Share

Sakti

“Kamu lupa itu kamar apa, Mas?” Aku balik bertanya sambil ketakutan.

Mas Burhan menggelengkan kepalanya, terlihat dia keheranan. “Aku baru lihat ada kamar ini di rumah. Aneh, kamar kok kecil begini hanya cukup dimasuki satu orang. Apa fungsinya?”

“Kamar itu sudah ada sejak rumah ini dibangun, Mas ....”

Bingung menjelaskan, aku memilih pamit tidur dan membiarkan Mas Burhan dengan pertanyaannya sendiri.

*

Aku bangun kesiangan pagi ini, jam enam. Biasanya sebelum subuh aku sudah bangun. Namun karena malam tadi menemani Mas Burhan menghitung uang dan Syifa anteng terus sampai jam sebelas malam, akhirnya aku baru sempat tidur tengah malam dan baru bangun sekarang. Ditambah lagi, rasa penasaranku akan Mas Burhan yang bertanya tentang kamar pribadinya membuatku semakin sulit memejamkan mata.

Setelah salat subuh yang kesiangan, aku langsung menuju ruang tengah karena mendengar suara ibu mertua bercakap dengan Mas Burhan. Ternyata mereka sedang mengerumuni Syifa—bayiku.

“Syifa sayang ... ayo nangis, Nak ....” Dengan cemas ibu mertua menyuruh bayiku menangis. Aku jadi was-was.

“Ada apa ini, Bu? Syifa kenapa?” tanyaku.

“Badan Syifa panas sekali, tapi dia hanya anteng aja. Gak wajar, harusnya kalau sakit panas dia nangis, rewel,” jawab ibu mertua. “Anak kecil dimana-mana begitu kalau sakit, apalagi ini bayi.”

“Ya ampun, padahal semalam dia baik-baik aja,” kataku sambil memegangi kening Syifa dan benar saja suhu badannya sangat panas namun Syifa seakan tidak merasa apa-apa. “Kenapa gak bangunin aku dari tadi?”

“Tadi aku sudah bangunin kamu, sayang. Tapi kamu gak bangun-bangun. Kasihan, kupikir kamu kecapean tapi malah bangunnya kesiangan.” Mas Burhan yang menjawab, dia tampak tenang sambil coba membawa Syifa dari gendongan ibu mertua namun ibu mertua menolaknya.

“Jangan!” kata ibu mertua, menjauhkan Syifa dari jangkauan Mas Burhan.

“Ibu dari tadi jauhin Syifa dari aku terus. Sini biar aku gendong, Bu,” balas Mas Burhan.

“Nggak, nggak boleh!” Ibu mertua tetap tidak memperbolehkan.

“Dia anakku, Bu. Aku ini ayahnya, kenapa gak boleh segala?” Mas Burhan pun ngotot.

Ternyata sejak tadi mereka meributkan ini, pantas saja suaranya terdengar sampai ke kamar salat.

Ibu mertua terlihat ketakutan pada Mas Burhan, meski sebisa mungkin tak ditunjukkannya di hadapan anaknya itu namun aku dapat melihat dengan jelas. Rupanya, ketakutan ibu mertua pada Mas Burhan belum juga reda, padahal sudah satu minggu lebih mereka tinggal satu atap.

Kata orang, firasat seorang ibu tidak pernah salah. Ibu mertua berfirasat bahwa Mas Burhan bukan anaknya yang asli, mungkinkah itu benar?

Sedangkan firasatku mengatakan bahwa itu adalah Mas Burhan yang asli ... meski keyakinanku hanya delapan puluh persen karena masih banyak kejanggalan yang belum terpecahkan.

Jadi, firasat siapa yang lebih kuat terhadap Mas Burhan, firasat ibunya atau istrinya?

Mereka masih ‘memperebutkan’ Syifa dan karena aku khawatir bayiku jatuh karena terus-terusan diperebutkan, akhirnya aku melerai mereka.

“Bu, gak apa-apa kasih aja Syifa ke ayahnya,” kataku.

Ibu mertua malah melotot seakan berbicara “gak rela cucuku digendong hantu”.

“Gak apa-apa, Bu,” bujukku namun ibu tetap menolak. Dia memang paling teguh dengan pendiriannya.

Mas Burhan tetap memaksa, namun kali ini dia tidak minta menggendong Syifa , dia hanya minta Syifa didekatkan padanya lalu tangan kanannya menyentuh kening Syifa. Setelah itu, Syifa langsung tidur nyenyak seketika.

