Share

Bab 2

Author: Ciara
Malam itu, Liam baru tiba di rumah pada dini hari. Aku tidak bisa tidur karena kesakitan. Jadi, aku mau tak mau bangkit untuk minum obat pereda rasa sakit.

“Nih! Aku sengaja bawakan camilan malam untukmu.”

Liam melempar beberapa kotak satai sisa mereka ke meja. Perhatiannya tertuju pada kontrak yang ditaruh di samping meja. Dia sama sekali tidak menyadari wajahku yang pucat dan dahiku yang berkeringat dingin.

Duk! Aku membuang satai-satai itu ke tong sampah.

Aku punya penyakit maag dan Liam juga mengetahuinya. Hanya saja, dia tidak pernah peduli.

“Kamu gila, ya? Aku sudah baik hati bawakan makanan untukmu, tapi kamu malah ngambek! Aku kan cuma suruh kamu minum-minum dikit!”

“Maagku kambuh, aku nggak bisa makan pedas.”

Liam langsung terpaku di tempat, ekspresinya terlihat agak canggung. Kemudian, dia melangkah maju dan menggenggam tanganku dengan penuh perhatian.

“Aku lupa. Kamu nggak menyalahkanku, ‘kan?”

Liam menatapku dengan tampang memelas.

Dari jarak sedekat ini, aku bisa mencium aroma parfum yang bukan miliknya. Ketika teringat ucapan sekelompok orang yang kutemui tadi, aku langsung merasa mual.

“Elisa sengaja. Dari awal, dia sudah ....”

“Evelyn! Kamu sendiri yang nggak kompeten, tapi kamu masih mau memfitnah orang! Kenapa kamu berubah jadi begini!”

Sebelum aku selesai berbicara, Liam sudah menyela ucapanku. Kemudian, dia langsung melepaskan tanganku dan berjalan masuk ke kamar.

Aku menatap punggung Liam sambil menertawakan diriku sendiri. Meskipun aku memberi tahu Liam faktanya, dia juga tidak akan percaya padaku.

Keesokan paginya, Liam membangunkan aku.

Kerja sama terbaru Liam adalah sebuah ajang pencarian bakat. Di acara ini, Liam menjadi juri. Setelah tiba di studio, aku baru tahu bahwa di kompetisi menyanyi ini, Elisa diundang sebagai bintang tamu.

Sesuai dugaan, begitu syuting dimulai, kamera tidak berhenti menangkap interaksi mesra Liam dengan Elisa entah secara sengaja atau tidak. Baru saja syuting berakhir, Liam langsung menarik Elisa ke belakang panggung.

Mereka berjalan melewatiku dan langsung duduk di ruang istirahat, seolah-olah tidak melihatku. Elisa menoleh dan tersenyum tipis padaku. Matanya dipenuhi dengan rasa bangga.

Selama tujuh tahun ini, demi karier Liam, aku selalu berada di sampingnya dengan status sebagai asistennya. Aku bahkan meninggalkan karierku di bidang finansial demi mencurahkan seluruh perhatian dan sumber dayaku kepadanya.

Sekarang, Liam sudah tidak membutuhkan aku. Sementara itu, aku masih harus melihatnya memamerkan cinta pertamanya setiap hari.

Di dalam ruang istirahat, ada sutradara yang menemani Liam dan Elisa. Entah apa yang sedang dibicarakan mereka, terdengar suara tawa manja Elisa dari waktu ke waktu.

Aku menatap kontrak kerja sama yang belum selesai kubaca. Kata-kata di atas kertas putih itu tiba-tiba terlihat bagaikan benang kusut.

“Ya ampun! Elisa perhatian banget sama Kak Liam!”

Saat mendengar tawa sutradara, aku tidak dapat menahan diri dan melirik ke arah ruang istirahat lagi. Kaca yang sedikit transparan itu memantulkan bayangan dua orang.

