Esme melangkah cepat menuju paviliun, napasnya terengah seiring langkah yang tergesa. Hanya satu hal memenuhi kepalanya: ia harus segera menyelesaikan urusan ini, agar Reinan bisa meminum teh herbal malam nanti.
Di belakangnya, pelayan yang diperintah Vera berusaha menyusul, suaranya terdengar terputus-putus di antara deru napas.
“Nyonya Muda, mohon… tunggu sebentar.”
Esme menoleh, keningnya berkerut, menatap pelayan itu dengan bingung.
“Saya ditugaskan Nyonya Vera untuk mendampingi Nyonya mengambil tehnya,” jelas pelayan itu, sambil mengatur napas yang berkejaran.
Esme hanya mengangguk, tak merasa tersinggung sedikit pun. Dalam benaknya, Vera pasti sekadar ingin memastikan Reinan mendapat ramuan terbaik. Bagi Esme, perhatian itu wajar bagi seorang kakak ipar.
“Baiklah, mari ikut saya,” sahutnya dengan nada lembut.
Mereka melangkah beriringan menuju paviliun yang teduh. Sesampainya di dapur,
Mendengar Fabian mengutarakan niat memeriksa denyut nadinya, Reinan menarik tangannya seketika. Tatapan matanya berubah dingin dan menusuk, menyiratkan ketidaksukaan yang kentara."Aku nggak suka disentuh oleh dokter sembarangan," tolak Reinan dengan ketus."Lagi pula, aku sudah punya dokter pribadi. Dan aku sehat-sehat saja, buktinya aku bisa duduk di sini sekarang."Sikap defensif Reinan membuat alis Fabian bertaut, rasa ingin tahunya memuncak.Ada yang ganjil, sangat ganjil. Pria yang dikira mengalami gangguan mental itu terlalu pandai menyusun kalimat, terlalu cepat membaca situasi, dan terlalu waspada.Tepat saat ketegangan tercipta di antara mereka, Esme muncul dari arah dapur dengan nampan berisi udang goreng. Sela menyusul membawa dua gelas lemon tea, sementara Seli datang sambil menyeimbangkan piring berisi nasi.Mereka serempak menyajikan hidangan itu di hadapan Fabian, lalu berkata sopan, “Selamat makan, Kak Fabi
Di dapur, tiga gadis sibuk berkutat dengan seember besar udang segar yang baru saja dicuci bersih. Udang-udang itu menggunung, ekornya yang masih utuh menjuntai seakan menantang orang yang hendak mengupasnya satu per satu.Esme, Sela, dan Seli duduk berjejer, tangan mereka bergerak cepat, berusaha mengupas kulit udang yang keras dan tajam. Seli mendesah panjang, lalu mengangkat tangannya yang memerah.“Aduh, jariku mulai pedih. Ini baru sepuluh, padahal isinya masih banyak,” gerutunya dengan suara manja.“Jangan banyak mengeluh,” potong Yola dari meja seberang. Matanya yang bulat tampak berair akibat bawang yang sedang ia iris halus.“Kalau kau lambat, nanti aku juga yang harus mengupas bawang dan udang. Mau mataku buta sekalian?”Seli meringis. “Ya sudah, Bibi. Aku bantu kupas bawang saja.”Sementara itu, Esme tetap tekun bekerja. Tangannya bergerak cekatan, mengupas satu demi satu udang tanpa mengeluh sedikit pun. Kulit-kulit udang menggunung di hadapannya, hampir menyamai jumlah ya
Setelah bayangan Nelson lenyap di ambang pintu paviliun, Reinan memalingkan wajah pada Esme dengan sorot bersiteguh. Ia menggenggam telapak tangan kanan sang istri, seolah ingin menegaskan sesuatu. “Janji padaku,” bisiknya lirih, “kamu nggak akan bekerja di perusahaan. Kalau kamu bosan di rumah, lebih baik bekerja saja di restoran. Aku akan ikut. Di perusahaan itu… hanya membuat kepala pusing.”Esme menunduk, merasakan hatinya tersentuh oleh kejujuran Reinan yang selalu meyakinkan. “Aku nggak akan bekerja di sana, Rein. Jangan khawatir.”Seakan lega, Reinan menarik napas panjang, kemudian menoleh pada Kailash yang berdiri tegak di dekat pintu. “Paman, bawakan tasku yang ada lego dan buku gambar. Aku mau membawanya.”Kailash mengangguk patuh. “Baik, Tuan Muda.”Tak lama berselang, mereka berjalan bersama menuju mobil yang sudah menanti. Esme menggenggam tas bekal, sementara Kailash menyodorkan tas besar berisi mainan kepada sopir.Namun, Esme mengerutkan dahi saat menyadari pria itu
