Share

#2. Ujian Pernikahan

Author: buchaa
last update Last Updated: 2023-06-14 04:42:17

Senyum, tawa, ramah, ataupun candaan melekat pasti pada sosok Jenisha Munnawaroh. Wanita keturunan Chinese-Sunda ini biasa dipanggil Nisha.

Tidak ada yang tidak mengenalnya di kota hujan ini, karena lingkup pertemanannya sangat luas. Mulai dari kelas atas sampai kelas bawah. Mulai dari anak walikota sampai tukang sapu jalanan pun pasti mengenalnya.

Dia menikah dengan Firdaus tidak lama berselang setelah Ujian Akhir Nasional diadakan. Ijazah pun belum ada di tangan. Tak luput ia menjadi bulan-bulanan pemilik mulut lemes. Hamil duluan adalah tudingan yang kerap disandangkan pada Nisha.

Memang, ia terlalu cepat menikah. Baru delapan belas tahun umurnya kala itu. Namun, itu juga karena kedua orang tua suaminya sudah merestui hubungan mereka setelah hampir satu tahun berpacaran. Orang tua Nisha pun mengiyakan walaupun berat hati.

Habis menikah, kebetulan Nisha langsung 'isi'. Seolah membenarkan rumor yang telah beredar selama ini. Namun, ia harus kehilangan sang putra tidak berselang lama setelah kelahiran. Sakit kuning menjadi penyebabnya. Bayi mungil nan lucu itu ia beri nama Putra.

Nisha sempat down, tapi gegas bangkit. Kedua orang tua dan mertua, terlebih suami mendukungnya untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Demi memberikannya kesibukan agar terlepas dari belenggu kesedihan.

Tidak disangka Nisha lulus ujian masuk kampus ternama di Bogor, jurusan Ekonomi. Kampus yang sama dengan tempat suaminya berkuliah di jurusan Hukum. Dia tidak terlalu pintar namun memiliki keinginan yang kuat untuk kuliah.

Meskipun sudah menikah, akan tetapi kecantikan Nisha sontak mengundang perhatian dari para mahasiswa. Namun, tidak butuh satu hari bagi mereka tuk tahu kalau wanita muda cantik itu adalah milik Firdaus.

Kemana ada Firdaus, disitulah ada Nisha. Pasangan menikah yang sempurna menurut para mahasiswa. Couple goals. Kompak, santai, dan cukup mesra. Tentu saja mereka tidak pernah berpegangan tangan di kampus. Tapi, dari cara saling menatap, siapapun tahu kalau mereka saling mencintai.

Namun, tidak ada pernikahan yang semulus jalan tol. Hanya saja Nisha tidak tahu kalau ujiannya akan datang secepat ini. Di usianya yang muda bisa dikatakan belum cukup siap.

“Kak, jam segini baru pulang?” tanya Nisha setelah membukakan pintu untuk suaminya itu. Jam bulat di dinding menunjukkan pukul setengah tiga pagi.

Akan tetapi, Firdaus tidak kunjung menjawab. Tampak tertarik saja tidak. Dia menuju kamar.

Sekadar catatan, pada saat itu mereka tinggal di rumah kontrakan. Siapa yang membayar? Siapa lagi kalau bukan Bapak mertuanya Nisha. Kan mereka berdua belum ada yang bekerja. Masih sangat bergantung sekali dengan orang tua masing-masing.

“Kak, dijawab, dong. Dari mana aja, masa jam segini baru pulang?” tagih Nisha. Dia butuh penjelasan. Entah berapa banyak SMS dan telepon ditujukan untuk suaminya itu, sampai detik ini tidak ada juga balasan.

Terjadi tiba-tiba, bahkan Nisha sama sekali tidak menyangka hal itu akan terjadi. Firdaus berdiri lantas meraih rambut panjangnya yang tergerai, lalu menariknya sekuat tenaga.

“A! Aa” teriak Nisha kesakitan.

“Dengar! Aku mau ke mana, ngapain, itu urusanku!” geram Firdaus tepat di telinga istrinya, lalu menjerembabkan tubuh wanita itu di tempat tidur.

Tubuh Nisha gemetar. Kedua tangannya terkepal di depan dada. Dia tak pernah melihat suaminya seperti ini. Dia tak pernah mendapatkan perlakuan kasar seperti ini, dari siapapun, terlebih kedua orangtuanya. Seketika semu kemerahan menghilang dari wajahnya. Nisha pucat pasi.

Sekejap, lenyaplah semua khayalannya tentang indahnya pernikahan. Romantisme, tawa bahagia, saling mengerti, hilang semua menguap di udara.

Dia terperanjat saat Firdaus berbaring di sampingnya. Takut seandainya mendapatkan perlakuan tak menyenangkan lagi. Tapi tidak seperti dugaannya, ternyata suaminya tertidur sampai pagi menjelang.

