang konyol. “Farel… kau datang lebih awal. Sepertinya kau kaget melihat kami? Santai saja, aku dan Sukma baru saja bersenang-senang,” katanya dengan nada datar, santai, tapi mata yang berkilat penuh dominasi. Sukma duduk di samping Carlos, menatap Farel tanpa rasa bersalah. “Farel… tenang saja. Tidak ada yang perlu kau marahi. Aku di sini, bernostalgia dengan Carlos, dan kau… kau harus belajar santai juga,” ujarnya, nada lembut tapi menantang. Farel men
--- Hujan telah reda, dan apartemen Sukma masih hangat karena sisa udara lembap malam itu. Carlos masuk, jasnya masih sedikit basah, rambutnya menempel di dahi. Tatapannya langsung mencari Sukma. Mata mereka bertemu, dan detik itu Carlos merasa dunia berhenti. Sukma berdiri di hadapannya, tubuh rampingnya setengah basah karena hujan yang sempat membasahi rambutnya. “Kau datang lebih cepat,” ujar Sukma, suaranya lembut tapi penuh pengaruh. Carlos melangkah maju, menutup pintu dengan mantap, dan meraih Sukma. Tangannya menempel di pinggangnya, tubuh mereka hampir menyatu. “Aku tidak bisa menunggu. Aku ingin kau di sisiku sekarang,” bisiknya, suaranya serak dan hangat. Sukma menatapnya sejenak, lalu membiarkan dirinya tergoda. Ia tahu Carlos percaya kepadanya, dan saat ini ia harus memanfaatkan kesempatan itu untuk menjaga rencana mereka: memastikan Keira dan Desmond bisa kabur. Tapi malam ini, fokus Carlos hanya padanya, dan ia tahu cara memainkan peran dengan sempurna. Carl
--- Hujan rintik-rintik membasahi jalan-jalan kota saat Carlos menyalakan mobilnya. Mata hitamnya menyala tajam, menatap kaca depan yang dipenuhi air hujan. Setiap tetes yang menghantam kaca seolah menandai detik-detik kegelisahan dan tekadnya yang tak tergoyahkan. Ia tahu satu hal: hari ini, ia harus menemukan Keira. Carlos melintasi jalan-jalan basah dengan kecepatan stabil, tapi pikirannya bergerak lebih cepat daripada mobilnya. Ia menelusuri alamat lama Keira, sudah mengerahkan anak buahnya,bahkan melihat setiap sudut kota yang mungkin menjadi tempat persembunyian wanita itu. Semua orang tahu Carlos—namanya membawa aura takut dan kekuatan. Tapi ia tidak peduli pada ketakutan orang lain. Yang ia pedulikan hanyalah menemukan Keira, dan membuatnya tunduk. Hujan mulai menjadi deras saat mobilnya menepi di sebuah kompleks apartemen mewah di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan berkelap-kelip, memantul di aspal basah seperti api kecil yang menunggu untuk dibakar. Carlos menurunkan
Carlos berdiri di depan jendela kantornya, menatap kota yang basah diguyur hujan ringan. Hujan itu seolah mencerminkan kekacauan di kepalanya—hati yang masih berpacu, pikiran yang tidak bisa berhenti. Ia merogoh saku jasnya, mengambil ponsel, dan menatap layar yang masih menyala. Nama Sukma terpampang, seolah menantang. > “Sukma… aku butuh bicara. Penting,” ketiknya, lalu menekan kirim tanpa ragu. Balasannya datang cepat, dingin, tapi tetap memunculkan getaran di dadanya. > “Kalau ini soal bisnis, kita atur jadwal. Kalau bukan… jangan hubungi aku.” Carlos menepuk meja dengan frustrasi. *Kau dingin, tapi aku tahu kau membaca pesanku lebih dari sekali.* Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi setiap helaan napas terasa sia-sia. Ia tahu satu hal: ia tidak bisa hidup tanpa mengendalikan segalanya—dan sekarang yang paling berharga baginya hilang. --- Di kantor Sukma, suasana berubah saat Carlos masuk. Percakapan pegawai yang biasanya ramai mendadak berhenti.
Keira duduk di kursi goyang di sudut kamar, mengayun pelan Desmond yang tertidur di pelukannya. anak itu, pipinya montok, napasnya tenang. Tapi hati Keira jauh dari tenang. Di meja kecil di sebelahnya, ponsel bergetar. Ia tak perlu menebak siapa yang mengirim pesan—nama itu muncul jelas di layar. Sukma. Pesan dari Carlos: > “Kita perlu bicara. Aku belum selesai denganmu.” Keira menutup mata, berusaha menahan perih yang sudah lama ia simpan. Entah sudah berapa kali ia menangkap Carlos menghubungi Sukma. Bahkan di depan Keira, Carlos kadang tak sadar menyebut nama itu—terlalu melekat di pikirannya. *Dia bukan cuma mantanmu, Carlos… dia adalah candu yang kau pilih daripada aku dan anak kita,* gumam Keira dalam hati. --- Ia sudah muak. Bukan sekadar cemburu—ini adalah rasa lelah yang menumpuk bertahun-tahun. Dan ia sudah menyiapkan jalan keluarnya. Sebulan terakhir, diam-diam ia menemui pengacara. Surat cerai disiapkan, lengkap dengan tanda tangan notaris. Ia hanya perlu