Share

#3. Cobaan Apalagi Ini, Ya Allah

Tiga tahun pernikahannya dengan Firdaus, Nisha sama sekali tidak terpikir jikalau cobaan yang menerpa pernikahannya cukuplah kuat.

Firdaus mulai sering pulang malam —paling cepat jam dua belas malam, paling lama pukul setengah empat pagi.

Setelah mencari tahu ke semua teman suami yang ia kenal, kini Nisha sudah tahu siapa yang membuat suaminya mengenal salah satu jenis narkotika itu. Dhani. Lelaki dua tahun lebih tua dari Firdaus dan bertubuh tambun. Memang terkenal sangat nakal dan suka main perempuan. 

Nisha juga mengenal Dhani, kok. Sama sekali tidak menduga kalau kakak kelasnya semasa SMA itu tega menjerumuskan suaminya ke lembah dalam narkoba.

Tiap kali ada kesempatan, Nisha menyebar satu paket serbuk putih itu di belakang rumah. Untungnya, Firdaus sama sekali tidak menaruh curiga. Kayaknya dia juga tidak ingat, tuh berapa paket yang tersisa dalam dompet.

Selain itu, tiada hentinya Nisha berdo'a siang dan malam, meminta kepada Allah SWt. memberikan hidayah pada suaminya agar kembali menjadi suaminya yang dulu. Ia ingin Firdaus kembali bersikap sayang padanya dan tidak berperilaku macam-macam.

Kalau dilihat dari penampilan, rambut Nisha tuh memang sengaja diwarnai blonde gitu. Memang kesukaannya, kok. Pakaiannya juga tidak terlalu tertutup. Tapi, kalau masalah ibadah, insyaAllah, ia tidak lupa menunaikannya. 

Nisha tahu kalau Firdaus mendapatkan barang haram itu tidaklah gratis. Makanya, dia selalu menyembunyikan uang saku yang diberikan mertua. Di tumpukan baju lemari, buku, bahkan Al-Qur'an. Tapi, entah bagaimana Firdaus selalu dapat menemukannya.

Terenyuh hati Nisha tiap kali memeriksa persembunyian uangnya dan selalu berakhir nihil. Manalagi dia tidak memasak di rumah. Untuk makan, biasanya selalu membeli di luar. ‘Makan apa nanti malam, uang saja mulai menipis,’ pikirnya.

Satu-satunya jalan adalah pulang ke rumah orang tuanya. Namun, Nisha tidak cerita tentang permasalahannya. Ia tidak mau membuat mereka sedih dan stress. 

“Nis?” tanya Emak tatkala Nisha hendak menyedok nasi ke piring.

“Apa, Mak?”

Emak beranjak berdiri setelah mengelus kucing-kucing kesayangannya. “Pipimu kenapa biru?” tanyanya khawatir plus curiga. Awas saja kalau ini perbuatan Firdaus, dia siap memaksa Nisha untuk tinggal di sini. Cerai juga tidak apa-apa. Toh dari awal juga Emak tidak suka kok sama menantunya itu.

“Kejedot pintu, Mak,” kilah Nisha santai. Seolah berbohong adalah makanannya sehari-hari.

“Betul?”

“Iya, Mak. Memangnya Mak kira apa? Dipukul Firdaus gitu?”

Emak mengangkat sebelah alisnya. “Siapa tahu.”

“Ya ngga, lah, Mak,” bantah Nisha lagi dilengkapi senyuman, padahal hatinya perih bagai teriris pisau tajam. Dia ingin sekali mencurahkan segala isi hatinya, namun tidak bisa demi kebaikan rumah tangganya.

Nisha terbiasa memendam perasaan. Dia tetap tertawa jika bersama teman-temannya. Namun, sebenarnya mereka, baik cowok maupun cewek, tahu apa yang terjadi padanya.

Terkadang pipinya biru, besok lehernya, dan besoknya lagi lengan. Bukannya mereka bego sampai tidak mau tahu kalau Nisha tengah menderita. Mereka hanya segan untuk menanyakannya langsung.

