Hening dan tak ada jawaban kuterima, Mas Burhan mendadak memejamkan matanya begitu kutanya demikian. Rupanya dia ingin menghindar dari pertanyaanku itu.*“Katanya sudah bersih, tidak ada gangguan lagi. Nanti kita pakai untuk nyimpan peralatan dapur yang sudah numpuk di lemari piring aja.”Pagi hari aku ngobrol dengan ibu mertua di dapur sambil mencuci piring. Aku menyampaikan kembali apa yang disampaikan Mas Burhan tadi malam tentang kamar keramat yang sudah bersih itu.“Bagus lah, suka-suka dia mau ngomong apa,” responnya. Ibu mertua tengah mengiris bawang untuk masak pagi ini. “Nanti kita pakai lemari plastik yang nganggur di gudang aja untuk tempat nyimpan perabotnya. Ibu juga sekalian lagi pesan rak bumbu via online, harganya lebih murah ketimbang beli di toko. Lihat tuh, garam dan gula cuma kamu taruh begitu aja di plastiknya, enggak rapi.”Aku memang tidak suka yang terlalu mengoleksi banyak barang, bagiku cukup membeli barang yang dibutuhkan saja. Berbeda dengan ibu mertua, di
Mas Burhan langsung menarik tanganku, mencari tempat berteduh.Lagi-lagi, pertanyaanku tak mendapat jawaban. Jika bukan Mas Burhan yang menghindar, pasti alam semesta seakan tak mendukung.Akhirnya kami berteduh di depan sebuah toko yang tutup. Kutunggu barangkali Mas Burhan akan menjawab pertanyaanku namun rupanya dia malah memperhatikan sepasang suami istri yang tengah jalan kaki berdua di bawah rintik hujan sambil membawa gerobak sampah. Suaminya berjalan di depan menarik gerobak, istrinya di belakang membantu mendorong gerobak. Sepertinya mereka seorang pemulung.Mas Burhan kelihatannya sangat tertarik dengan pasangan suami-istri itu.“Mereka sangat bahagia,” gumamnya.“Kata siapa, Mas? Kita gak tahu yang sebenarnya,” responku.“Jangan salah, orang yang hidup sederhana seperti mereka ... juga bisa berbahagia sama dengan yang hidupnya penuh kemewahan. Lihat saja, mereka kompak saling mengisi satu sama lain.”“Tapi, aku lihat orang yang bergelimang kemewahan pun bahagia, Mas. Aku da
Cepat aku menghampiri mereka, sedangkan Mas Burhan masuk rumah lewat pintu belakang yang terhubung langsung ke dapur. Katanya risih kalau lewat pintu depan, ada lawan jenis yang tidak dikenalinya dan dia merasa tidak perlu bertemu.“Ada apa, Bu?” tanyaku begitu sampai di antara ibu mertua dan tamu perempuan yang tak kukenal siapa.Perempuan itu malah langsung pamit pulang begitu aku sampai. Sementara ibu mertua menunjukkan rasa tak nyaman, dia belum juga mau menjawab pertanyaanku dan malah menyuruhku cepat masuk ke rumah sambil tergesa.Ibu langsung mendorong tubuhku ke kamarnya, antara cemas dan panik itulah ekspresinya sedari tadi. “Burhan mana?” katanya.“Tadi dia masuk lewat pintu belakang,” jawabku sambil menaruh barang belanjaan di kasur. “Ada apa sih ini?”“Itu barusan dari orang pesisir—“Jawaban ibu mertua terpotong karena ada lagi tamu yang mengetuk pintu rumah. Sengaja kami mendiamkannya beberapa saat untuk memastikan apakah ketukan pintu itu berasal dari depan rumahku atau
“Enggak, Lita. Perempuan itu bilang jasad mereka sudah ditemukan. Ibu dengar, kok,” tegas ibu mertua.Mendadak suasana menjadi genting. Aku pun tidak bisa berpikir dengan jernih.“Kalau itu benar, terus yang tidur denganku beberapa malam ini siapa, Bu?”Tangisku pecah mengingat bagaimana rasanya tidur dengan sosok lain yang menyerupai suamiku. Seandainya kabar itu benar, jantungku pasti copot betulan.Kujatuhkan diri ke lantai, menggeser posisi duduk dekat dinding kamar lalu bersandar. Napas ini begitu terasa panas saat diembuskan, terlalu syok dan takut hingga dadaku sesak dan jantung pun amat kencang berdetak. Hal serupa dilakukan ibu mertua, bahkan dia tak hanya memikirkan Mas Burhan tapi juga pasti memikirkan anaknya yang lain. Dapat kumengerti betapa mumet dan kacaunya pikiran ibu mertua saat ini.“Lita, apa yang harus kita lakukan dengan kabar ini?” tanya ibu mertua pasrah, kami memang pasrah karena situasi ini sungguh mengejutkan.“Bu, aku tidak bisa berpikir. Tapi kalau memang
