"Sari tolong ini setrikakan baju ini ya, mau dipakai arisan nanti siang jam tiga," kata Ibu sambil meletakan gamis di kursi dapur. "Iya Bu, nanti Sari selesaikan masak dulu," jawabku. Setelah selesai masak dan semua makanan siap di meja makan, aku ambil gamis yang Ibu kasih tadi untuk disetrika. Ketika ku bentangkan di meja setrika. "Kok ini seperti punya Nisa, mungkin mereka memang punya sama'an," pikirku. Setelah selesai setrika langsung ku menuju kamar Ibu mengantarkan bajunya. "Benar kan Bu Nisa bilang, bakal ada untungnya kalau mereka tinggal di sini,” ucap Nisa begitu semangat. “Kita cuma keluar modal buat makanan mereka dikit dan kita gak perlu lagi bayar pembantu buat urus rumah," lanjutnya. "Ya idemu memang cemerlang Nis," jawab Ibu. "Mas Bayu jadi bisa fokus ngurus toko di pusat kota,yang di sini ada mas Bagas yang bantuin kalo butuh tenaga buat angkat yang berat-berat," lanjut Nisa. "Tapi kasihan Bagas, Nis kalau terlalu berat gitu kerjanya," ucap Ibu. "
Kalau Bayu yang berlaku buruk pada mas Bagas mungkin wajar karena mereka hanya ipar. Tapi Anisa,bagaimana bisa tega dia berbuat seperti itu pada mas Bagas.Padahal selama aku kenal mas Bagas, mas Bagas adalah kakak yang baik dan selalu memberikan apapun permintaan Nisa. “Mana hpnya Dek?” ucap mas Bagas mengagetkanku. “Sejak kapan Mas di sini?” tanyaku kaget. “Kamu di minta ambilin HP malah matung di sini,” ucap mas Bagas sambil nyengir. “Iya maaf Mas,Adek anu.. “Aduh aku bingung harus jawab apa ya Allah. “Ya udah Adek samperin Rafif aja tuh, kayaknya udah bangun, manggil tadi,” ucap mas Bagas sambil masuk warung. “Iya Mas Adek masuk sekarang,” ucapku langsung buru-buru masuk rumah. "Sepertinya salah jika Aku berfikir tinggal di sini untuk berbakti pada suami dan orang tua, suamiku semakin susah jika kami terus di sini," batinku. Tapi bagaimana cara menyampaikan pada mas Bagas. Esok harinya. Hari ini Ibu mengeluh sakit kepala,aku ke kamarnya membawakan teh hangat dan bubur.
"Dek,, Ibu kan sedang sakit, jadi kita ngalah dulu ya, biarlah Ibu bicara apa, kita iyakan saja," ucap mas Bagas ketika kami sudah di kamar. Aku hanya menganggukan kepala, bingung mau jawab apa. Niat hati ingin mengajak mas Bagas pindah dari rumah Ibu, malah semakin susah karena Ibu sakit. "Adek sudah berusaha melakukan yang terbaik yang adek bisa Mas, tapi kenyataanya tidak semua orang bisa menerimanya dengan baik," kataku ragu.“Mas bisa lihat itu semua, karena itu mas sampaikan hal itu tadi,” ucap mas Bagas seraya menunjukan senyum terbaiknya. “ya udah mas kembali ke warung ya, banyak yang harus di bereskan di warung,” ucap mas Bagas sambil melangkah keluar kamar. "Mas,, kalau bantu-bantu di warung di kasih upah berapa?" tanyaku ragu. Mas Bagas menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ku. Mas Bagas tampak berfikir."Mas cuma melakukan hal kecil Dek, cuma sebatas bantu yang mas bisa, belum bisa jadi karyawan beneran," jawab mas Bagas pun ragu. Melihat keraguan mas Bagas
"Ibu coba lihat dari kedua sisi, apa yang buat Nisa marah, siapa yang sebenarnya salah," ujar mas Bagas. "Ternyata benar kata Nisa ya,Sari memang membawa pengaruh buruk untuk kamu Gas," ucap Ibu. "Justru Bagas menjadi jauh lebih baik setelah bersama Sari Bu,” bela mas Bagas. “Bagas mulai mementingkan sholat, dulu Ibu bahkan gak pernah tegur Bagas untuk sholat," ucap mas Bagas terus membela diri. "Nah ini ni, sekarang kamu bukan cuma membangkang tapi juga menyalah-nyalahkan Ibu,kamu mau bilang Ibu itu orang tua yang buruk begitu," ucap Ibu emosi. "Apa saja yang Nisa bilang sama Ibu, sampai Ibu menajadi seperti Ini," tanya mas Bagas mulai tak sabar. "Mas gak usah nyalahin Nisa atas kesalahan istri Mas, Ibu cukup bisa melihat siapa yang salah siapa yang benar Mas," ucap Nisa tiba-tiba dari arah pintu. Mas Bagas yang sudah tidak sabar akhirnya keluar dari kamar Ibu tanpa berkata apa-apa lagi.“Lihat Bu, bahkan sekarang mas Bagas gak menghargai Ibu sama sekali, orang belum selesai b
