“Saya terima nikah dan kawinnya Katarina Gayatri binti almarhum Abiraya dengan mas kawin tersebut, tunai.” Tanpa gugup dan gusar Rafka mengucapkan kobul dengan lantang.
“Bagaimana para saksi?” tanya penghulu dengan lantang.
“Sah!” seruan beberapa saksi membuat suasana ruang inap VIP rumah sakit Bayangkara ramai dengan tangis haru.
‘Tidak kusangka Mas Rafka begitu tampan. Selama ini, aku hanya melihat wajahnya dari foto yang diberikan Kakek,’ batin Katarina. Ia sesekali melirik Rafka dari ujung mata kanannya.
Saat kata sah sudah terucap dengan lantang, penghulu langsung merapal doa untuk keduanya. Suasana berubah tegang saat keadaan Rio mulai mengkhawatirkan. Napasnya mulai tersenggal tangan yang mulai dingin. Membuat Katarina ingin segera berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter. Namun, tangan Rio selalu menahan dengan sekuat tenaga.
Tatapan sayu dari Rio membuat Katarina tidak berkutik. Tubuh laki-laki paruh baya itu semakin dingin. Kini Katarina dan Rafka duduk di samping brankar, tangan keduanya disatukan oleh Rio.
“Kata, Rafka, terima kasih sudah memenuhi permintaan Kakek. Semoga pernikahanmu dengan Rafka menjadi sakinah mawadah wa-roh-mah. Kakek titip Kata padamu, Raf. Ja-ga dia baik-ba…. ” belum sempat Kakek Rio melanjutkan ucapannya, matanya mulai tertutup rapat bersamaan dengan napas yang berhembus tidak tersisa.
“Ka-kakek!” teriak Katarina dengan tangis historis.
Dengan segera Rafka menarik tubuh Katarina untuk keluar ruangan saat Dokter Ardi sudah datang.
Tidak butuh waktu lama, pintu ruang inap VIP kembali terbuka. Wajah Dokter Ardi yang tersirat tidak mampu mengatakan apapun pagi itu. Ia menghela napas panjang sebelum mengucap satu kalimat.
“Mohon maaf, Kakek Rio sudah tidak bisa diselamatkan. Kami sudah berusaha, namun Tuhan sudah berkehendak berbeda,” tuturnya dengan suara pelan.
Air mata yang sedari tadi ia tahan kini luruh pecah di pipi Katarina, dalam genggaman tangannya ia merasakan Rio menghembuskan napas terakhirnya. Kenyataan pahit yang harus ia terima, entah selamat menempuh hidup baru atau selamat tinggal yang harus ia terima. Bahagia atau sedih yang harus ia rasakan.
Perlahan suster membawa brankar dengan tubuh Rio yang tertutup kain putih, air matanya terasa kering setelah menangis tersedu-sedu. Tangan Rafka yang perlahan membuka kain putih yang menutup tubuh Rio, senyum yang terulas di tubuh yang tidak lagi bernapas itu.
“Kakek, maafkan Katarina yang belum bisa membahagiakan dirimu, selamat jalan pahlawanku. Terima kasih banyakk,” bisik Katarian ditelinga Rio, hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya.
“Sudah, biarkan kakek tenang di alam barunya. Jangan ditangisin seperti itu!” hardik Rafka dingin.
“Kamu …. ” ucapan Katarina terhenti saat seorang laki-laki paruh baya mulai mendekatinya dengan tatapan nyalang.
“Semua ini gara-gara kamu! Kakek Rio meninggal juga gara-gara mikirin kamu, sialnya kamu cucu pungut kesayangan kakek,” bisik Pramana lelaki paruh baya itu.
“Kenapa ayah mengatakan itu? Jelas-jelas Kakek meninggal karena sakit keras yang diidapnya. Jika kakek meninggal itu diluar kendaliku, Ayah!” tukas Katarina pelan.