Elisa sedang menggenggam tisu dan dengan lembut menyeka sisa kopi yang masih menempel di sudut bibir Liam. Dari sudut pandangku, mereka berdua terlihat seperti sedang berciuman bak pasangan yang sedang berada dalam fase bulan madu.

Perasaan pasrah menjalar di seluruh tubuhku.

Aku dan Liam sudah bersama selama tujuh tahun. Lima tahun yang lalu, kami mendaftarkan pernikahan kami.

Setelah menikah, karier Liam berangsur-angsur membaik. Sumber daya dan koneksiku sudah tidak lagi memuaskannya. Dia pun membiarkan orang lain menginjak-injak harga diriku demi mendapatkan satu demi satu kerja sama baru.

Meskipun dia tidak bersedia mengungkapkan hubungan kami, aku juga tidak mempermasalahkannya. Sekarang, untuk pertama kalinya, niat untuk bercerai dengannya muncul dalam benakku.

Ketika jam makan siang, begitu makanan Liam disajikan, Elisa secara alami mengambil daun ketumbar dari piringnya dan menaruhnya ke piring Liam.

Aku secara refleks hendak menghentikan Elisa, tetapi aku malah melihat Liam hanya tersenyum padanya, seolah-olah ini adalah hal yang sudah sering terjadi.

Sutradara berkata sambil tersenyum, “Kalian masih bilang kalian itu bukan pasangan. Dinilai dari kekompakan kalian, jangan-jangan, kalian sudah nikah!”

“Kami benar-benar cuma teman biasa,” jelas Liam sambil tersenyum.

Namun, senyuman Elisa yang berada di sampingnya langsung membeku. Kemudian, dia tersadar kembali dan berujar, “Dia memang suka makan daun ketumbar. Dulu, aku juga selalu merawatnya seperti ini.”

Ucapan Elisa yang sederhana itu langsung membuat hatiku terasa sedingin es. Ternyata Liam menyukai daun ketumbar?

Namun, pertama kali aku memasak untuknya, gara-gara ada beberapa helai daun ketumbar di tumis daging sapi itu, dia langsung membuang semua makanan beserta peralatan makannya ke tong sampah, lalu berlari ke kamar mandi dengan tampang jijik dan memuntahkan makanannya.

“Sudah kubilang aku nggak suka makan daun ketumbar! Kenapa kamu malah sengaja masak pakai daun ketumbar!”

Ternyata, dia merasa jijik pada daun ketumbar dalam tumis daging sapi itu karena itu mengingatkannya pada seseorang. Aku tidak berhenti memperhatikan ekspresi Liam. Dari awal sampai akhirnya, ekspresinya terlihat santai.

Ketika berbalik untuk pergi, ponselku tiba-tiba jatuh ke lantai. Layarnya pun menyala dan semua orang melihat foto Liam yang kugunakan sebagai latar belakang ponselku.

Sebelum aku sempat mengambilnya, sutradara sudah memungut ponselku dan berkata, “Bukannya penggemar itu nggak boleh jadi asisten? Kamu ....”

Sutradara tidak berhenti melirikku dan Liam secara bergantian.

“Dalam kegiatan tim sebelumnya, aku kalah dalam permainan jujur dan tantangan.”

Setelah mendengar jawabanku, Liam sepertinya merasa lega.

Elisa juga menambahkan, “Foto latar belakang ponselku lebih bagus!”

Kemudian, aku mengikuti arah pandang sutradara dan menoleh ke arah ponsel Elisa. Itu adalah fotonya dengan Liam di bawah pertunjukan kembang api. Mereka saling bersandar di tepi danau dan bibir mereka nyaris bersentuhan.

“Liam paling suka kembang api. Dulu, aku pernah berjanji akan menemaninya menonton kembang api. Kemarin, aku akhirnya memenuhi janjiku itu. Gimana, Evelyn? Bagus, ‘kan?”