Seperti biasa kegiatanku setiap pagi nyuci pakaian orang serumah, masak, bersih - bersih. Mas Bagas pun membuka warung dan menata barang-barang di rak dan etalase, tak sampai di situ menyapu lantai warung pun mas Bagas lakukan. "Dek sarapan dulu." Mas Bagas mendekat ke tempatku menjemur sambil membawa piring berisi nasi dan lauk. "Kenapa makan di sini Mas?" tanyaku sambil menggantung pakaian di jemuran. "Ayo makan dulu, dari kemarin makanmu gak teratur, jangan- jangan dari kemarin kamu gak pernah sarapan ya?" tanyanya sambil hendak menyuapiku. Aku membuka mulutku menerima suapannya seraya menggeleng dan tersenyum."Mas gak usah berlebihan,tiap hari adek makan kok," kataku sambil meraih piring dari tangan mas Bagas. "Mas udah makan?" tanyaku sambil membawa piring nasi ke tempat duduk. "Mas pengin makan sepiring berdua sama Adek," katanya sambil tersenyum dan mengikutiku duduk. "Gak ah, males nanti gak kenyang," ujarku sambil menggelengkan kepala. "Ooh gitu, ya udah mas ke dep
"Hari ini mas kerja di proyek bangunan rumah sakit, bayarannya harian jadi lumayan buat beli makanan," ucap mas Bagas bersemangat. "Adit mana, panggil ajak makan sekalian, makan di kamar aja biar gak bikin ribut," ucapnya lagi. "Aditkan biasa jam segini ngaji di masjid Mas," jawabku. "Ya udah mas mandi dulu,kamu siapin dulu makanannya," ucap mas Bagas sambil menyambar handuk ke luar kamar. Waktu aku keluar kamar ku dengar Ibu memanggil.Jadi ku putuskan untuk menengok Ibu di kamarnya. Meski kata-kata Ibu menyakitkan tapi kadang aku merasa Ibu menyayangiku, entahlah, yang jelas aku tak tega membiarkan Ibu. "Iya Bu, Ibu butuh sesuatu?" tanyaku seraya mendekat ke ranjang Ibu. "Badan Ibu terasa dingin tolong buatkan Ibu minuman jahe ya Sar," ucap Ibu sambil mengusap-usap lengannya. "Iya Bu tunggu sebentar Sari buatkan," ucapku sambil bangun dari duduk. Aku ke dapur dan menyiapkan minuman jahe. Ketika sedang merebus bahan-bahannya, terdengar tangisan Rafif. Aku langsung mematikan
"Sudah tidur Dek?" ucap mas Bagas membangunkanku. "Eh, Mas udah pulang, gimana Mas?" tanyaku sambil bangun dan memposisikan untuk duduk. "Alhamdulillah... ada, yang ini agak murah gak sampai 10 juta setahun," ucap mas Bagas antusias. "Di mana Mas? Kok bisa lebih murah?" tanyaku tak sabar. "Dekat proyek bangunan tempat mas kerja tadi siang, dikasih tau sama yang ngajakin mas kerja," jelas mas Bagas. "Jadi rumah itu sudah agak lama kosong karena yang ambil perumahan itu pindah entah ke mana dan kreditnya juga berhenti," lanjutnya. "Mungkin kita perlu tenaga ekstra buat membersihkannya, karena penjaga rumahnya cuma nyalain lampu teras ketika sore dan matiin di pagi harinya," kata mas Bagas menjelaskan. "Siap Mas, gak masalah cuma buat bersih-bersih si udah biasa," ucapku sambil mensejajarkan telapak tanganku di pelipis. "Kalo gitu kita bayar sewanya ke siapa Mas?" tanyaku bingung. "Ke bagian pemasaran, jadi rumah itu sebelahan sama rumah teman yang ngasih kerjaan di proyek bangu
Di pagi hari seperti biasa mas Bagas membuka warung Nisa membereskan rak dan etalase kemudian menyapu dan mengepel lantainya. Akupun sibuk masak untuk sarapan kemudian mencuci dan bersih - bersih rumah, setelah dirasa semua tugas sudah beres mas Bagas menghubungi mobil pick up. "Nisa itu ada mobil pick up di luar, kok kosong emang mau ngangkut apa?" tanya Ibu dari arah depan. "Nisa gak panggil mobil pick up Bu," jawab Nisa dari meja makan. "Lha itu ngapain mobil berhenti di luar atau salah alamat mungkin, coba tanyain sana!" perintah Ibu pada Nisa. Aku dan mas Bagas masih sibuk di kamar. Nisa ke depan menemui pak sopir. "Pak cari siapa?" tanya Nisa pada pak sopir. "Pak Bagas mbak, sudah siap belum?" tanya pak sopir. "Siap apanya, mas Bagas yang pesan mobil pak?" tanya Nisa lagi. "Iya Nis, mas yang pesen," ucap mas Bagas yang baru saja keluar. "Tolong pak bantuin saya angkat barang," ucap mas Bagas pada pak sopir dengan sopan. "Ada apa ini Gas,kenapa kamu bawa barang-baran