Apalagi ketika Nisha tiba-tiba pulang setelah sampai di kampus. Mau tahu apa yang terjadi? Firdaus mengirimkan pesan singkat kalau minta dimasakkan mie. Luar biasa egoisnya, ya. Childish, tapi Nisha tetap saja setia menuruti suaminya.

“Dhani ada nelepon?” tanya Firdaus, baru saja sehabis mandi sore.

Nisha menggeleng. Dia berbohong. Tadi Dhani memang menelepon. Nekat. Ia memblokir nomor itu.

Sejurus kemudian, Firdaus bersiap-siap hendak pergi.

“Kak,” panggil Nisha pelan.

“Hm?”

“Sampai kapan Kakak kayak gini?” Nisha beranikan diri bertanya demikian. Mau dipukul, terserah, deh. Ia sudah tidak peduli. Tubuhnya pun sudah kebal akan sakit tiap kali Firdaus memukulnya. Tapi, ini patut dicoba, kan?

Firdaus berhenti mengenakan kaos, dilanjutkannya setelah paham kalau istrinya sangat serius.

“Begini gimana?” tanyanya sok tidak paham.

“Nyandu,” jawab Nisha. “Berhenti temui Dhani, Kak. Dia cuma ngasih pengaruh buruk ke Kakak.”

Firdaus duduk di hadapan istrinya. “Jadi, mau kamu itu aku di rumah aja? Ngga bergaul dengan siapa-siapa?”

Helaan napas Nisha mengudara. “Bukan gitu. Kita sudah tiga tahun menikah. Kalau Kakak nyandu, kian lama kita punya anak.”

Tiap kali Nisha hadir di acara keluarga besar suaminya. Ia jengah dikatakan mandul oleh mereka karena belum juga kunjung 'isi' lagi.

Padahal, segala upaya sudah dicoba Nisha. Tapi, yang namanya belum rezeki ya bagaimana.

Manalagi Firdaus sekarang mulai mengenal obat-obatan terlarang yang memiliki efek samping membuat suaminya tidak subur. Tapi, tidak mungkin Nisha koar-koar tentang perilaku suaminya di depan keluarga besarnya, kan? Sama aja membuka aib sekaligus suaminya tampak rendah di mata mereka.

“Anak?” ulang Firdaus bergumam. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk serius melanjutkan keturunan darah Arab-nya. Kebetulan ia adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Dia hanya dua bersaudara, sementara kakaknya adalah seorang perempuan. Siapa lagi kalau bukan dia yang meneruskan marga Arabnya.

Entah datangnya dari mana, keinginan Firdaus untuk lepas dari nyandunya kian membesar. Dia mulai menjaga jarak, jarang bertemu dengan Dhani, tidak pernah lagi malah. Selain tidak ada telepon dan pesan singkat masuk, Firdaus juga tidak mau menghubungi duluan.

Mungkin ini yang namanya kuasa Allah SWt, pikir Nisha. Hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia.

Lepas dari kecanduan adalah perjuangan yang tak mudah, sangat berat. Perasaan menginginkan benda haram itu selalu muncul.

“Sayang,” panggil Firdaus pelan. Digoyangnya pelan lengan sang istri yang tidur di sisinya.

Nisha bergerak sedikit, terbangun. “Ya, Kak?” tanyanya sembari beranjak duduk.

“Dingin,” lirih Firdaus.

Mata Nisha membelalak menyaksikan suaminya menggigil kedinginan sambil mendekap diri. Wajahnya memutih, pucat, bibirnya bergetar, sementara keringat dingin mengucur deras dari kening.

“Dingin, Kak?” tanya Nisha heran. Kedinginan tapi kenapa keringatnya banyak sekali.

“Dingin,” ulang Firdaus merangkul dirinya sendiri.

Sigap, Nisha bergegas mengambil bed cover dari dalam almari. Dibungkusnya tubuh Firdaus.

