Share

07

Senyum Nesa kian melebar, walaupun semalam gadis itu tak bisa tidur akibat rasa senang yang berlebihan, namun gadis itu tetap semangat untuk berangkat kerja. Hari ini adalah hari pertamanya, sudah pasti gadis itu merasa sangat antusias.

Kemarin, setelah Rafli mengatakan bahwa ia akan menjadikan Nesa sebagai pegawai di kantor miliknya, sontak membuat gadis itu semakin kegirangan, ia pikir sang ayah akan benar benar menelantarkan dirinya, setelah Nesa mengatakan jika gadis itu tak mau di jodohkan. Namun, faktanya, sang ayah masih mau perduli kepada dirinya.

Benar benar definisi anak yang di sayang!

Itu adalah kata pertama yang keluar dari mulut Nesa saat ia bercerita kepada Misel.

Memastikan jika riasan di wajahnya tak terlalu cetar, kini gadis itu sudah siap berangkat kerja. Seperti biasa, nesa harus meminjam baju milik Misel, karena gadis itu tak membawa banyak baju, toh untuk kembali ke rumah yang ada hanya akan menjadi bahan ledekan sang papa, dan mungkin ini akan menjadi kebiasaan Nesa sampai gadis itu mempunyai uang sendiri.

Nesa tetap bersyukur mempunyai teman seperti Misel, walaupun gadis itu sedikit menjerumuskan tapi gadis itu masih mau membantu dirinya.

Gadis itu kini berdiri, merapihkan rambut panjangnya, dengan senyum merekah gadis itu kini benar benar siap untuk berangkat kerja.

Mata gadis itu sedikit melebar saat melihat Misel, dan pria bernama David, yang masih menginap di rumah ini. Menyadari jika keduanya berciuman semakin ganas Nesa pun memutuskan untuk memejamkan matanya.

Dengan perlahan gadis itu melangkah menuju luar, berusaha tak menganggu kegiatan temannya yang kini terlihat seperti singa kelaparan.

Cpppp cccpppp

Suara kecupan kian menjadi, gadis itu pun hanya bisa memejamkan matanya, walaupun ingin marah namun Nesa memutuskan untuk diam, ia sadar jika dirinya hanya penumpang di rumah ini.

"Sa!"

Langkah gadis itu terhenti, dengan segera ia memutar badannya, menatap teman perempuannya yang kini berusaha menutupi bercak merah yang ada di bagian lehernya.

"Hmm?"

"Ngga sarapan dulu?"

Mata Nesa menatap pria yang berdiri di belakang Misel, sejujurnya gadis itu merasa lapar, hanya saja ia merasa tak nyaman.

"Kenyang."

Kkrrrkkk

Nesa memejamkan matanya kesal, mengapa perutnya tak bisa di ajak kerja sama. Suara kekehan pria di belakang Misel membuat Nesa semakin salah tingkah.

"Kenapa lu Nes, takut sama gua?"

'iya!'

"Engga."

Nesa berusaha menatap David dengan tatapan datar, walaupun sejujurnya gadis itu benar benar takut, terlebih kejadian tadi malam benar benar membuat nyali Nesa hilang begitu saja.

Semalam, David yang sedang mabuk tiba tiba saja memeluk tubuh mungil Nesa saat gadis itu sedang memasak mie instan, pergerakan David sontak saja mengejutkan gadis tersebut, saat Nesa bertanya kenapa, pria itu hanya bergumam tak jelas, hingga saat Nesa meminta David untuk menjauh tangan pria itu semakin kuat memeluk pinggang Nesa, melihat sikap David yang membuatnya risih, nesa pun memutuskan untuk segera mematikan kompor dan melepaskan pelukan dari pria yang menjadi teman tidur Misel itu, Nesa berusaha menjelaskan dengan perlahan jika ia sangat terganggu dengan pelukan tersebut, namun sepertinya Nesa menjelaskan di waktu yang salah. Namun saat Nesa sudah berhasil keluar dari pelukan David, gadis itu segera berlari menuju kamarnya, mengabaikan perasaan lapar yang sedari tadi memberontak, dan memutuskan untuk mengunci pintu kamarnya.

