Pov Mamanya Caca Aku sudah mencurigai bahwa ada hal yang tidak baik di dalam keluarga Caca. Untuk itu, aku mencoba membantu putriku. Sejatinya, lelaki takkan mampu menahan hasratnya jika digoda oleh wanita. Amara adalah wanita yang masuk ke dalam rumah tangga anakku. Begitu pun dengan Sandi, ia kurang iman dalam menjaga hasratnya. Sebagai orang tua, aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk Caca. Akan kulakukan apa saja yang membuatnya bahagia. "Aku buka, ya Mah," ucapnya sambil membuka kertas yang kuberikan. Aku melipat kedua tanganku di atas dada, sambil menyaksikan anakku yang sedang membaca. Kemudian, Caca menoleh keheranan. Mulutnya terlihat menganga ketika usai membaca kertas tersebut. Aku menarik bibir ini dan melontarkan senyuman, alisku pun sengaja aku angkat seraya menunjukkan bahwa aku tengah melindunginya. "Mah," sapanya singkat. "Iya, Nak." Aku menjawab sambil memberikan kode. "Terima kasih banyak, Mah," ucap Caca sambil menyergap tubuhku. Akhirnya rasa har
Mamaku adalah penyelamatku, sepertinya itu yang pantas aku utarakan untuk orang tua yang selalu menyayangiku. Di saat aku butuh bantuannya, ia yang menjadi penolongku. Aku dan mama bersiap untuk bicara pada kedua mertuaku. Ya, salah satu dari mereka ada yang care dan ada yang tidak. Tidak menutup kemungkinan, papa sudah bicara dengan Mama Sarah, dan mungkin juga mereka ke sini untuk bahas semuanya. "Mah, Pah," sapaku menunduk. "Kamu baik-baik saja, Caca? Mana cucuku?" tanya Papa Tyo. "Ada, Pah, tidur di kamar, Papa gimana kabarnya?" tanyaku. "Baik, Papa baik, sepertinya kamu yang sedang tidak baik-baik saja," pungkas Papa Tyo. "Pah, apaan sih, kenapa lebay begitu?" cetus Mama Sarah. Seketika aku menoleh ke arahnya, sepertinya Papa belum menegurnya masalah ini. "Sudahlah, Papa ke sini, ngajak kamu ada tujuannya," jawab papa. Tiba-tiba Mas Sandi terkejut, ia mendongak seketika lalu menyorot ke arahku. Kemudian, Mas Sandi berbalik arah ke hadapan papa. Matanya menyipit seraya mem
Papa Tyo sudah bersiap untuk membuktikan bahwa Mas Sandi adalah ayah dari bayi yang dilahirkan oleh Amara. Terlihat sekali wajah Mas Sandi gugup dan terpancar kebohongan di matanya. Tiba-tiba Mama Sarah maju menepis tangan Papa Tyo yang menarik pergelangan tangan Mas Sandi. "Nggak usah ditarik segala, ini anakmu, darah dagingmu, Pah. Anehnya, ada orang tua mati-matian membela menantunya, bukan bela anaknya!" cetus Mama Sarah membuatku menelan saliva. "Sarah, nggak usah nyalahin anak orang segala, Pak Tyo hanya ingin memperlihatkan kebenaran, sebab orang yang tengah berbohong tak mengakuinya," jelas mamaku. "Sudahlah, Sandi, kamu bersedia tes DNA? Jika kamu tidak merasa itu adalah anakmu, pastinya tidak akan takut melakukan tes DNA," terang papa. Kemudian, Mas Sandi bergeming. "Siapa takut, ayo kita ke rumah sakit!" ajak mama. Ia menantang Papa Tyo untuk segera ke rumah sakit, ternyata Mama Sarah benar-benar tidak ingin terus terang pada papa. Untuk apa ia seperti itu? Menutupi a
"Oh jadi kamu ada di sini?" Langkah kaki Ferdi pun mengarah ke Mas Sandi. Kemudian badannya ia belokkan ke arah Amara. "Ini bukankah lelaki itu? Yang di foto itu? Kamu bilang ia tidak bertanggung jawab, makanya minta biayain anaknya yang kamu lahirkan!" sentak Ferdi. Aku terkejut mendengarkan penuturannya, begitu pula dengan Mas Sandi beserta keluarga, ucapan Ferdi amat mencengangkan, Amara bicara seperti itu padanya? Mama Sarah menghampiri Amara, kemudian dengan kedua alis ditautkan, ia pun bicara baik-baik padanya. Aku yang tadinya sudah putus asa kini bangkit kembali rasa percaya diri ini. "Benarkah yang diucapkan mantan suamimu?" tanya Mama Sarah pelan. Mata Amara menyorot ke arahnya lalu mengangguk. "Jadi, sebenarnya sudah terbukti, kan?" tanyaku dengan antusias. "Tanpa kamu sadari, kebohonganmu dibuka oleh mulutmu sendiri barusan!" cetus Papa Tyo. Mama Sarah terdiam, ia keceplosan karena emosi pada Amara. Semua terungkap dari mulutnya sendiri, tanpa kami harus repot-repot