Sementara itu, Nisha tetap dalam posisi yang sama hingga sinar matahari menyilaukan matanya. Ia menghadap ke kanan, memunggungi Firdaus dengan kedua tangan terkepal di dada.

Ketika suaminya beranjak pergi tanpa pamit, barulah Nisha bisa memejamkan matanya, lantas terlelap.

“Bangun,” ucap Firdaus pelan seraya menggoyangkan tubuh istrinya.

Nisha memicingkan matanya menatap sosok suaminya yang tampak samar. Ia beringsut ke tepi ranjang.

“Ini nasi uduk. Makan dulu,” ujar Firdaus sambil menaruh sebungkus nasi uduk di atas piring, tepat di meja kecil depan televisi.

Masih mengantuk, rambut masih awut-awutan, Nisha duduk di dekat nasi uduk. Dibukanya perlahan. Beberapa kali ia berusaha membuka mata sipitnya yang masih terasa sepet.

‘Tumben, Kak Firdaus inisiatif beli sarapan. Apa ini permintaan maaf atas perlakuannya semalam?’

Nisha menyantap nasi uduk, mengunyahnya tanpa semangat. Siapa juga yang semangat baru bangun tidur langsung disuguhi makanan. Cuci muka saja belum, apalagi minum air putih. Mulut masih bau banget lagi.

Tiba-tiba saja wajah Nisha menghantam nasi uduk.

“Kenapa makannya kayak lesu gitu, ha?! Ngga suka aku belikan makanan?! Ha?!” Ternyata Firdaus menginjak leher Nisha hingga istrinya itu megap-megap. Tersinggung hatinya melihat Nisha makan dengan lesu seolah tidak tahu terima kasih sudah dibelikan sarapan.

Firdaus mengangkat kakinya.

“Hah, hah.” Nisha mengatur napasnya, terasa sesak. Bukan saja karena hidungnya tadi tidak sempat bernapas, tapi juga karena perlakuan Firdaus yang tak disangka-sangkanya. Matanya sudah terbuka, ia sudah sadar sepenuhnya kini. “Kak?” lirihnya.

Hal yang tidak disangka muncul lagi, Firdaus memeluknya, mendadak.

“Maafkan aku, Sayang. Aku ngga berniat melakukannya,” ucapnya bergetar.

Nisha memejamkan matanya. Beberapa tetes air matanya jatuh dalam kebisuan. Entah kenapa ia merasa kalau akan mendengar puluhan permintaan maaf ini. Ia tak merasakan ketulusannya karena tahu semua ini selalu diulang lagi dan lagi.

Seperti memiliki firasat, Mariya alias ibu kandungnya Nisha menelepon ke rumah, hari itu.

“Assalamu'alaikum,” ucap Nisha. Ia tidak tahu siapa yang menelepon. Kala itu masih hal lumrah menelepon menggunakan telepon rumah.

“Nis,” panggil Emak agak ragu.

“Ya, Mak? Ada apa nelepon pagi-pagi begini?” Agak aneh memang mendengar suara Mariyam di telepon karena jarang sekali menelepon ke rumah ini. Apalagi, kalau pas pagi-pagi pula. Baru jam tujuh lewat lima.

“Kamu baik-baik aja, ’kan?”

Deg! Berdesir hati Nisha akan pertanyaan sang ibunda. ‘Apa ini yang namanya ikatan batin antara ibu dan anak? Walaupun jauh, sang ibu tetap bisa merasakan kegundahan hati sang buah hati.’

“Baik-baik aja, Mak. Ada apa, sih?” bohong Nisha cukup mulus.

“Ngga. Emak merasa ada yang aneh aja. Hati Emak, tuh ngga menentu rasanya,” tutur Mariyam sambil memukul pelan dada, padahal Nisha tidak bisa juga melihatnya.

Nisha juga tersenyum, seolah ibunya itu ada di depan mata. “Aku baik-baik aja, kok. Emak, nih aneh-aneh aja.”

Emak mengakhiri perbincangan jarak jauh itu setelah yakin kalau anaknya itu tidak kenapa-kenapa. Meski masih ada keraguan di benaknya.

Sementara itu, Nisha membereskan ruang tengah yang berantakan. Suara air di kamar mandi, sepertinya Firdaus tengah membasuh diri. Ia hapal betul kalau suaminya itu kalau mandi, lama banget. Bisa setengah jam.

Nisha beralih ke tempat tidur. Ia harus membereskannya sebelum pergi ke kampus. Kalau pas pulang, ah, keburu kelelahan dia.

Nisha berdecak seraya menggelengkan kepala. Firdaus tuh kebiasaan, deh. Menaruh baju, celana sembarang tempat saja. Berserakan di atas tempat tidur. Menikahi anak lelaki yang tidak pernah megang palu ya gini, nih.

Nisha meraih celana jeans Firdaus. Dirasakannya jendulan di kantong belakang, sudah diduganya kalau itu adalah dompet suaminya.