Setelah berhasil mengunci dirinya, David mengetuk keras pintu kamar Nesa, pria itu terus berkata jika ia ingin menyelami tubuh gadis itu, nesa yang berada di kamar berusaha diam tak menjawab apapun.

Setelah kejadian semalam, kini Nesa benar benar merasa tak nyaman berada di sekitar David.

"Bisa makan nanti kok, lagian masih jam segini, cukup lah buat cari makan sekalian."

Misel melepas rangkulan David, gadis cantik itu sekarang menghampiri temannya, dari tatapan Nesa jelas Misel tahu betul jika temannya ini sedang merasa bimbang, Misel tak akan memaksa Nesa untuk bercerita hanya saja Misel khawatir di mana anak itu makan, karena misel tahu, nesa masih belom memiliki uang cukup.

Misel sedikit menarik tangan Nesa, mata gadis itu menatap Nesa dengan tatapan penuh kekhawatiran, melalui manik matanya, Misel menjelaskan betapa khawatirnya gadis itu akan Nesa.

Sedangkan Nesa, yang melihat tatapan dari manik mata gadis di hadapannya, hanya bisa menghembuskan nafas berat, bagaimana bisa Nesa menolak sedangkan tatapan misel terlihat begitu tulus.

Saat Nesa hendak mau melangkah, lagi lagi matanya tak sengaja bertemu dengan manik coklat milik David, Nesa kembali berfikir. Memang jam masih menunjukkan pukul tujuh, sedangkan dia memiliki banyak waktu untuk sarapan di rumah ini, hanya saja, ia merasa tak nyaman.

Lagi lagi, kejadian tadi malam terputar di otaknya. Kepala nesa menggeleng, dengan perlahan ia kembali menatap mata misel, dengan senyuman tipis gadis itu mulai menolak. "Gua bisa makan di luar Sel, serius, gua ada duit kok buat sarapan di luar, toh gua ngga enak kalo ngerepotin lu terus."

Bagus Nesa, bagus. Dalam hati gadis itu sedikit bersyukur karena alibi yang ia lontarkan terdengar sangat masuk akal.

"Makan di sini aja Nes, lagian kasian Misel udah masak pagi pagi."

Bukan Misel, melainkan suara pria yang sedari tadi memperhatikan dirinya.

Misel menoleh kearah David, sebuah senyum lebar tercetak di bibir gadis itu, David yang melihat senyuman itu hanya mengangguk.

Kepala misel menoleh ke arah Nesa. "Tuh denger, hargai gua dodol, lu mah ngga bersyukur banget punya temen baik, kek gua."

Kini Nesa hanya menatap David dengan tatapan datar, walaupun sejujurnya Nesa benar benar ingin meledak sekarang, bagaimana pria itu menatapnya dengan tatapan santai seolah tak terjadi apa apa, padahal sudah jelas kejadian tadi malam amat sangat membekas di otak Nesa.

Ah, semalem dia mabok. Tiba tiba Nesa teringat akan hal itu. Nesa diam mencoba berfikir, walaupun sejujurnya kini perutnya sudah terasa perih, ia ingin membutuhkan asupan sekarang.

Mata nesa kembali menatap manik David, dari sorot mata pria itu seperti tak terjadi apa apa, Nesa yakin jika David tak mengingat apapun, jika seperti itu pasti tak akan bermasalah bukan.

Dengan semangat Nesa mengangguk, lumayan juga uangnya bisa di bikin yang lain, terlebih Nesa sangat sangat sadar, jika ia tak bisa boros seperti biasanya, bahkan jika Nesa sudah memiliki pekerjaan, ia harus tetap berhemat karena kini ia hidup sendiri.

"Yaudah deh, kalo lu maksa."

Misel yang mendengar itu hanya terkekeh, sudah pasti ia tahu, jika temannya itu saat ini tengah sangat amat menghemat.

"Gua ngga maksa, lu aja yang miskin."

"Sial!" Jawab Nesa seraya memukul pelan lengan Misel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status