Share

04

Jam telah menunjukkan pukul dua dini hari, namun sampai detik ini Nesa masih enggan keluar dari kamarnya, niatnya ingin hidup mandiri semakin lama semakin luntur, hal itu membuat gadis itu ingin kembali menarik kata katanya.

Namun membayangkan ia akan menikah dengan pria asing membuat kepala gadis itu menggeleng cepat. "Ngga, ngga boleh, kamu tuh engga tinggal di jaman situ nur baya!"

Segera gadis itu mengeluarkan ponselnya dari tas kecil miliknya, dengan cepat gadis itu mencari kontak Misel, ia harus segera menghubungi temannya.

Setelah dering ketiga panggilan itu kini telah di angkat, suara kesal dari Misel jelas terdengar di telinga Nesa, namun gadis itu tetap mengabaikan, ia tahu jika Misel saat ini berada di Club.

"Apaan sih anjir! Udah kabur lu?" Suara dentuman musik amat sangat jelas hal itu membuat gadis di sebrang sana harus sedikit berteriak.

"Belom njir, ini gimana cara gua mau kabur, kalo gua aja tadi ijin sama nyokap bokap."

Suara gelak tawa menyapa telinga Nesa, ia sudah menebak jika Misel akan tertawa mendengar ceritanya.

"Terus di ijinin?"

"Iya anjir, namanya bukan kabur kan!"

Suara dentuman musik dari tempat Misel perlahan mengecil, Nesa bisa menebak jika temannya itu kini tengah berjalan keluar Club.

"Lu mau di jodohin?"

"Kagak!" Dengan segera Nesa menjawab pertanyaan konyol dari Misel, jika ia di jodohkan dengan Justin Bieber, Harry styles, bukan masalah, namun kini ia akan di jodohkan dengan pria yang sama sekali ia tak kenal.

"Yaudah kabur."

Nesa menghembuskan nafas kesal, niatnya Ia menelpon Misel untuk mendapatkan jawaban, nyatanya yang ia dapatkan hanya zonk, gadis itu mendecih kesal, lalu memutuskan panggilan tersebut secara sepihak.

Gadis itu lalu mengambil koper miliknya, dengan berat hati ia meninggal kamar yang telah ia tempati selama dua puluh tahun ini.

Saat kakinya tiba di pertengahan tangga, ruang keluarga telah gelap, menandakan jika semua orang di sini telah terlelap.

Dengan sedikit lambat Nesa keluar dari rumahnya, gadis itu memasukan koper miliknya di mobil Brio miliknya, satu satunya barang yang akan menemani dirinya.

Nesa telah tahu kemana ia akan pergi, jadi gadis itu sedikit santai, walaupun sejujurnya meninggalkan rumah di hadapannya membuat hatinya sedih. Karena pria sialan, kini ia harus bertaruh dengan masa depannya.

Mobil Brio itu pun melaju dengan kecepatan tinggi, memecah kesunyian malam kota, Nesa tak ingin segera sampai ke tempat tujuan, ia akan memutari kota ini selama beberapa saat.

Suara radio mobil menemani hening kehidupan malam Nesa, walaupun ingin rasanya gadis itu pergi ke Club dan menenggak beberapa tetes alkohol dan menari semalaman, namun ia rasa ini bukan waktu yang tepat, jika biasanya ia mabuk akan di jemput oleh supir keluarganya kini ia tak bisa lagi, dan mana mungkin ia bisa menyetir dengan keadaan mabuk.

Setalah puas memutari kota tanpa tujuan, kini Nesa telah tiba di apartemen miliknya, gadis itu segera memasuki bangunan itu dengan langkah sedikit kesal. Setelah meletakan koper, melempar tas kecilnya di lantai, lalu gadis itu membanting tubuhnya di atas kasur dan mencoba memasuki alam mimpi.

Keesokan harinya gadis itu terbangun sedikit kesiangan, namun siapa perduli, ia hanya tinggal sendirian sekarang, tak akan ada yang merecoki setiap pagi untuk bangun lalu memasak. Nesa bukan tipe gadis yang pandai memasak, hanya saja mamanya itu selalu menyuruhnya memasak.

Nesa berjalan dengan lesu ke arah dapur, lalu gadis itu membuka kulkas miliknya. Kosong, tak ada makanan apapun, gadis itu lalu tertawa sumbang, untung saja ia ingat jika membawa beberapa stok mie instan di kopernya.