“Hahaha, anak pungut saja belagu. Setelah ini jangan harap hidup kamu akan selalu bahagia, kamu kira aku mau punya menantu anak pungut sepertimu? Cuih,” bisik Pramana dengan ketusnya.
“Satu lagi, jangan berharap banyak dengan pernikahan ini, tidak ada jaminan bahagia untukmu setelah kakek Rio tidak ada!” lagi bisikan Pramana membuat telinga Katarina panas dan merasakan sakit.
“Ucapan seorang ayah mertua yang tidak setuju dengan pernikahan anaknya menyakitkan sekali, ya,” gumam Katarina dalam hati.
***
Suara sirine mulai terdengar sangat keras, perjalanan menuju rumah Rio cukup membuat Katarina menahan diri untuk menangis. Sepanjang perjalanan menuju rumah Rio, Katarina hanya duduk diam bersebelahan dengan Rafka.
“Mas, kamu ingat bagaimana kakek meminta kita menikah?” tanya Katarina memecah suasana.
“Huh, aku tidak percaya kalau kakek akan menjodohkan aku denganmu. Selama ini aku tidak mengenalmu secara langsung, kakek sering bercerita tentangmu, Katarina.” Dengan aksen dinginnya Rafka membuat Katarina bungkam.
Sejenak Katarina teringat kejadian beberapa hari yang lalu, disaat ia dan Rafka duduk di sebelah brankar Rio. Lelaki paruh baya itu dengan terang-terangan meminta Rafka untuk menikahi Katarina.
“Kakek lucu ya, Mas,” ungkap Katarina dengan mengulas senyum secara terpaksa.
“Kakek Rio memang selalu begitu, Katarina,” sergah Rafka tegas.
“Bagaimana dengan warisan Kakek Rio, Mas? Apakah kita bisa menjalani pernikahan ini dengan benar. Jujur aku tidak pernah siap dengan pernikahan ini,” pelan suara Katarina mengucapkan kejujuran dalam hatinya.
“Kata! Yang aku tahu saat Kakek Rio menitipkan warisan ini untuk kita berdua dengan syarat harus menikah. Semua peraturan yang harus ditepati ada diamplop coklat ini, surat-surat yang berhubungan dengan pernikahan juga ada di sini. Kita hanya dituntut untuk menjawab iya atau tidak, dan saat itu kakek tidak menerima penolakan sama sekali!” jelas Rafka dengan wajah datar seperti tidak terbebani.
“Sebenarnya, saat itu kamu bisa mengatakan tidak, Mas. Akan tetapi, itu tidak mungkin kita lakukan,” kelit Katarina pelan.
“Apa kamu lupa saat aku mengatakan ke Kakek untuk tidak bercanda tentang menikah dihari besoknya?” hardik Rafka dengan tegas.
Katarina sekolah dibungkam dengan pertanyaan Rafka, ia teringat saat Rio dengan jelas mengatakan itu bukan bercandaan semata. Rio hanya ingin Katarina menikah dengan laki-laki pilihannya, dan lelaki itu adalah Rafka cucu yang paling ia percaya.
“Mas, kenapa saat itu Kakek putus asa dengan hidupnya? Seharusnya aku meminta kepadanya untuk bertahan dan melawan penyakitnya!” Isak tangis mulai terdengar dari Katarina. Tubuhnya bergetar hebat saat wanita itu menangis dalam diam.
“Kakek sudah tidak ingin melawan penyakitnya, Katarina. Maka dari itu, Kakek ingin melihat kamu menikah, ia ingin kamu ada yang menjaga. Kakek tidak ingin kamu kenapa-kenapa, singkatnya begitu. Aku tidak berharap banyak dari pernikahan ini, karena yang aku yakini saat ini hanya menjadi cucu yang berbakti pada Kakek Rio sesuai dengan permintaan terakhirnya,” jelas Rafka tanpa berpikir panjang.
“Mas, seperti itukah niatmu menikahiku? Padahal jika diberi kesempatan aku ingin menjadi istri yang baik untukmu,” batin Katarina menggumam.
