Share

#2. Ujian Pernikahan

Senyum, tawa, ramah, ataupun candaan melekat pasti pada sosok Jenisha Munnawaroh. Wanita keturunan Chinese-Sunda ini biasa dipanggil Nisha.

Tidak ada yang tidak mengenalnya di kota hujan ini, karena lingkup pertemanannya sangat luas. Mulai dari kelas atas sampai kelas bawah. Mulai dari anak walikota sampai tukang sapu jalanan pun pasti mengenalnya.

Dia menikah dengan Firdaus tidak lama berselang setelah Ujian Akhir Nasional diadakan. Ijazah pun belum ada di tangan. Tak luput ia menjadi bulan-bulanan pemilik mulut lemes. Hamil duluan adalah tudingan yang kerap disandangkan pada Nisha.

Memang, ia terlalu cepat menikah. Baru delapan belas tahun umurnya kala itu. Namun, itu juga karena kedua orang tua suaminya sudah merestui hubungan mereka setelah hampir satu tahun berpacaran. Orang tua Nisha pun mengiyakan walaupun berat hati.

Habis menikah, kebetulan Nisha langsung 'isi'. Seolah membenarkan rumor yang telah beredar selama ini. Namun, ia harus kehilangan sang putra tidak berselang lama setelah kelahiran. Sakit kuning menjadi penyebabnya. Bayi mungil nan lucu itu ia beri nama Putra.

Nisha sempat down, tapi gegas bangkit. Kedua orang tua dan mertua, terlebih suami mendukungnya untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Demi memberikannya kesibukan agar terlepas dari belenggu kesedihan.

Tidak disangka Nisha lulus ujian masuk kampus ternama di Bogor, jurusan Ekonomi. Kampus yang sama dengan tempat suaminya berkuliah di jurusan Hukum. Dia tidak terlalu pintar namun memiliki keinginan yang kuat untuk kuliah.

Meskipun sudah menikah, akan tetapi kecantikan Nisha sontak mengundang perhatian dari para mahasiswa. Namun, tidak butuh satu hari bagi mereka tuk tahu kalau wanita muda cantik itu adalah milik Firdaus.

Kemana ada Firdaus, disitulah ada Nisha. Pasangan menikah yang sempurna menurut para mahasiswa. Couple goals. Kompak, santai, dan cukup mesra. Tentu saja mereka tidak pernah berpegangan tangan di kampus. Tapi, dari cara saling menatap, siapapun tahu kalau mereka saling mencintai.

Namun, tidak ada pernikahan yang semulus jalan tol. Hanya saja Nisha tidak tahu kalau ujiannya akan datang secepat ini. Di usianya yang muda bisa dikatakan belum cukup siap.

“Kak, jam segini baru pulang?” tanya Nisha setelah membukakan pintu untuk suaminya itu. Jam bulat di dinding menunjukkan pukul setengah tiga pagi.

Akan tetapi, Firdaus tidak kunjung menjawab. Tampak tertarik saja tidak. Dia menuju kamar.

Sekadar catatan, pada saat itu mereka tinggal di rumah kontrakan. Siapa yang membayar? Siapa lagi kalau bukan Bapak mertuanya Nisha. Kan mereka berdua belum ada yang bekerja. Masih sangat bergantung sekali dengan orang tua masing-masing.

“Kak, dijawab, dong. Dari mana aja, masa jam segini baru pulang?” tagih Nisha. Dia butuh penjelasan. Entah berapa banyak SMS dan telepon ditujukan untuk suaminya itu, sampai detik ini tidak ada juga balasan.

Terjadi tiba-tiba, bahkan Nisha sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi. Firdaus berdiri lantas meraih rambut panjangnya yang tergerai, lalu menariknya sekuat tenaga.

“A! Aa” teriak Nisha kesakitan.

“Dengar! Aku mau ke mana, ngapain, itu urusanku!” geram Firdaus tepat di telinga istrinya, lalu menjerembabkan tubuh wanita itu di tempat tidur.

Tubuh Nisha gemetar. Kedua tangannya terkepal di depan dada. Dia tak pernah melihat suaminya seperti ini. Dia tak pernah mendapatkan perlakuan kasar seperti ini, dari siapapun, terlebih kedua orangtuanya. Seketika semu kemerahan menghilang dari wajahnya. Nisha pucat pasi.

Sekejap, lenyaplah semua khayalannya tentang indahnya pernikahan. Romantisme, tawa bahagia, saling mengerti, hilang semua menguap di udara.

Dia terperanjat saat Firdaus berbaring di sampingnya. Takut seandainya mendapatkan perlakuan tak menyenangkan lagi. Tapi tidak seperti dugaannya, ternyata suaminya tertidur sampai pagi menjelang.

Sementara itu, Nisha tetap dalam posisi yang sama hingga sinar matahari menyilaukan matanya. Ia menghadap ke kanan, memunggungi Firdaus dengan kedua tangan terkepal di dada.

Ketika suaminya beranjak pergi tanpa pamit, barulah Nisha bisa memejamkan matanya, lantas terlelap.

“Bangun,” ucap Firdaus pelan seraya menggoyangkan tubuh istrinya.

Nisha memicingkan matanya menatap sosok suaminya yang tampak samar. Ia beringsut ke tepi ranjang.

“Ini nasi uduk. Makan dulu,” ujar Firdaus sambil menaruh sebungkus nasi uduk di atas piring, tepat di meja kecil depan televisi.

Masih mengantuk, rambut masih awut-awutan, Nisha duduk di dekat nasi uduk. Dibukanya perlahan. Beberapa kali ia berusaha membuka mata sipitnya yang masih terasa sepet.