Walau Esme masih terhipnotis oleh penampilan Reinan yang memukau, ia berhasil menarik diri dari pusaran kekaguman. Gadis itu segera tersadar kala Reinan menoleh, menatapnya dengan binar polos.“Apa kamu suka bajuku hari ini? Dan model rambutku? Aku tampan, kan?”Nada suara Reinan terdengar ringan, tetapi ada kesungguhan yang menyusup di balik senyum cerianya. “I-iya, kamu tampan,” jawab Esme sedikit gugup.Mendengar pujian dari sang istri, Reinan tampak puas. “Ini idenya Paman Kailash. Katanya, aku harus pakai baju yang rapi saat bertemu dengan temanmu.”Setelah berkata demikian, Reinan menunduk dan menatap layar ponselnya, pura-pura sibuk bermain game. Namun, Esme tahu betul, suaminya itu masih saja menyimpan cemburu pada Fabian.Tanpa sadar, senyum merekah di bibir Esme. Entah mengapa, sisi manja sang suami justru membuat Esme merasa hangat.Ia duduk bersisian dengan Reinan, dan melayani semua keperluan suaminya itu dengan sabar.Mereka menikmati pagi dalam kebersamaan yang sederha
Wina meneliti liontin emas berbentuk kunci itu sekali lagi. Matanya menyapu setiap detail ukiran halus berbentuk huruf G. Ada sesuatu yang ganjil, yang menusuk rasa ingin tahunya lebih dalam daripada sekadar godaan menjual benda tersebut.Bagaimana mungkin Esme, gadis tuli yang harus jungkir balik membiayai pengobatan ibunya yang renta, bisa memiliki barang semahal ini? Mungkinkah dia mencuri dari rumah orang kaya? Atau menemukannya tercecer di jalanan? Entahlah. Namun di mata Wina, segala kemungkinan itu tetap merujuk pada satu hal: Esme tak pantas memilikinya.Dengan gerakan pelan, Wina menempelkan liontin itu di lekuk lehernya, walau belum berkalung rantai. Dari pantulan cermin, kilau emas murni yang menempel di kulitnya tampak memancarkan aura elegan. Seolah menegaskan dirinya memang dilahirkan untuk hal-hal indah.Mungkin lebih bijak memastikan nilainya sebelum gegabah menjual. Setidaknya, ia akan tahu seberapa besar kemewahan yang pernah tersembunyi di tangan Esme.Tanpa membua
Sepasang mata Reinan bagaikan cermin yang memantulkan kebimbangan di hati Esme. Alis pria itu merapat, pertanda ia masih menanti jawaban yang tak kunjung keluar.Dalam hati, Esme membatin dengan getir. Jika Reinan tahu betapa kelam masa lalunya, apakah dia masih akan menatapnya seperti itu? Apakah mata yang indah tersebut akan berubah menjadi kecewa?Sambil menahan gejolak di dada, Esme akhirnya membuka suara, “Kak Fabian adalah dokter yang menangani Mama di rumah sakit.”Reinan mendengus kecil, lalu tangannya terulur menggaruk kepalanya yang jelas tak gatal sama sekali. “Kalau dokter, kenapa panggilnya ‘Kak’, bukan ‘Pak Dokter’?” tanyanya, dengan nada datar yang membuat Esme justru semakin merasa bersalah.“Karena aku dan Kak Fabian sudah saling mengenal sejak lama. Dulu rumah kami bertetangga. Dia adalah teman masa kecilku,” jelas Esme hati-hati, takut Reinan semakin salah paham.Reinan tampak diam sejenak, seakan mencerna penjelasan itu. Namun, tatapan matanya tak juga melembut. S