“Kenapa diam? Bukankah tujuan pernikahan ini memang semata untuk Kakek?” tanya Rafka dengan menelisik setiap sudut wajah Katarina.
“Iya, tapi apa kamu lupa jika Kakek Rio ingin aku dijaga, berarti kamu harus bisa menjadi suami yang baik, Mas. Bukan semata pernikahan ini sebagai tanda kamu berbakti!” kelit Katarina yang kini menundukkan kepalanya.
“Sudahlah, Katarina. Kita jalani saja bagaimana hubungan ini, seperti pesan Kakek Rio di amplop ini. Diantara kita tidak boleh ada yang berselingkuh, sebenarnya aku tidak menginginkan harta kakek sama sekali. Ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur bukan? Menyesali hal ini tidak akan membuat kakek hidup lagi,” ungkap Rafka panjang lebar.
“Jujur aku juga tidak butuh harta itu, Mas. Aku hanya ingin kakek hidup dan sehat kembali, bahkan jika aku harus menjaga Kakek Rio sampai akhir hayatnya akan aku lakukan dengan senang hati” gertak Katarina tanpa basa-basi.
“Diam! Sekarang kamu sudah menjadi istriku, berlakulah dengan semestinya layaknya seorang istri!” gertak Rafka dengan keras.
Tangan kanan lelaki itu meraih pinggang Katarina untuk lebih dekat, perlahan ia mengusap pelan kepala Katarina untuk menenangkan wanita di sampingnya. Pecah tangis Katarina membuat Rafka sangat merasa bersalah.
“Bagaimana hidupku ke depannya dengan lelaki dingin ini?” gumam Katarina bertanya-tanya.
Suasana pemakaman Rio dipenuhi dengan tangis haru, Katarina masih tidak menyangka dengan kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. Saat beberapa orang mulai pergi hingga menyisakan Katarina dan Rafka. Terik yang cukup menyengat itu tidak membuat Katarina beranjak dari pusaran makam Rio.“Ayo pulang, kakek akan sedih kalau kamu seperti ini!” tegas Rafka dengan menarik tangan Katarina.“Kamu tidak akan tahu yang aku rasakan, Raf!” Kalimat yang terlontar dari mulut Katarina dengan ketus.“Aku juga kehilangan sama sepertimu, tapi jangan menyiksa dirimu sendiri begini! Kamu kira aku tidak sedih kakekku meninggal? Kamu kira aku diam saja itu tidak punya perasaan?! Aku juga sedih tapi aku tidak lebay seperti kamu,” tutur Rafka panjang lebar.Untuk pertama kali, Katarina mendengar laki-laki itu mengoceh panjang lebar. Biasanya ia hanya mendengar ucapan singkat dan ketus. Akan tetapi saat ini ia dibuat melongo saat laki-laki di belakangnya mampu mengutarakan apa yang ia rasakan.“Aku kehilang
‘Aku gak jadi lembur, ada urusan sama Rengga.’- Rafka.Sebuah pesan yang masuk ke ponsel Katarina, bukan yang pertama kali sejak satu bulan ini. Katarina yang masih berjalan gusar, berpikir apa saja yang dilakukan Rafka dan Rengga akhir-akhir ini.“Hem, sebenarnya apa yang ia lakukan dengan Rengga? Kenapa ia lebih sering bersama Rengga yang notabene hanya teman,” gumam Katarina bertanya-tanya.Tanpa basa-basi ia mengambil tas slempangnya dan keluar kamar, ia bergegas memesan taxi online dan mencari keberadaan Rafka. Beberapa kali ia berusaha meminta temannya melacak lokasi Rafka, satu pesan yang masuk ke ponselnya berisi share lokasi Rafka saat ini.Suasana Kota Malang saat ini sangat ramai dan macet, beberapa kali Katarina mendengus kesal saat taxi online yang ia tumpangi terjebak macet. Perasaannya gusar dan tidak nyaman, berpikir keras apakah Rafka masih disana atau sudah pergi.“Maaf ya, Kak. Jalanan cukup macet, sepertinya kita akan terlambat beberapa menit ke lokasi,” ungkap sop
