Home / Romansa / Suami tanpa Pilihan / Rindu Anindya Hadiwijaya

Share

Rindu Anindya Hadiwijaya

Author: ZEEFANN
last update Last Updated: 2024-08-16 04:54:08

Rindu mengerutkan kening, hatinya mulai membara karena sikap Tristand yang lagi-lagi bertindak semaunya. "Kamu nggak bisa sembarangan masuk ke kamarku begitu saja, Tristand!" sergahnya, suaranya lebih tegas dari sebelumnya, tak lagi peduli pada sikap lembut yang selalu berusaha ia pertahankan di depan orang lain.

Tristand, yang sudah berdiri di tengah kamar, menoleh perlahan. Ekspresinya tenang, namun ada kegelapan di balik tatapan matanya. "Kamarmu?" ia mengulang kata itu seolah-olah mengejek. "Rindu, mulai hari ini ini bukan lagi cuma kamarmu. Ini kamar kita."

Kata-kata itu membuat Rindu mundur selangkah. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya melemah namun masih jelas berisi kemarahan yang tertahan.

Tanpa berkata lebih lanjut, Tristand membuka lemari pakaian Rindu. "Aku tadi menyuruh Tuti untuk memindahkan semua barang-barangku ke sini," jawabnya santai sambil menatap ke dalam lemari. "Orang tuaku akan tinggal beberapa hari, dan kamu tahu betapa tidak mungkin mereka tahu kalau kita tidur di kamar terpisah. Jadi, mulai sekarang kita akan tidur di kamar yang sama."

Rindu menatap pakaian-pakaian Tristand yang sudah memenuhi setengah dari lemarinya. Tangannya mengepal di samping tubuhnya, berusaha menahan diri. "Kamu sama sekali nggak tanya dulu? Kamu pikir kamu bisa atur segalanya begitu saja?"

Tristand mendesah, tampaknya bosan dengan protes Rindu. "Aku tidak butuh persetujuanmu untuk hal seperti ini, Rindu. Ini keputusan yang harus diambil."

"Keputusan yang harus diambil?" Rindu berbalik menghadapi Tristand, matanya kini penuh dengan amarah yang sulit ditahan. "Kamu selalu begitu, kan? Mengambil keputusan tanpa sedikit pun peduli apa yang aku rasakan, apa yang aku inginkan!"

Tristand menatapnya dengan tajam, wajahnya yang tadinya tenang kini mengeras. "Aku melakukan ini untuk kebaikan kita berdua. Kita sudah menikah, Rindu. Kamu harus mulai menerima kenyataan itu. Tidak mungkin aku membiarkan orang tua kita tahu bahwa pernikahan kita belum sepenuhnya berjalan seperti seharusnya."

Rindu tersentak. "Seharusnya?" ia mengulang dengan nada sinis. "Kamu bicara seolah semua ini hanya formalitas. Pernikahan ini bukan sekadar sandiwara, Tristand. Aku juga punya hak atas hidupku!"

Tristand mendekat, wajahnya yang keras bagaikan topeng tak berperasaan. "Hak? Kamu bicara tentang hak setelah semua ini? Kamu tahu betul apa yang sedang kita hadapi. Keluarga kita sedang dalam sorotan. Kamu seharusnya lebih pintar daripada ini."

Rindu merasa darahnya mendidih. "Aku tahu betul apa yang sedang terjadi. Tapi itu bukan berarti kamu bisa mengaturku seenaknya! Kamu nggak punya hak buat masuk ke kamarku tanpa ijin, apalagi menyuruh orang lain memindahkan barang-barangmu tanpa memberitahuku!"

Tristand menatap Rindu dengan dingin, ekspresinya berubah menjadi lebih keras. "Aku tidak akan berdebat denganmu tentang ini, Rindu. Kamu bisa marah, kamu bisa protes, tapi kenyataannya tidak akan berubah. Orang tua kita ada di sini, dan kita akan berperan sebagai suami istri seperti yang mereka harapkan. Tidak ada pilihan lain."

Rindu merasakan amarahnya semakin memuncak, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi merasa takut atau canggung di depan Tristand. "Aku bukan boneka, Tristand," katanya, nadanya rendah namun penuh tekad. "Dan aku nggak akan membiarkan kamu memperlakukanku seperti ini terus-menerus."