Setelah memastikan anaknya tidur, Mas Burhan pamit mandi karena sebentar lagi harus berangkat keliling jualan pentol ojeg.

Ibu mertua tampak mengecek suhu badan Syifa dengan punggung tangannya dan dia langsung terkejut sambil berbisik, “Lita! Cucuku mendadak sembuh. Coba cek suhu badannya, mendadak turun dan normal!”

Aku yang tidak percaya langsung membuktikannya. Benar saja yang dikatakan ibu mertua, suhu badan Syifa kembali normal dan dia pun tidur dengan nyenyak.

Dan itu terjadi setelah tangan kanan Mas Burhan menyentuh kening Syifa! Berarti ... Mas Burhan ajaib!

Aku dan ibu mertua saling pandang. Kami mengerti isi pikiran masing-masing. Mas Burhan bisa mengobati orang sakit? Dia manusia sakti?

“Nggak, nggak ... pasti ini cuma kebetulan aja, Bu!” kataku.

“Sudah berapa kali ibu bilang, suami kamu bukan manusia! Dia hantu, dia bukan Burhan!” Lagi-lagi itu yang ibu ucapkan.

Namun kali ini aku diam. Memperhatikan dari berbagai kejanggalan yang terjadi sejak kepulangannya, keyakinanku akan Mas Burhan jadi menipis. Apalagi yang terjadi barusan sangat di luar nalar. Hanya saja, aku tidak bisa berbuat apa-apa, tidak tahu apa yang harus kulakukan selain menerima kehadiran Mas Burhan di rumah ini. Masa aku harus mengusirnya tanpa alasan yang masuk akal?

Aku pun menceritakan pada ibu mertua tentang Mas Burhan menanyakan ‘kamar keramat’ tadi malam. Dan itu semakin menguatkan dugaannya bahwa Mas Burhan adalah sosok yang lain.

“Kamu ingat gak, dulu Burhan sampai berani mengatai ibu nama binatang haram alias anj*ng hanya gara-gara ibu berani menyentuh gagang pintu kamar itu, padahal ibu hanya ingin ngecek pintunya longgar atau tidak ... bukan mau masuk ke dalamnya. Tapi reaksi Burhan malah kelewat batas sama ibu kandungnya sendiri!” kenang ibu mertua penuh luka. “Masa iya dia lupa sekarang lupa pada kamar keramatnya!”

“Iya, Bu. Aku takut banget semalam ....”

“Ada yang gak beres ini. Ibu akan cari tahu dari mana asal-usul Burhan yang sekarang berasal, kok bisa dia tiba di rumah ini.”

“Tapi bagaimana caranya, Bu?”

“Kita tanya sama Bi Juminah. Dia kan punya warung nasi di depan gang sana, dan tiap hari buka. Terus, satu-satunya jalan menuju ke rumah ini dari jalan raya ya lewat gang depan itu. Jadi, Bi Jum pasti tau siapa aja yang masuk gang tiap hari. Nah, kita selidiki dari sana ... Kan baru seminggu-an lalu Burhan pulang, dia pasti lewat warungnya Bi Jum ...” jelas ibu mertua.

“Terus?”

“Kita tanya Bi Jum hari itu lihat Burhan lewat gang, gak? Kalau dia gak lihat, berarti besar kemungkinan Burhan memang hantu ... dia tiba-tiba muncul depan pintu rumah lalu masuk.”

“Kalau Mas Burhan lewat sana, berarti dia benar manusia? Bagaimana?” tanyaku lagi.

“Kalau jawabannya begitu, kita selidiki lagi. Kita telusuri sampai ke jalan raya kita tanya orang-orang sekitar sana .... “

Aku berpikir ide ibu mertua boleh juga. Dengan menelusuri asal-usul kedatangan Mas Burhan, setidaknya kami akan dapat sedikit titik terang. Karena waktu itu Mas Burhan benar-benar datang seorang diri dan tiba-tiba, tanpa ditemani siapapun.

“Bagus juga idenya, Bu! Lalu, kapan ibu akan menelusurinya?” tanyaku lagi, antusias.

“Lho! Kok ibu, sih? Ya kamu dong yang keluar sana, selidiki ... cari tahu. Masa ibu yang mikirin idenya, ibu juga yang harus bergerak .... “ jawabnya.

“Tapi, Bu .... Masalahnya, Mas Burhan melarangku keluar rumah ....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status