“Masih dingin,” keluh Firdaus lagi. Tubuhnya masih gemetar.

Nisha ambil satu bed cover lagi dari dalam lemari. Dibungkusnya di atas bed cover pertama. Lantas, dipeluknya sang suami.

“Yang kuat, ya, Kak,” pintanya sekaligus menyemangati. “Aku tahu kalau Kakak bisa melalui ini.”

Dari balik selimut, jemari Firdaus menyentuh lengan istrinya. “Terima kasih, Sayang. Aku ngga akan bisa melalui ini tanpa kamu.”

Syukur alhamdulillah, tidak butuh waktu lama bagi Firdaus untuk sembuh dari nyandunya. Dia sehat, tidak lagi menginginkan serbuk putih itu. Sejurus kemudian, sifat kasarnya juga perlahan menghilang. Tidak ada lagi adegan injak- menginjak atau pukul-memukul.

Nisha pun lega akhirnya cobaan pernikahan ini bisa dilaluinya walau harus melalui jalan berduri.

Firdaus kembali kuliah, yah, walaupun hanya nongkrong doang, masuk kelas kagak. Ngga apa-apa, deh. Bagi Nisha, selama bisa melihat suaminya di depan mata, ia sudah merasa lega.

Semester lima, alias memasuki tahun ketiga, Nisha hamil. Dia sama sekali tidak menyangka akan 'isi' di saat kuliah sedang sibuk-sibuknya. Dimana semester ini sudah boleh mengajukan proposal skripsi.

“Nis, ikut ngumpulin proposal bulan depan?” tanya Elza, salah satu teman sekelasnya. Mereka baik banget karena mengingatkan Nisha agar tidak tertinggal.

“Aku usahakan dulu, ya. Masih mual-mual, nih,” jawab Nisha jujur. Ia tidak mau memberi harapan pada teman-temannya.

Walaupun begitu, Nisha tetap rajin ke perpustakaan bersama Elza dan Vika. Dia berusaha untuk bisa mengajukan proposal semester ini juga.

Dengan begitu, Nisha pun mulai jarang pergi bareng suaminya. Dia meminjam mobil orang tuanya agar bisa kemana-mana dengan leluasa bersama teman-teman kuliahnya. Firdaus juga sudah mengizinkan.

Suatu sore, Nisha pergi bersama suaminya ke rumah salah satu tantenya Firdaus. Kalau sudah di sini, suaminya sibuk di luar berkumpul dengan para sepupu. Dan, Nisha yang supel selalu berhasil mengakrabkan diri dengan keluarga Firdaus.

“Nis, itu hape kamu bunyi ngga?” tanya Queensha, gadis berwajah Arab-India yang kental.

Nisha menoleh ke sisi kirinya. Getaran ponsel itu terasa sedari tadi, hanya saja ia tak menyangka kalau itu adalah ponsel suaminya.

“Dion?” gumam Nisha bingung. Seingatnya, Firdaus tidak memiliki teman bernama Dion. Tanpa keraguan, ia mengangkat panggilan itu.

“Ya? Assalamu'alaikum?”

“...” Tidak ada jawaban. Hanya suara berisik, seperti suara kendaraan lewat.

“Halo?”

“Ada Kak Daus?” Suara perempuan! Keraguan di nada terlalu kentara.

“Ada. Ini siapa?” tanya Nisha mulai ketus. Dion itu perempuan? Aneh.

“Ini siapa?” Suara di seberang panggilan itu mulai percaya diri sampai berani menantang.

“Aku istrinya. Kenapa?”

“...” Hening lagi.

“Halloow?” Nisha mulai sebal, deh orang itu kebanyakan diam.

“Aku pacarnya,” lirih suara di ujung sana itu.

Deg! Nisha terdiam. Tiba-tiba keheningan menyelimutinya. Ia terkejut tapi ingin marah. 

Diliriknya ke arah Firdaus, yang asyik tertawa hasil bersenda gurau dengan sanak famili.

‘Apa lagi ini, Kak?!’

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status