Tristand mendekat lebih dekat, hingga jarak mereka hanya beberapa inci. "Kamu bisa terus protes, tapi itu tidak akan mengubah kenyataan, Rindu," bisiknya, suaranya mengandung ancaman yang halus. "Ini adalah rumahku, dan kamu akan ikut aturanku."

Rindu menatapnya balik tanpa gentar, meski hatinya berdetak kencang. "Kamu boleh berpikir kamu bisa mengontrol semuanya, tapi aku akan melawan. Aku nggak akan diam saja."

Tristand tidak berkata apa-apa lagi. Ia menatap Rindu sejenak sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Rindu berdiri di sana, masih bergulat dengan amarah dan rasa frustasinya.

Saat Tristand menghilang dari pandangan, Rindu merasa seolah udara di sekitarnya menebal. Ia tahu ini baru permulaan dari pertarungan yang lebih besar, dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk melawan.

'Baiklah Rindu Anindya Hadiwijaya, sepertinya sekarang kau punya lawan yang seimbang. Tristand kau mungkin seorang Iblis tapi melawanku, bukanlah keputusan yang tepat'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami tanpa Pilihan   Ceraikan aku

    Di suatu malam yang sunyi, di dalam kamar villa mereka, Rindu berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya langit Bali. Hatinya dipenuhi oleh kelelahan yang menumpuk. Rasa kecewa yang tak pernah ia ungkapkan kini mendesak keluar. Sudah terlalu lama ia merasa tidak dipahami. Malam itu, perasaan itu mencapai puncaknya.Tristand sedang duduk di ranjang, sibuk dengan laptopnya, mengetik pesan atau mungkin menyelesaikan beberapa pekerjaan. Rindu menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.“Tristand,” Rindu memulai dengan suara pelan, namun tegas.Tristand mengangkat kepalanya sebentar, lalu kembali ke layar laptopnya. “Ada apa?” jawabnya singkat, seakan tak terlalu tertarik dengan percakapan ini.Rindu menggigit bibirnya, menahan kemarahan yang sudah menumpuk. Dia mengambil napas dalam lagi sebelum mengatakannya. “Aku sudah lelah. Aku ingin kita bercerai.”Tristand langsung menghentikan aktivitasnya. Dia menutup laptopnya dengan suara keras, menatap Rindu den

  • Suami tanpa Pilihan   Kalut

    Rindu dan Mario melangkah kembali ke dalam aula hotel, setelah insiden di luar tadi. Udara dingin dalam ruangan tak bisa menghilangkan kecanggungan yang menyelimuti Rindu. Pikirannya masih melayang-layang pada kejadian yang baru saja terjadi, bagaimana Mario menyelamatkannya dari serangan pria asing itu. Namun, saat mereka masuk ke aula, tatapan tajam yang datang dari kejauhan menyentakkan Rindu dari lamunannya. Tristand berdiri di sana, memandang mereka dengan wajah dingin.Rindu merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mario tampak lebih tenang, namun saat Tristand mulai melangkah mendekat dengan cepat, Rindu bisa merasakan hawa ketegangan yang akan segera meledak."Darimana saja kamu?" Tristand bertanya dingin begitu sampai di depan Rindu, tanpa menunggu jeda.Rindu terkejut dengan nada bicaranya. "Aku—""Dan kenapa kau malah berjalan bersama Mario?" Tristand melanjutkan, suaranya semakin rendah namun penuh dengan kecurigaan.Mario, yang berdiri di samping Rindu, mencoba menjelaskan si

  • Suami tanpa Pilihan   Pria tidak dikenal

    Rindu merasakan hawa panas yang tidak biasa di lorong tempat dia berjalan. Tubuhnya terasa kaku, dan detak jantungnya berdegup semakin cepat. Malam itu, setelah merasa bosan karena Tristand lebih sibuk dengan urusan bisnisnya, Rindu memutuskan untuk mencari udara segar di luar hotel.Dia berjalan keluar sendirian, mengelilingi taman kecil di belakang hotel. Cahaya remang-remang dari lampu taman tidak terlalu membantu menghilangkan rasa gelisah yang tiba-tiba melanda. Suasana sepi, suara dedaunan yang tertiup angin menggores keheningan, membuatnya merasa sedikit tidak nyaman.Kenapa aku ke sini? Seharusnya aku tetap di dalam ruangan, pikirnya sambil memegang erat gaunnya yang tipis. Perasaan takut tiba-tiba menyergapnya, membuat Rindu merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari balik pepohonan.Langkah Rindu melambat saat dia mendengar suara ranting patah di belakangnya. Matanya menajam, mencoba mencari sumber suara. Namun, ketika ia menoleh, tidak ada siapa pun di sana.Mungkin hanya pe