Setelah mengambil satu cup mie instan, nesa kini duduk di depan televisi, berharap ada sesuatu yang bisa menghiburnya.

"Selamat pagi mie instan, semoga aja gua ngga usus buntu." Ucap Nesa seraya memasukan beberapa helai mie instan kedalam mulutnya.

Tangannya terus memencet tombol remote dengan kesal, semua acara yang di tayangkan pagi ini sangat membosankan.

Ting! Ting!

Suara bel apartemen membuat gadis itu menghentikan kegiatannya, ia berdiri lalu berjalan menghampiri pintu, saat pintu telah terbuka mata terbelalak sedikit terkejut.

"Gofood."

Nesa menjatuhkan dagunya, ia tak memesan makanan dari aplikasi, mengapa kini ada seorang kurir yang mengantarkan makanan.

"Ini kurir gofood?"

Kurir itu menatap nesa aneh, selain pertanyaan yang nesa, kurir itu juga merasa heran dengan penampilan nesa.

Bagaimana tidak, gadis itu hanya menggunakan kaos oblong yang terlihat kebesaran berwarna merah dengan celana pendek hitam, sebuah cup mie instan di tangannya dan juga garpu plastik yang berada di mulutnya, belum lagi, rambut acak acakan gadis itu yang terlihat seperti macan.

"Iya mbak, gofood, ini mbak pesenannya."

Dengan ragu Nesa menerima uluran tersebut, setelah mengucapkan terimakasih nesa segera menutup pintu apartemennya.

Ia kini berjalan menuju dapur, dengan sedikit berteriak nesa merasa kegirangan, siapa yang tak bahagia mendapatkan makanan gratis.

Ting!!

Suara bel berbunyi lagi, dengan cepat ia membukanya, dalam hati ia berharap seseorang mengirimkan makanan lagi untuknya.

Namun nyatanya, saat pintu benar benar terbuka, ia hanya melihat sosok ayahnya dengan tatapan datar.

"Papa?"

Dengan segera nesa membukakan pintunya secara lebar lebar, mempersilahkan sang papa untuk masuk.

Rafli berjalan santai, ia melihat seisi apartemen yang kini di tempati anaknya sebelum bertanya. "Enak tinggal di sini?"

Nesa mengangguk sebagai jawaban, terdengar aneh, namun Nesa tetap berusaha mengabaikan, ia berfikir mungkin papanya kini sedang mengkhawatirkan anak gadisnya yang tinggal jauh dari rumah.

"Udah makan?"

Untuk pertanyaan ini, Nesa menggeleng. "Belom, tapi tadi ada yang kirim gofood, itu papa?"

"Iya, itu papa."

Mata nesa berbinar, ternyata benar dugaannya, sang papa mengkhawatirkan dirinya.

"Makasih pa!!"

Dengan segera Nesa hendak memeluk sang papa, namun yang ia terima hanyalah penolakan, untuk kedua kalinya Rafli mundur selangkah saat nesa hendak memeluknya.

"Buruan makan, terus mandi."

Mandi, dalam benak Nesa jika ia harus mandi berarti ia akan pergi, dan kini papanya menyuruh dirinya mandi berarti Rafli akan mengajaknya pergi.

Dengan segera nesa bergegas ke kamar mandi, tak perlu banyak waktu, nesa kini telah siap, berbusana rapih dan dengan senyum lebar ia menghampiri sang papa di ruang makan.

Rafli yang tengah menata makanan yang tadi ia pesan pun menoleh saat mencium aroma parfum yang sangat amat menyengat.

"Makan gih."

Dengan senyum lebar nesa duduk di kursi makan, dengan segera ia juga menyantap makanan tersebut, ternyata anak kesayangan masih berlaku di hidupnya.

Setelah makanan yang tersaji habis, dengan segera Rafli berdiri lalu menghampiri sang anak. "Mau hidup mandiri ya?" Ada nada ragu di sana, dan karena nada itu yang membuat nesa mengangguk mantap.

"Kalau gitu, silahkan keluar dari apartemen ini, tinggalin kunci mobil, ATM papa, kan kamu mau mandiri."

Sial, untuk pertama kalinya, nesa terlalu berekspektasi tinggi namun realitanya nol besar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status