Pov SandiSudah dengan sengaja berbelit-belit dari tuduhan yang Caca lontarkan, tapi ujungnya malah dibuka semua oleh mantan suaminya Amara. Ditambah lagi dengan ucapan mama yang seakan-akan marah bahwa Amara telah membohongi kami. Setelah mereka semua bubar dan menganggap semua selesai, aku yang masih berada di ruangan bersama Amara dan mama, dikejutkan dengan tagihan rumah sakit. Mama yang mendengar bahwa isi ATMku sudah dikuras oleh Caca pun marah. "Sandi! Kamu bodoh sekali jadi orang! Kenapa dipindahkan ke rekening Caca semua?" sentak mama. Aku hanya mampu menelan salivaku. Tak ada yang bisa kutepis dari ucapannya, memang aku bodoh, mudah sekali terpengaruh. "Lalu anak kita bagaimana? Nggak akan bisa dibawa pulang," cetus Amara sembari memegang keningnya. Ia tampak resah sekali, tagihan yang tertera tidak main-main, aku harus cari ke mana uangnya? "Iya, nanti aku carikan," jawabku. Kemudian aku duduk di dekat mama. Lalu aku meneguk air putih yang berada di atas meja. Sambil m
Pov Sandi[Mah, sepertinya aku terhipnotis, sekarang sisa uang di tanganku hanya sisa 10 juta, tolong berikan aku cara lain untuk mendapatkan uang 5 juta lagi.]Aku kirim pesan yang sudah kuketik, tidak butuh waktu lama, mama membalas pesan yang mengejutkan. [Sudah, datang ke sini, orang tuanya Amara ada di sini, ia bersedia membayarnya, tapi dengan syarat kamu ceraikan Amara.]Astaga, cerai? Lalu apa yang kumiliki setelah itu jika keduanya minta cerai? Aku pun bergegas meninggalkan lokasi tempat jual emas. Kemudian melajukan mobil dengan cepat dan emosi. Bukankah mereka kemarin yang menuntutku untuk menikahi anaknya yang tengah hamil? Kenapa sekarang tiba-tiba ia menyuruhku untuk berpisah. Aku emosi dengan pernyataan mama melalui pesan singkat, tak kusangka semua berakhir begitu saja. Tidak ada kebahagiaan di akhirnya. Aku memukul gagang setir hingga berkali-kali, menyesali apa yang telah terjadi. Kenapa? Kenapa begitu cepat ini terjadi? Setibanya di rumah sakit, aku pun bergega
Pov SandiKaca mobilnya dibuka, kemudian terlihat sosok laki-laki yang barusan memberikan klakson untukku. Ternyata Alfa yang datang, kebetulan sekali, akhirnya dia menginjakkan kaki ke rumah ini. Aku sudah geram dengannya, yang selalu ikut campur dengan masalah rumah tangga orang lain. Aku menghampiri mobil honda jazz miliknya. Lelaki inilah yang telah membuat Caca jadi curiga dan akhirnya semuanya terbongkar. Ia pun turun setelah membuka kacamata yang dikenakannya. Aku menghela napas sambil melipatkan kedua tangan ini ke pinggang. Kini kami berdiri sejajar, tingginya tak melebihiku dan tak juga lebih pendek dariku, kami sejajar tapi ia agak sedikit gemuk. "Punya nyali elu ke sini?" sentakku. "Hei, gue cuma bantu bini elu, biar tahu laki-laki yang bersamanya itu tidak hanya tidur dengan dia, lagian Caca cewek baik-baik, terhormat, gue rasa nggak pantes diperlakukan seperti itu. Apalagi elu nikah dengan sahabatnya sendiri," cetus Alfa membuatku geram. Kemudian, aku coba layangk
Pov CacaAku mendapatkan kabar dari tetangga rumah, bahwa ada keributan di depan rumah. Ya, hanya tetangga yang tahu nomor kontakku yang baru, sengaja kusembunyikan dari Mas Sandi, agar ia tahu rasanya kehilangan. "Mbak, ini ada keributan di depan, suami Mbak ngamuk, saya nggak berani mau keluar rumah," ucap tetanggaku dengan suara tersengal-sengal. "Sebentar, Mbak, aku ke depan dulu," jawabku. Aku yang sedang berada di rumah mamaku, dan sedang mengajak Vira dan Yuri bermain, sontak berdiri, kemudian menjauh dari mereka. Untuk bicara serius dengan Mbak Yuni, aku pilih untuk duduk di teras depan. "Maaf, Mbak tadi ada anak-anak, gimana-gimana?" tanyaku lagi. "Itu ada mobil honda jazz di depan rumah, sepertinya ada perkelahian, cepat ke sini, ya, Mbak!" surutnya. "Aku dan Mama segera ke sana, terima kasih, ya, " ujarku. "Baik, Mbak," sahutnya. Aku panggil mama untuk segera ikut denganku, dan meninggalkan Vira dan Yuri pada Mbok Daru. Tidak lama kemudian, melalui telepon, ada ka