  • Suami tanpa Pilihan   Bertemu kembali

    Rindu akhirnya menyerah pada ketakutannya. Pikirannya masih dilingkupi rasa takut sejak menonton film horor dan mendengar cerita hantu dari Tristand. Villa besar yang tadinya tampak indah kini terasa menyeramkan. Tidak ada pilihan lain, ia memutuskan untuk ikut Tristand ke acara bisnisnya. Daripada harus sendirian di villa, ia lebih baik bosan di acara pertemuan tersebut.Pagi itu, seperti biasa, Tristand membawanya ke sebuah butik mewah untuk makeover. Ia tahu betul bahwa Rindu tidak pernah terlalu peduli dengan penampilan. Sebagai putri kesayangan ayahnya, Pak Surya, Rindu terbiasa dengan kehidupan yang lebih santai dan sederhana. Jiwa bebasnya membuatnya sering kali menolak untuk berdandan, meskipun ia sadar bahwa sebagai istri dari seorang pria sukses seperti Tristand, penampilan sangat penting. Namun, ayahnya tidak pernah memaksanya. Pak Surya membiarkan Rindu menjalani hidup sesuai keinginannya, karena tidak ingin melihat putrinya yang ceria itu tertekan."Kenapa harus ke butik

  • Suami tanpa Pilihan   Jumpa fans

    Pagi itu, Rindu bangun dengan perasaan yang sangat segar. Udara di villa terasa sejuk, dan sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela kamar menambah semangatnya. Hari ini adalah hari pertama ia benar-benar bisa bersantai setelah tiba di Bali. Ia memutuskan untuk menikmati fasilitas villa yang luar biasa lengkap, termasuk gym pribadi yang tersedia di sana. Dengan senyum lebar, Rindu langsung berganti pakaian olahraga dan turun ke ruang fitness.Villa ini benar-benar mewah. Tidak hanya besar dan artistik, tetapi juga dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap—dari kolam rena⁵⁵ merasa betapa beruntungnya ia bisa tinggal di tempat seperti ini, setidaknya untuk seminggu ke depan. Di ruang gym, ia memulai rutinitas olahraga dengan menggunakan treadmill dan beberapa alat lainnya.Setelah selesai, tubuhnya terasa segar dan otot-ototnya lebih rileks. Keringat membasahi tubuhnya, tetapi Rindu senang. Dengan tubuh yang lebih bugar, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil sarapan yang sudah

  • Suami tanpa Pilihan   Otak Bisnis

    Setelah panggilan Whilliam berakhir, suasana di meja makan menjadi sunyi. Tristand tetap tenang, mengunyah makanannya, sementara Rindu merasa sedikit canggung. Permintaan ayah mertuanya tentang cucu perempuan masih terngiang di telinganya, menciptakan perasaan aneh di antara mereka.Rindu memainkan garpunya, menatap piring tanpa nafsu makan. Dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya dipikirkan Tristand tentang permintaan itu. Namun, seperti biasa, ia terlalu enggan untuk bertanya. Tristand, di sisi lain, tampak tidak terlalu memikirkan hal itu, seolah-olah percakapan tadi hanyalah hal kecil yang tak penting.Di tengah keheningan itu, Tristand tiba-tiba berbicara dengan nada datar. "Besok aku akan menghadiri pertemuan. Kau mau ikut atau tidak?"Rindu mendongak, terkejut dengan pertanyaan itu. "Pertemuan?" ulangnya, ingin memastikan ia tidak salah dengar."Iya, pertemuan bisnis," jawab Tristand sambil menyuap nasi goreng, masih tanpa menatap Rindu. "Kau pikir kita di sini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status