‘Tumben, Kak Firdaus inisiatif beli sarapan. Apa ini permintaan maaf atas perlakuannya semalam?’

Nisha menyantap nasi uduk, mengunyahnya tanpa semangat. Siapa juga yang semangat baru bangun tidur langsung disuguhi makanan. Cuci muka saja belum, apalagi minum air putih. Mulut masih bau banget lagi.

Tiba-tiba saja wajah Nisha menghantam nasi uduk.

“Kenapa makannya kayak lesu gitu, ha?! Ngga suka aku belikan makanan?! Ha?!” Ternyata Firdaus menginjak leher Nisha hingga istrinya itu megap-megap. Tersinggung hatinya melihat Nisha makan dengan lesu seolah tidak tahu terima kasih sudah dibelikan sarapan.

Firdaus mengangkat kakinya.

“Hah, hah.” Nisha mengatur napasnya, terasa sesak. Bukan saja karena hidungnya tadi tidak sempat bernapas, tapi juga karena perlakuan Firdaus yang tak disangka-sangkanya. Matanya sudah terbuka, ia sudah sadar sepenuhnya kini. “Kak?” lirihnya.

Hal yang tidak disangka muncul lagi, Firdaus memeluknya, mendadak.

“Maafkan aku, Sayang. Aku ngga berniat melakukannya,” ucapnya bergetar.

Nisha memejamkan matanya. Beberapa tetes air matanya jatuh dalam kebisuan. Entah kenapa ia merasa kalau akan mendengar puluhan permintaan maaf ini. Ia tak merasakan ketulusannya karena tahu semua ini selalu diulang lagi dan lagi.

Seperti memiliki firasat, Mariya alias ibu kandungnya Nisha menelepon ke rumah, hari itu.

“Assalamu'alaikum,” ucap Nisha. Ia tidak tahu siapa yang menelepon. Kala itu masih hal lumrah menelepon menggunakan telepon rumah.

“Nis,” panggil Emak agak ragu.

“Ya, Mak? Ada apa nelepon pagi-pagi begini?” Agak aneh memang mendengar suara Mariyam di telepon karena jarang sekali menelepon ke rumah ini. Apalagi, kalau pas pagi-pagi pula. Baru jam tujuh lewat lima.

“Kamu baik-baik aja, ’kan?”

Deg! Berdesir hati Nisha akan pertanyaan sang ibunda. ‘Apa ini yang namanya ikatan batin antara ibu dan anak? Walaupun jauh, sang ibu tetap bisa merasakan kegundahan hati sang buah hati.’

“Baik-baik aja, Mak. Ada apa, sih?” bohong Nisha cukup mulus.

“Ngga. Emak merasa ada yang aneh aja. Hati Emak, tuh ngga menentu rasanya,” tutur Mariyam sambil memukul pelan dada, padahal Nisha tidak bisa juga melihatnya.

Nisha juga tersenyum, seolah ibunya itu ada di depan mata. “Aku baik-baik aja, kok. Emak, nih aneh-aneh aja.”

Emak mengakhiri perbincangan jarak jauh itu setelah yakin kalau anaknya itu tidak kenapa-kenapa. Meski masih ada keraguan di benaknya.

Sementara itu, Nisha membereskan ruang tengah yang berantakan. Suara air di kamar mandi, sepertinya Firdaus tengah membasuh diri. Ia hapal betul kalau suaminya itu kalau mandi, lama banget. Bisa setengah jam.

Nisha beralih ke tempat tidur. Ia harus membereskannya sebelum pergi ke kampus. Kalau pas pulang, ah, keburu kelelahan dia.

Nisha berdecak seraya menggelengkan kepala. Firdaus tuh kebiasaan, deh. Menaruh baju, celana sembarang tempat saja. Berserakan di atas tempat tidur. Menikahi anak lelaki yang tidak pernah megang palu ya gini, nih.

Nisha meraih celana jeans Firdaus. Dirasakannya jendulan di kantong belakang, sudah diduganya kalau itu adalah dompet suaminya.

“Tebal banget, sih?” Tergelitik benaknya untuk memeriksa isi dompet. Semuanya terlihat aman saja sampai Nisha menemukan tiga bungkus plastik sangat kecil di bagian dalam dompet.

“Apa ini?!” gumam Nisha kaget. Dipandanginya plastik seukuran tiga ruas jari. Isinya bubuk putih tidak sampai setengah plastik. “Jangan-jangan ini ....”Tangannya menutup mulut. “Kak Firdaus ngobat?!”

Nisha menoleh ke arah kamar mandi. Masih terdengar suara cebar-cebur. Cepat-cepat dimasukkannya lagi dua plastik ke dalam dompet, lalu dompet ke dalam saku celana.

Gegas ia berlari ke pintu belakang. Begitu sampai, dibukanya satu plastik barang narkotika itu yang sedari tadi digenggamnya erat. Lantas, mengeluarkan isinya hingga beterbangan di serbu angin. Menghilang begitu saja di udara. Ia buang plastiknya di balik rerumputan.

Buru-buru ia kembali ke kamar. Diaturnya pakaian, rambut, juga napasnya yang tersengal.

‘Karena inikah Kak Firdaus pulang terlambat belakangan ini? Siapa teman bergaulnya sampai terkena obat-obatan terlarang begini?’

Pergaulan suaminya cukup luas, siapa saja bisa jadi tersangka yang membuat Firdaus jatuh ke lubang hitam narkoba. Tapi, siapa tepatnya?

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status