“Stop!” teriak Rafka yang baru saja masuk ke dalam ruang tamu.Katarina menoleh dengan cepat saat mendengar suara suaminya dengan keras, ya laki-laki itu datang di waktu yang tepat. Pertemuan yang kembali gagal, entah percakapan apa yang akan Pramana rancang saat itu.“Ada apa, Rafka? Ayah hanya ingin mengobrol dengan cucu pungut Kakek Rio. Ayah tidak ingin mengobrol denganmu sama sekali,” jelas Pramana dengan tegas.“Cucu pungut, cucu pungut! Dia istriku ayah!” gertak Rafka dengan tegas.Laki-laki es batu itu menarik tangan kanan Katarina untuk ikut masuk ke kamar, dengan langkah sedikit terburu-buru Katarina mengikuti langkah cepat Rafka. Suaminya benar-benar tidak ber-perikeistrian, langkahnya sama sekali tidak menoleh ke arah Katarina.“Mas Rafka!” panggil Katarina dari belakang.Laki-laki itu menoleh cepat ke arah wanita di belakangnya, “Ada apa?” tanyanya singkat dan ketus.“Umm …, tidak jadi. Terima kasih ya, a-aku tidak tahu kenapa ayah beberapa kali memanggilku saat kamu tida
Bibirnya terasa kelu saat matanya mendapati seorang pria yang sangat ia kenal, Refaldy sahabatnya saat SMA.“Kamu bikin aku jantungan!” pekik Katarina keras.“Kamu tumben ke sini?” tanya Refaldy pelan.Katarina hanya memberikan isyarat untuk sahabatnya itu duduk, ia masih sibuk memilih menu yang ada di buku yang ia baca sedari tadi.“Kak, maaf ini bukunya terbalik,” tunjuk seorang pelayan yang menunggu menu pilihan Katarina.“Kata, kamu belum sarapan atau baru bangun tidur tanpa cuci muka sudah pergi ke sini?” tanya Refaldy dengan terkekeh.Katarina dengan segera membaik buku menu itu dengan benar, jujur sejak tadi ia sama sekali tidak fokus pada jajaran menu yang ada di buku itu. Matanya masih mencuri pandang ke arah Rafka dan Rengga yang duduk tidak jauh dari tempat duduknya.“Kata!” panggil Refaldy dengan tangan melambai-lambai di depan wajah Katarina.“Refal, sebentar ….” putus Katarina dengan menggantung.“Pesan ini aja, Kak,” Refaldy menunjuk dua menu untuknya dan Katarina.“Mak
“Berhenti!” teriak laki-laki itu dengan tegas.Suara yang sangat Katarina kenal, beberapa orang di dalam ruangan itu menoleh ke arah sumber suara. Rafka yang berjalan dengan tegap diikuti beberapa bodyguardnya, tatapannya nyalang pada Pramana dan beberpa orang suruhannya. Tanpa sepatah kata, Rafka perlahan melepaskan ikatan yang terikat pada tangan Katarina.Mata Katarina kini mulai buram, “Mas Raf, i-ni beneran kamu.”Wanita itu tidak lagi sadarkan diri dengan tubuh dan wajah yang penuh lebam, dengan sigap Rafka menggendong tubuh Katarina. Langkahnya sempat terhenti sebelum ke luar ruangan itu, matanya menatap Pramana dengan nyalang.“Ayah, nanti kita bicara!” ungkap Rafka tegas dengan langkah pelan ke luar ruangan.Bodyguardnya dengan sigap menyiapkan mobil untuk membawa Katarina ke rumah, sepanjang perjalanan ke rumah Rafka sangat khawatir. Jika ia lengah beberapa waktu saja pasti sangat fatal.“Bibi, tolong siapkan alat buat membersihkan luka istriku,” titah Rafka dengan menggendo
