Bagaimana nasib Esme selanjutnya? Tunggu next chapter ya
Esme tidak menanggapi ucapan Nelson. Ia memilih bungkam dan melanjutkan langkah menuju lobi. Pintu kaca besar terbuka dengan sentuhan lembut sensor otomatis, menyingkap pemandangan yang membuat Esme takjub.Untuk pertama kalinya, Esme melihat dengan mata kepala sendiri interior Gala Corp. Lobi perusahaan itu begitu megah, jauh melampaui bayangan yang pernah ia peroleh dari layar internet. Udara ruangan harum dengan aroma kayu cendana, menegaskan identitas perusahaan yang bergerak di dunia parfum.Akan tetapi, decak kagumnya terputus saat dua pria berjas hitam menghampiri rombongan mereka.Salah satunya masih muda dengan pembawaan cerdas dan profesional. Sementara yang lain adalah pria paruh baya dengan postur gagah, rambut mulai memutih, tetapi auranya jelas penuh kuasa.Pria paruh baya itu langsung melangkah ke arah Reinan, mengulurkan tangan dengan senyum penuh keakraban.“Rein, selamat datang kembali ke perusahaan. Kamu masih ingat, Om kan?”Reinan mengangguk tipis, menerima uluran
Roti panggang yang baru saja digigit Esme terasa getir di kerongkongan, seakan seluruh rasa manisnya lenyap ditelan kecemasan. Ia menyadari sepenuhnya, dirinya tak memiliki kuasa untuk menolak atau menyetujui tawaran Nelson. “Nggak masalah kalau Esme pergi sebentar,” ucap Reinan memecah kebekuan. Netra tajamnya melirik pada sang kakak.“Aku akan segera menjemputnya setelah rapat selesai.”Lalu, tatapan Reinan beralih penuh kelembutan pada istrinya. “Sayang, kamu belajar saja yang baik. Nanti, ceritakan padaku apa saja yang sudah diajarkan oleh mereka. Jangan cemas. Di setiap ruangan pasti ada kamera CCTV, nggak mungkin ada penjahat yang mengganggumu.” Kalimat terakhir Reinan meluncur dengan penekanan jelas, sebuah peringatan halus yang sengaja diarahkan pada Nelson.Esme hanya mengangguk kecil. Ia merasa sedikit lega, sekalipun hatinya tetap berdebar kencang.Setelah menenangkan sang istri, Reinan kemudian menatap kakaknya dengan sopan, “Kak Nelson mau sarapan juga?”Nelson menggele
Keesokan paginya, Esme terbangun lebih cepat. Jarum jam baru menunjuk angka lima, tetapi hatinya terasa berat oleh kecemasan. Hari ini bukan hari biasa, melainkan hari penting bagi Reinan. Momen pertama bagi sang suami menampakkan diri di hadapan dewan direksi perusahaan.Dengan hati-hati, Esme beringsut turun dari ranjang. Berusaha tidak menimbulkan suara agar tidur pulas suaminya tak terganggu. Ia melangkah pelan menuju dapur, lalu mulai menyiapkan sarapan yang kiranya bisa menambah tenaga Reinan. Tangan Esme menata roti panggang dengan olesan selai stroberi. Menggoreng telur mata sapi setengah matang, dan membuat pancake hangat. Ia juga menyiapkan segelas susu hangat, sesuatu yang ia tahu selalu membuat Reinan lebih tenang.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Kailash yang baru saja bangun tertegun melihat sang nyonya sudah berkutat di dapur sepagi itu. “Nyonya, kenapa sudah bangun? Bukankah ini terlalu pagi?” tanyanya heran.Esme tersenyum lembut sembar
Mobil yang mereka tumpangi akhirnya memasuki halaman luas mansion. Begitu gerbang besi terbuka, sopir melajukan kendaraan ke arah paviliun utama. Lampu-lampu taman sudah dinyalakan, membuat suasana mansion lebih temaram.Dari sudut matanya, Esme sempat melirik ke arah garasi, mencari tanda kehadiran mobil sang ibu mertua. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Namun, sebelum ketegangan makin merayap, suara Reinan terdengar menenangkan.“Mama belum pulang. Kalau sudah, Paman Kailash pasti memberi tahu kita,” ucap Reinan, seakan membaca isi hati istrinya.Mobil berhenti tepat di depan paviliun. Kailash sudah berdiri menunggu, seraya memberi salam ketika pintu mobil terbuka. Begitu Reinan melangkah keluar, ia segera memberi instruksi.“Paman Kailash, aku ingin mandi di kamar atas dan membaca buku sebentar.”“Baik, Tuan Muda,” jawab Kailash cepat.Reinan lalu menoleh kepada Esme yang masih berdiri di sisi mobil. “Esme, mandilah di kamar dan tunggu aku di meja makan.”Esme hanya mengang
Mendengar pertanyaan Nelson, mata Wina berkilat puas. Dari cara Nelson bicara, lelaki itu telah masuk ke dalam perangkapnya. Kini, gilirannya yang menentukan harga atas sebuah rahasia yang mampu mengguncang hati Esme, serta nama baik seluruh anggota keluarga Gunadi.Seakan kesempatan emas benar-benar datang padanya, Wina menegakkan tubuh, lalu menyebut angka dengan lantang.“Sepuluh milyar.”Bola mata Nelson melebar, menatap gadis di hadapannya dengan sorot tak percaya. Angka yang meluncur dari bibir Wina membuatnya terperanjat. Ia tidak menyangka keberanian gadis itu setebal baja. Nekat menuntut jumlah yang sangat besar hanya untuk sebuah benda kecil yang dapat digenggam dengan satu tangan.“Sepuluh milyar?” Suara Nelson teredam, nyaris seperti geraman. “Kau serakah juga, Wina. Berani meminta sebanyak itu hanya untuk sebuah liontin kecil? Tidakkah kau sadar betapa berlebihan permintaanmu?”Gertakan Nelson tidak membuat Wina mundur. Senyum tipis yang mengembang di wajahnya bukanlah s
Mobil yang dinaiki Wina akhirnya berhenti tepat di halaman depan Hotel Evares. Wina melangkah turun dengan percaya diri, menyuruh sopirnya untuk tetap menunggu di parkiran. Kakinya berayun mantap menuju pintu kaca lobi yang terbuka. Tujuannya jelas: bar eksklusif yang terletak di lantai dua puluh, tempat para tamu pilihan dan orang-orang berpengaruh menikmati malam mereka. Ruangan itu diterangi cahaya lampu kristal yang temaram. Tatapan Wina langsung menemukan pria yang ia cari. Nelson Gunadi duduk di dekat sebuah tiang marmer besar.Tubuh pria itu bersandar tenang dengan jas hitam yang membingkai postur gagahnya. Segelas anggur di hadapan Nelson masih belum tersentuh, sementara jemarinya sibuk mengusap layar ponsel.Tanpa ragu, Wina berjalan menghampiri. “Selamat malam, Tuan Nelson.”Nelson mendongak. Tatapannya sontak tertahan pada pesona wanita muda yang berdiri tak jauh darinya.“Selamat malam. Silakan duduk,” ucapnya, seraya memberi isyarat dengan tangan.Wina menarik kursi deng