Elisa memandangku sambil tersenyum. Ketika bertemu pandang dengan tatapan penuh provokasinya, aku hanya tersenyum dan menjawab, “Bagus, mirip foto pasangan.”
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Suami Selebku Menolak untuk Cerai   Bab 8

    Setelah hari itu, Liam tidak pernah muncul di hadapanku lagi. Sebaliknya, Edward akan datang ke perusahaan untuk mencariku dengan alasan yang berbeda setiap hari.Sejak ciuman waktu itu, ada semacam atmosfer yang tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata yang menyelimuti kami. Namun, akal sehatku memberitahuku bahwa aku tidak boleh membuang-buang waktunya.Sore ini, Edward membawa makanan yang dimasaknya sendiri ke kantorku.“Pembantu rumahku masak kebanyakan. Ayo temani aku makan.”Melihat raut wajahnya yang penuh siasat, aku mengangguk. Mungkin karena tidak menyangka bahwa hari ini aku akan menyetujui permintaannya dengan semudah itu, Edward merasa agak terkejut.Saat makan sampai setengah, aku akhirnya berkata, “Edward, aku nggak layak menerima perlakuan seperti ini darimu. Kamu ... bisa dapatkan orang yang lebih baik.”Gerakan Edward yang sedang mengambil sayur terhenti sejenak. Matanya juga seketika memerah. Tepat ketika aku mengira dia tidak akan membalas ucapanku, Edward meng

  • Suami Selebku Menolak untuk Cerai   Bab 7

    “Jangan suka nuduh orang lain jadi orang ketiga. Kenapa kamu nggak ucapkan kata-kata itu pada Elisa yang berdiri di belakangmu? Bukannya dia barulah orang ketiga yang membuat kita cerai!”Suaraku tidak besar, tetapi cukup besar untuk didengar para rekan kerja yang suka bergosip.Liam boleh menindasku, tetapi Edward tidak bersalah. Mungkin karena tidak menyangka aku akan membela Edward, mata Liam langsung memerah.“Kamu ... kenapa kamu mengatai aku seperti itu?”Suara Elisa terdengar penuh kesedihan. Air matanya juga hampir bergulir. Aku mengabaikannya, lalu menarik tangan Edward yang sedang berpura-pura menonton pertunjukan di samping.Ketika aku berjalan melewati Liam, dia malah menahan tanganku. Hanya dalam waktu semenit, pria di hadapanku itu sudah kembali rasional.“Kalau kamu nggak mau dia dipecat dari perusahaan ini, sebaiknya kamu batalkan perceraian kita.”Dulu, Liam paling benci menyelesaikan masalah dengan mengandalkan koneksi. Sekarang, dia ternyata juga menjadi orang yang p

  • Suami Selebku Menolak untuk Cerai   Bab 6

    Aku merasa heran. Namun, begitu memikirkan aku akhirnya terlepas dari Liam, aku pun merasa bersemangat sampai tidak bisa tidur. Tak disangka, di pesta penyambutan karyawan baru perusahaan, aku malah bertemu dengan Elisa dan Liam lagi.Elisa berjalan ke hadapanku dengan membawa segelas alkohol. “Kak Evelyn, terima kasih atas bantuanmu sebelumnya.”Asistennya Elisa berdiri tidak jauh di belakang. Tatapannya dipenuhi dengan ejekan. “Bu Evelyn datang bersama Kak Liam? Oh salah, Bu Evelyn sudah dipecat.”Elisa berpura-pura marah dan menyuruh asistennya untuk diam. “Ngomong apa sih kamu! Memangnya siapa saja bisa tahu jadwal Kak Liam?”Ucapan Elisa memang benar. Ketika masih bekerja sebagai asisten Liam, aku juga belum tentu tahu di mana Liam berada, apalagi setelah bercerai. Namun, ketika melihat tampang sombong Elisa, ada sebuah pemikiran yang tiba-tiba muncul di benakku.“Apa Liam masih nggak bersedia kasih kamu status?”Ucapanku langsung membuat Elisa terpaku di tempat. Aku pun tertawa.