"Hai, Rafka. Apakah ini istrimu?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba mengulurkan tangan pada Katarina, ia gugup dan bingung saat itu.“Iya, dia istriku Katarina,” ucap Rafka dengan menjabat tangan lelaki yang baru datang itu.“Oh, hai Katarina. Aku Atalas, sepupu Rafka salam kenal ya,” sapa Atalas yang terlihat kikuk dengan perlakuan Rafka.Katarina hanya bisa tersenyum, sikap Rafka yang suka berubah-ubah membuatnya bingung. Kini ruang makan tidak lagi sepi, Atalas yang sibuk mengobrol dengan Elegi yang membahas masa kecil keduanya. Rafka masih terlihat canggung dan malas untuk berkomunikasi.“Ikut aku!” Tangan lelaki itu mulai menarik tangan Katarina secara paksa.“Ke mana sih, Mas? Jangan kasar begini, sakit!” kelit Katarina menarik tangannya dari genggaman Rafka.Secara sengaja Rafka melepaskan tangan Katarina hingga ia hampir terjatuh, tubuhnya sempat terhuyung ke belakang. Untung saja dengan sigap Rafka menarik pinggang Katarina. Tatapan mata tidak dapat ter-elakkan saat itu.
Deg!Jantung Katarina seperti dihunus pedang panjang secara tiba-tiba, ia tidak terbiasa mendengar gombalan lelaki selain Refaldy. Kali ini Atalas berhasil membuat Katarina tersenyum simpul dengan pipi yang merah.“Kakak ipar, kamu tidak apa-apa?” tanya Atalas sembari mengusap pelan pipi Katarina.“Tidak apa-apa, Atalas.” Seorang Katarina yang memiliki love language phisical touch mendadak luluh begitu saja.Di balik cendela, Pramana mengambil beberapa foto kemesraan Atalas dan Katarina, yang akan ia jadikan senjata untuk menjebak Katarina.“Mangsa mulai terjebak perangkap,” gumak Pramana dengan terkekeh pelan.“Ayah!” teriak Elegi saat melihat Pramana berdiri di balik cendela.“Elegi, ngapain kamu disini?!” tanya Pramana dengan ketus.“Aku baru saja mau ke dapur, seharusnya aku yang tanya kenapa ayah berdiri disini? Liatin halaman lagi,” jawab Elegi sembari ikut menatap apa yang Pramana lihat.“Ayah liatin Atalas sama Kak Kata yah?” tanya Elegi lagi.“Bukan urusanmu!” Pramana beranja
Pramana masuk ke dalam ruang keluarga dalam keadaan murka, entah apa yang membuatnya murka hingga seperti saat ini. Elegi dan Katarina hanya bisa melihat sumber suara dengan terkejut, satu teriakan Pramana membuat keduanya terdiam pasi.“Ngapain kamu?” teriak Pramana sembari menunjuk Katarina dengan jari telunjuknya.“Aku hanya menonton televisi bersama Elegi, ayah.” Katarina sedikit gugup, tubuhnya mulai bergetar perlahan.“Masuk kamar!” lagi teriakan Pramana memekik ditelinga Katarina.Tidak berselang lama dari kemurkaan Pramana, Atalas yang baru saja datang itu langsung menjadi pahlawan kesiangan. Ia berjalan mendekati Pramana dengan wajah sok peduli.“Ada apa, Paman?” tanya Atalas dengan wajah panik.“Tidak apa, aku hanya muak melihat wajahnya!” belum sempat Katarina meninggalkan ruangan itu, Pramana sudah menunjuknya lagi dan lagi.“Oh, Kak ....” ucapan Atalas terhenti.“Ya, Atalas, aku memang tidak diharapkan ada di sini, aku bisa pergi ke kamar,” pamit Katarina dengan mata yang