Share

4. Video Itu

Di butik, Lentera menghentikan gambar sketsanya karena kembali teringat soal pembicaraannya dengan Kanya tadi. Pikirannya masih berkelindan pada penjelasan Kanya dalam video yang barusan ia lihat. Apakah benar kalau Zyan menyesal saat berpacaran dengan Kanya? Apakah alasan Zyan belum menikah sampai sekarang karena Zyan masih mencintainya?

Lentera buru-buru mengusir pikirannya.

“Tera, kamu udah nikah. Jangan pikirin soal Zyan lagi!” katanya pada dirinya sendiri.

“Tapi aku penasaran sama isi video itu. Apa benar Arion gak tahu soal video itu? Kalau tahu kenapa Arion gak kasih liat ke aku ya? Dannesh, aku harus tanya ke dia soal video itu.”

Tanpa pikir panjang, Lentera segera menghubungi Dannesh.

“Gila, loe, Ra. Sekian tahun ngilang terus tiba-tiba ngehubungin gue cuman buat nanyain video?” kata Dannesh yang masih merasa aneh mendapat telepon dari kawan lamanya, Tera.

“Hahaha. Ya maaf, Dan. Gue terlalu sibuk menata hidup ceritanya. Jadi masih punya gak videonya?”

“Ada kayaknya sih di laptop lama gue. Nanti coba gue cari dulu ya.”

“Hmm. Di email gak ada, Dan?”

“Ah, iya, bener di email. Waktu itu Zyan emang sempet cc in ke gue waktu dia kirim ke elu. Nanti gue cek sama kirimin ke elu deh.”

“Oke, tengkyu banget ya, Dan.”

“Yoi.”

Lentera menutup telepon. Rasa penasarannya mulai sedikit berkurang. Tak lama setelah telepon itu, Dannesh benar-benar mengirimkan video itu untuknya. Entah mengapa, jantungnya bergetar hebat saat mengunduh video itu dan berdegup berkali-kali lipat saat menyaksikan isi videonya.

Video berdurasi 18 menit itu berisi kolase kegiatan Lentera di kampus bersama teman-teman jurusan Arsitektur, mulai dari masa ospek mahasiswa baru, lembur menyelesaikan maket, demo karya, KKN, sampai sidang dan wisuda. Lalu tampil beberapa orang teman yang mengucapkan selamat atas pernikahannya dengan Arion. Muncul wajah Kanya, Farel, Dannesh, juga teman-temannya yang lain. Pada sesi terakhir, muncul wajah Zyan yang menyampaikan ucapan selamat secara khusus.

“Tuh, kan, Ra. Aku bilang juga apa. Kamu yang bakal nikah duluan. Selamat ya. Aku seneng banget akhirnya kamu nemuin the right one. Semoga Arion bisa ngebahagiin kamu selamanya.

Di moment bahagiamu ini aku mau menyampaikan permohonan maaf secara khusus. Maafin aku, ya, Ra. Aku tahu aku udah nyakitin kamu banget. Aku minta maaf. Tidak memperjuangan kamu mungkin akan jadi penyesalan terbesar dalam hidup aku.

Karena asal kamu tahu, sesuatu yang menghalangiku buat gak memperjuangkan kamu ternyata justru sifat pengecut aku sendiri, Ra. Kamu tahu, Ra. Foto gadis kecil yang diamanahkan almarhum papah itu ternyata foto kamu.

Ya, Ra. Papahku ternyata teman baik ayah kamu, Ra. Dan kamu, Ra, kamu yang sebenernya yang dimaksud papah sebagai anak sahabatnya itu. Kamu, Ra, kamu yang ingin dijodohkan papah denganku…”

Kalimat Zyan terjeda saat ia bersegera mengusap air yang hampir jatuh dari matanya. Lentera menatap layar laptopnya tak percaya. Benarkah? Bagaimana mungkin gadis kecil itu adalah dia? Lalu, kenapa Zyan tak pernah memberi tahunya?

“Awalnya aku merasa dipermainkan oleh takdir. Masih ingat jelas, sore itu, sekitar sebulan sebelum Hari Penentuan, tiba-tiba orang suruhanku datang membawa kabar gembira. Anak yang ingin sekali papah jodohkan denganku ternyata sudah akan menikah. Itu artinya perjodohan itu batal. Awalnya aku merasa begitu senang. Hatiku langsung tertuju kepadamu. Ingin rasanya aku segera menghubungimu, Ra. Aku ingin mengajakmu kembali ke Jakarta, kembali mewujudkan mimpi-mimpi yang pernah kita tulis sama-sama. Namun, ternyata saat Hari Penentuan setahun lalu, kamu gak pernah datang, aku jadi urung menghubungimu. Mungkinkah kamu sudah melupakanku?”

