Akankah Reinan akan datang dan menolong Esme? Komen yuk, dan jangan lupa dukung novel ini dengan memberikan gems dan like sebanyak mungkin.
Di dapur, tiga gadis sibuk berkutat dengan seember besar udang segar yang baru saja dicuci bersih. Udang-udang itu menggunung, ekornya yang masih utuh menjuntai seakan menantang orang yang hendak mengupasnya satu per satu.Esme, Sela, dan Seli duduk berjejer, tangan mereka bergerak cepat, berusaha mengupas kulit udang yang keras dan tajam. Seli mendesah panjang, lalu mengangkat tangannya yang memerah.“Aduh, jariku mulai pedih. Ini baru sepuluh, padahal isinya masih banyak,” gerutunya dengan suara manja.“Jangan banyak mengeluh,” potong Yola dari meja seberang. Matanya yang bulat tampak berair akibat bawang yang sedang ia iris halus.“Kalau kau lambat, nanti aku juga yang harus mengupas bawang dan udang. Mau mataku buta sekalian?”Seli meringis. “Ya sudah, Bibi. Aku bantu kupas bawang saja.”Sementara itu, Esme tetap tekun bekerja. Tangannya bergerak cekatan, mengupas satu demi satu udang tanpa mengeluh sedikit pun. Kulit-kulit udang menggunung di hadapannya, hampir menyamai jumlah ya
Setelah bayangan Nelson lenyap di ambang pintu paviliun, Reinan memalingkan wajah pada Esme dengan sorot bersiteguh. Ia menggenggam telapak tangan kanan sang istri, seolah ingin menegaskan sesuatu. “Janji padaku,” bisiknya lirih, “kamu nggak akan bekerja di perusahaan. Kalau kamu bosan di rumah, lebih baik bekerja saja di restoran. Aku akan ikut. Di perusahaan itu… hanya membuat kepala pusing.”Esme menunduk, merasakan hatinya tersentuh oleh kejujuran Reinan yang selalu meyakinkan. “Aku nggak akan bekerja di sana, Rein. Jangan khawatir.”Seakan lega, Reinan menarik napas panjang, kemudian menoleh pada Kailash yang berdiri tegak di dekat pintu. “Paman, bawakan tasku yang ada lego dan buku gambar. Aku mau membawanya.”Kailash mengangguk patuh. “Baik, Tuan Muda.”Tak lama berselang, mereka berjalan bersama menuju mobil yang sudah menanti. Esme menggenggam tas bekal, sementara Kailash menyodorkan tas besar berisi mainan kepada sopir.Namun, Esme mengerutkan dahi saat menyadari pria itu
Walau Esme masih terhipnotis oleh penampilan Reinan yang memukau, ia berhasil menarik diri dari pusaran kekaguman. Gadis itu segera tersadar kala Reinan menoleh, menatapnya dengan binar polos.“Apa kamu suka bajuku hari ini? Dan model rambutku? Aku tampan, kan?”Nada suara Reinan terdengar ringan, tetapi ada kesungguhan yang menyusup di balik senyum cerianya. “I-iya, kamu tampan,” jawab Esme sedikit gugup.Mendengar pujian dari sang istri, Reinan tampak puas. “Ini idenya Paman Kailash. Katanya, aku harus pakai baju yang rapi saat bertemu dengan temanmu.”Setelah berkata demikian, Reinan menunduk dan menatap layar ponselnya, pura-pura sibuk bermain game. Namun, Esme tahu betul, suaminya itu masih saja menyimpan cemburu pada Fabian.Tanpa sadar, senyum merekah di bibir Esme. Entah mengapa, sisi manja sang suami justru membuat Esme merasa hangat.Ia duduk bersisian dengan Reinan, dan melayani semua keperluan suaminya itu dengan sabar.Mereka menikmati pagi dalam kebersamaan yang sederha
Wina meneliti liontin emas berbentuk kunci itu sekali lagi. Matanya menyapu setiap detail ukiran halus berbentuk huruf G. Ada sesuatu yang ganjil, yang menusuk rasa ingin tahunya lebih dalam daripada sekadar godaan menjual benda tersebut.Bagaimana mungkin Esme, gadis tuli yang harus jungkir balik membiayai pengobatan ibunya yang renta, bisa memiliki barang semahal ini? Mungkinkah dia mencuri dari rumah orang kaya? Atau menemukannya tercecer di jalanan? Entahlah. Namun di mata Wina, segala kemungkinan itu tetap merujuk pada satu hal: Esme tak pantas memilikinya.Dengan gerakan pelan, Wina menempelkan liontin itu di lekuk lehernya, walau belum berkalung rantai. Dari pantulan cermin, kilau emas murni yang menempel di kulitnya tampak memancarkan aura elegan. Seolah menegaskan dirinya memang dilahirkan untuk hal-hal indah.Mungkin lebih bijak memastikan nilainya sebelum gegabah menjual. Setidaknya, ia akan tahu seberapa besar kemewahan yang pernah tersembunyi di tangan Esme.Tanpa membua
Sepasang mata Reinan bagaikan cermin yang memantulkan kebimbangan di hati Esme. Alis pria itu merapat, pertanda ia masih menanti jawaban yang tak kunjung keluar.Dalam hati, Esme membatin dengan getir. Jika Reinan tahu betapa kelam masa lalunya, apakah dia masih akan menatapnya seperti itu? Apakah mata yang indah tersebut akan berubah menjadi kecewa?Sambil menahan gejolak di dada, Esme akhirnya membuka suara, “Kak Fabian adalah dokter yang menangani Mama di rumah sakit.”Reinan mendengus kecil, lalu tangannya terulur menggaruk kepalanya yang jelas tak gatal sama sekali. “Kalau dokter, kenapa panggilnya ‘Kak’, bukan ‘Pak Dokter’?” tanyanya, dengan nada datar yang membuat Esme justru semakin merasa bersalah.“Karena aku dan Kak Fabian sudah saling mengenal sejak lama. Dulu rumah kami bertetangga. Dia adalah teman masa kecilku,” jelas Esme hati-hati, takut Reinan semakin salah paham.Reinan tampak diam sejenak, seakan mencerna penjelasan itu. Namun, tatapan matanya tak juga melembut. S
Di tengah taman yang diselimuti kabut putih, Esme melihat ibunya sedang berdiri. Wajah lembut itu memandangnya penuh kerinduan. Bibirnya yang pucat bergetar memanggil tanpa suara.Tangan sang ibu terulur pelan, membawa setangkai mawar putih yang menjadi penawar duka. Namun, saat Esme hendak mendekat, ibunya melangkah mundur. Seorang pria dengan wajah samar menarik lengan ibunya dari belakang. Menyeret sosok rapuh itu menjauh ke dalam gelap yang pekat. Esme berlari, ingin meraih tangan yang selama ini selalu mendekapnya penuh kasih sayang. Akan tetapi, sepasang lengan lain mencengkeram tubuhnya dari belakang. Erat. Tak terelakkan. Ketakutan langsung membekukan nadi Esme kala pria asing itu merengkuh pinggangnya. Dengan suara bariton yang serak, ia berbisik. “Akhirnya, aku menemukanmu… Kamu sudah pernah menjadi milikku, dan mulai sekarang, aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi.”Tubuh Esme menggigil hebat, seakan seluruh raganya hendak runtuh. Ia meronta dengan panik, berusaha me