“Baik, Pak. Saya sangat berterimakasih sekali kalau Bapak mau mengantar,” ucapku. “Dan ada satu hal lagi yang membuat saya kepikiran serta tidak tenang. Saya harus bagaimana bersikap ke Mas Burhan yang sekarang ada di rumah? Menurut Bapak, siapa dia sebenarnya? Saya dan ibu mertua ketakutan di rumah, Pak.”“Untuk sementara, bersikap seperti biasanya saja. Jangan sampai dia mendengar kabar tentang jasad itu sampai semuanya jelas. Sosok yang ada di rumahmu itu, bisa jadi dia benar Burhan ... juga bisa jadi bukan. Dia bisa jadi sosok yang baik atau jahat ... kita tidak akan pernah tahu sebelum menyelidiki. Makanya, saya akan ajak adik saya yang indigo juga biar lebih mudah kita mencari tahu.”Beruntunglah keputusanku meminta bantuan Pak RT membuahkan hasil. Kuharap, hidupku akan kembali normal setelah mendapat kejelasan dari masalah ini.Syifa mulai rewel, aku pun pamit pulang karena bayiku ini minta asi.*Aku masuk lewat pintu belakang, ada ibu mertua yang sedang menungguku sambil dudu
Tubuhku langsung menggigil. Tak kusangka perempuan yang kemarin kuhampiri itu adalah hantunya Risma, pantas saja dia langsung pergi begitu aku mendekatinya. Perempuan yang telah berhasil mengambil hati Mas Burhan dan berkhianat padaku itu pada kenyataannya sudah meninggal. Dan yang lebih membuatku mengigil adalah Mang Dasa, rupanya dia pun hantu. Aku tidak dapat percaya barusan berjalan dan bertatap muka langsung dengan hantu! Sekujur tubuhku mengigil kedinginan saking takutnya.“Lihat!” Dimas mendekat ke tempat ikat rambut Risma tergeletak dan memungut barang tersebut. “Ini ikat rambut Risma dan itu sandalnya yang sebelah kanan. Aku dapat merasakan energinya dan energi itu langsung menjadi gambaran dalam penglihatanku. Ya, tidak salah lagi ini adalah barang-barang miliknya. Risma bertubuh tinggi langsing seperti Luna Maya, rambutnya lurus panjang sepinggang berwarna hitam, kulitnya putih langsat. Risma adalah perempuan yang cantik secara fisik, tapi dia licik kalau punya keinginan
“Tapi aku takut, Dimas,” tolakku.“Mbak Lita mau tidak mau harus bersedia. Risma ingin menyampaikan sesuatu, tapi aku juga tidak tahu apa, hanya saja dengan begitu kemungkinan nanti arwahnya tidak akan penasaran lagi dan tidak akan mengganggu kalian lagi.” Dimas tetap ‘membuka pintu’ di kedua mataku agar nanti Risma bisa menyampaikan pesannya lewat mimpi. “Gimana kalau Risma berniat jahat dengan masuk ke dalam mimpiku? Dia kan menganggapku saingan karena aku istrinya Mas Burhan.” Aku masih ragu-ragu.“Berdoa dulu sebelum tidur, jadi Mbak Lita tetap minta perlindungan Tuhan. Insyaalloh Risma tidak akan sampai mencelakai Mbak, dia hanya ingin menyampaikan pesan namun entah pesan baik atau sebaliknya,” jawab Dimas meyakinkanku.Kak Titi yang terlihat sudah kecapean, ketakutan, dan ingin cepat masuk rumah mendesakku agar terima saja apa yang dikatakan Dimas. “Siapa tahu Risma mau ngasih tahu Burhan masih hidup atau enggak. Udah, kamu jangan banyak cincong lagi, terima aja!” katanya.“Iy
“Ahkk—" Napasku tersengal karena cekikan Risma begitu kuat. Aku juga tidak bisa melawan karena semua anggota tubuhku tidak bisa leluasa bergerak. Rasanya nyawaku sudah berada di ujung tenggorokan.Saat aku hampir menyerah dan sudah pasrah, Risma melepaskan cekikan tangannya. Saat itu juga aku merasa lega dan dapat bernapas kembali.“Apa maumu?” Akhirnya aku bisa bicara dan bertanya padanya.“Lepaskan Burhan!”“Dia suamiku, tidak akan kulepaskan,” jawabku. Meski sebenarnya aku tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Risma namun entah mengapa jawaban itu yang kuberikan padanya. Risma mendekatkan wajahnya, aku sangat ketakutan dengan wajah seramnya yang hanya berjarak satu jengkal denganku. “Mas Burhan hampir saja menjadi suamiku seandainya hari itu kami tidak tenggelam. Gara-gara kamu, perahu yang kami tumpangi jadi terbalik dan akhirnya kami tidak pernah sampai ke pulau seberang—tempat dimana aku akan menikah dengan Mas Burhan dan melanjutkan hidup. Sial, lidahmu begitu pahit hingga s