Lentera lekas mem-pause video dan memutar ulang pada bagian Zyan bicara tentang Hari Penentuan. Hari Penentuan adalah hari setahun setelah mereka memutuskan untuk berpisah. Pada hari itu, Lentera dan Zyan sama-sama berjanji akan datang ke Telaga Pohon jika hatinya berubah pikiran dan ingin memperjuangkan cinta mereka. Tera ingat betul, Telaga Pohon adalah tempat pertama mereka bertemu saat masa orientasi mahasiswa baru, tepatnya di bawah sebuah danau di dalam kampus. Tera menyebut tempat itu sebuah telaga, sedangkan Zyan menyebutnya sebuah pohon. Akhirnya, keduanya sepakat untuk menamai tempat itu Telaga Pohon.

“Wait!” pekik Lentera sembari menekan tombol pause. “Hari Penentuan? Zyan bilang aku gak dateng di Hari Penentuan? Kenapa dia bisa ngomong kayak gitu, jelas-jelas aku dateng dan nungguin dia tapi dia gak pernah muncul. Gak, ini pasti ada yang salah.” Tera mengetuk-ketuk bibir laptopnya sembari menggigit bibir, dia cemas. Dia lalu menekan tombol play, meneruskan menonton video itu sampai akhir.

“Anehnya, setelah sekian lama malas bertanya tentang siapa anak sahabat papah itu, hari itu aku meminta profil lengkap anak itu. Betapa terkejutnya aku ketika kudapati bahwa yang kutemukan adalah profil lengkapmu. Ternyata orang yang paling papah segani di dunia ini adalah ayahmu, seorang yang pernah menolong papah saat papah hampir bangkrut dan telantar di Surabaya.

“Hatiku hancur seketika, Ra. Sakit sekali, rasanya. Mungkin ini hukuman dari Tuhan karena aku telah menyia-nyiakan orang sebaik kamu. But, life must go on. Mungkin memang kita tidak ditakdirkan berjodoh. Arionlah jodoh kamu, Ra. Sekali lagi selamat, ya. Semoga kamu selalu bahagia di mana pun kamu berada.”

Lentera masih mematung di depan laptopnya, tak percaya dengan yang barusan ia lihat dan dengar. Ia mengusap wajahnya dengan telapaknya. Berkali-kali ia coba mengatur napas yang mulai tersengal. Perasaannya campur aduk bukan main. Lentera pikir dia harus bertemu ayahnya untuk menanyakan masalah ini, namun teringat hubungan mereka tak pernah baik, dia mengurungkan niat itu. Sejak bercerai dari ibunya, Lentera sangat membenci ayahnya.

Lentera menghela napas panjang. Dia benar-benar tak menyangka ternyata justru dirinyalah yang sebenarnya akan dijodohkan dengan Zyan. Dirinya pula yang sebenarnya menjegal perjodohan itu. Jika dulu Lentera mau memberikan waktu kepada Zyan dan mencari keberadaan anak dalam foto itu bersama-sama, mungkin sekarang keduanya sudah hidup bahagia.

Lentera mengepalkan jari-jarinya kuat. Semua terasa begitu menyebalkan. Mengapa fakta sepenting ini baru dia ketahui sekarang? Mengapa Zyan tak segera memberi tahunya jika memang anak itu adalah Lentera?

Sebal. Lentera sebal bukan main. Dia sempurna tak menafikan diri, perasaannya kepada Zyan belum benar-benar berakhir. Dia selalu merasa masih ada celah di antara hubungan mereka yang sudah lama kandas. Meskipun sekarang dia sudah menjadi istri Arion, ternyata mengetahui fakta tentang masa lalunya dengan Zyan tetap tidak bisa menjadi perkara yang sederhana.

Lentera kemudian memberanikan diri untuk kembali membuka komunikasinya dengan Zyan. Terlalu banyak hal di kepalanya yang tak akan bisa dia bendung jika tidak bertemu Zyan. Lentera lalu mengirimkan sebuah surat elektronik kepada mantan pacarnya itu.

“Zyanendra Pranadipa, lama tak bersua, ya. Apa kabar? Kapan kita bisa bertemu, ya? Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan.” tulis Lentera tanpa basa basi.

Tak disangka, hanya dalam hitungan menit, Zyanendra langsung membalas emailnya.

“Hai, Lentera! Kamu masih di Surabaya? Kebetulan banget, besok aku ada acara di Surabaya. Kita bisa ketemu. Tentukan tempat dan waktunya, ya. Aku akan datang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status