  • Suami Selebku Menolak untuk Cerai   Bab 5

    “Kamu benar-benar mau ... cerai denganku? Sudah kubilang, aku nggak akan menceraikanmu. Kamu jangan berharap lagi.”Aku pun tersenyum, lalu teringat ucapan Liam begitu kembali tadi.“Bukannya kamu mau aku bantu Elisa?”Seolah-olah sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan, Liam langsung menggigit bibirnya. Setetes air matanya langsung mengalir tanpa aba-aba. Dulu, aku paling takut melihatnya menangis. Setiap kali, aku akan merasa sangat sakit hati dan berharap diriku bisa menggantikannya menanggung kesedihan itu. Sekarang, aku sama sekali tidak bergeming setelah melihat air matanya.“Berhubung kamu sudah terima surat cerainya, bacalah isinya, lalu tanda tangan. Asal kamu tanda tangan, aku akan bantu Elisa untuk klarifikasi masalah itu.”Setelah mendengar ucapanku, surat cerai itu langsung terlepas dari genggaman Liam. Aku tahu seberapa besar pengaruh masalah kali ini terhadap Elisa. Dia pada dasarnya adalah aktris yang disokong oleh para kapitalis. Sekarang, dia malah merusak reputa

  • Suami Selebku Menolak untuk Cerai   Bab 4

    “Aku nggak mau ce ....”Sebelum Liam menyelesaikan kata-katanya, ada seorang perawat yang berjalan masuk. Dia pun segera menutup mulutnya.Aku lagi-lagi menertawakan diriku sendiri. Dia benar-benar sangat takut hubungan kami diketahui orang lain.Ketika mengganti obatku, mata perawat itu malah tidak berhenti melirik aku dan Liam. Tatapannya yang penuh dengan keinginan untuk bergosip membuat Liam mengernyit.“Dia itu cuma asistenku. Jangan lihat lagi.”Begitu gerak-geriknya ketahuan, perawat itu seketika merasa malu dan buru-buru keluar setelah mengganti obatku.Pada detik sebelumnya, Liam baru menolak untuk bercerai denganku. Namun, pada detik selanjutnya, dia malah mengatakan pada orang lain bahwa hubungan kami hanya sebatas teman, hanya sebatas atasan dengan bawahan.Ketika dia hendak menggenggam tanganku lagi, aku langsung menepisnya. “Sudah kubilang, jangan sentuh aku. Kamu membuatku merasa jijik.”Begitu mendengar ucapanku, Liam langsung menggigit bibirnya dengan kuat dan matanya

  • Suami Selebku Menolak untuk Cerai   Bab 3

    Dari sudut mataku, aku melihat Liam yang menggosok ujung jarinya. Itu adalah tanda dia merasa tidak senang.Ketika aku sedang makan, asistennya Elisa tiba-tiba berjalan ke sisiku. Sebelum aku sempat mendongak, dia sudah melempar sebuah kain ke supku sehingga tubuhku terciprat minyak.“Nanti, pergi bersihkan mobil Elisa.”Hari ini, hujan turun sangat deras. Bagian luar mobil Elisa dipenuhi dengan lumpur. Aku tidak menanggapi ucapannya, hanya menyeka tanganku dengan acuh tak acuh. Melihat aku yang tidak bergeming, asistennya Elisa itu melangkah maju dan berseru di samping telingaku, “Kamu tuli? Memangnya kamu nggak bisa jawab, kamu dengar omonganku atau nggak? Dasar orang nggak berpendidikan!”Seusai berbicara, dia mengulurkan tangannya ke arah kerah bajuku.Aku menunduk pada Liam karena aku mencintainya. Namun, itu tidak berarti bajingan mana saja bisa bertindak seenaknya terhadapku. Aku langsung mengambil sisa makananku dan menuangkannya ke kepala asistennya Elisa.“Memangnya ayahmu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status