“Tebal banget, sih?” Tergelitik benaknya untuk memeriksa isi dompet. Semuanya terlihat aman saja sampai Nisha menemukan tiga bungkus plastik sangat kecil di bagian dalam dompet.

“Apa ini?!” gumam Nisha kaget. Dipandanginya plastik seukuran tiga ruas jari. Isinya bubuk putih tidak sampai setengah plastik. “Jangan-jangan ini ....”Tangannya menutup mulut. “Kak Firdaus ngobat?!”

Nisha menoleh ke arah kamar mandi. Masih terdengar suara cebar-cebur. Cepat-cepat dimasukkannya lagi dua plastik ke dalam dompet, lalu dompet ke dalam saku celana.

Gegas ia berlari ke pintu belakang. Begitu sampai, dibukanya satu plastik barang narkotika itu yang sedari tadi digenggamnya erat. Lantas, mengeluarkan isinya hingga beterbangan di serbu angin. Menghilang begitu saja di udara. Ia buang plastiknya di balik rerumputan.

Buru-buru ia kembali ke kamar. Diaturnya pakaian, rambut, juga napasnya yang tersengal.

‘Karena inikah Kak Firdaus pulang terlambat belakangan ini? Siapa teman bergaulnya sampai terkena obat-obatan terlarang begini?’

Pergaulan suaminya cukup luas, siapa saja bisa jadi tersangka yang membuat Firdaus jatuh ke lubang hitam narkoba. Tapi, siapa tepatnya?

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Doyan Selingkuh   #Bab 98. Dinner Yang Tertunda

    “Gimana kalau kita liburan ke Bali?” cetus Nisha tanpa aba-aba apalagi kalimat pembukaan. Itupun setelah melamun cukup lama.Alhasil, Shareefa dan Diana yang tengah cekikikan menonton drama korea di sisi Nisha langsung menatapnya kaget. Beda dengan Bahri yang masih asyik bermain game seolah tidak peduli. Dia memang belum mengerti, kok.“Bali?!” seru Ana dan Efa berbarengan. Nisha menyender di bangku outdoor Cuko. “He-eh,” jawabnya pasti diiringi anggukan.Memang sudah lama mereka tidak liburan. Sejak Bahri dan Efa masuk ke sekolah baru, ke tingkat yang lebih tinggi, atau sejak Mak pergi lima bulan yang lalu. Nisha juga disibukkan dengan kegiatannya di sini. Terlebih lagi Diana tahun ini melakulan grand opening Cuko.“Mau!” seru Efa senang. Sudah tidak dipedulikannya lagi drama korea yang masih berjalan di smartphone-nya.“Tapi, Efa masih ujian dua hari lagi.” Wajah yang tadi cerah mendadak berubah mendung. Gimana mau ke Bali, kan dia masih ujian.Nisha baru menyadari sesuatu. O, iya.

  • Suamiku Doyan Selingkuh   #Bab 97. Suami Masa Depan

    Nisha menghabiskan hari-harinya dengan menemani Bapak ke makam almarhum sang ibunda. Sebisa mungkin dia selalu sempatkan karena Bapak tidak pernah berhenti merindukan belahan jiwanya itu.Nisha juga rindu, tapi tetap harus melanjutkan hidup. Selain itu dia juga sibuk mengantar anak ke sekolah, menjalankan bisnisnya, atau meet up dengan sahabat-sahabatnya. “Nis,” panggil Elza.Nisha menyeruput es americanonya sebentar, lalu menatap sahabatnya itu. “Hm?”“Cowok yang kemarin ada di rumah duka itu siapa?” tanya Elza hati-hati.“Pak Akbar? Gurunya Efa.”Vika dan Elza saling bertukar pandang, sebelum menatap Nisha kembali.“Bukan yang pakai baju PNS, yang pakai kemeja hitam.” Elza menelan air ludah. Sepertinya Nisha belum juga mengerti apa maksud ucapannya. “Yang itu, loh. Yang rambutnya lebat, matanya agak gede, rahangnya tuh gagah banget gitu.” Vika juga membantu menjelaskan.Nisha pun menepuk tangannya sekali. “Oh, itu. Andreas. Kenapa?”“Kayaknya dia ada rasa, deh sama kamu, Nis.”“Em

  • Suamiku Doyan Selingkuh   #Bab 96. Jodoh Sang Guru Killer

    Tiba-tiba Nisha berdiri. Sontak, Akbar ikut berdiri. “Aku permisi dulu,” pamit Nisha tiba-tiba.“Tunggu!”Nisha menoleh. Tatapannya seolah berkata tidak ingin mau tahu apa yang terjadi sekarang ini. Dia hanya ingin pergi dan pulang ke rumah. “Ada yang harus aku jelaskan ke kamu,” ucap Akbar dengan wajah serius.Nisha terdiam bagai manekin seraya menunggu Akbar mendekat. Bola matanya sempat bergetar. Degup jantungnya terdengar jelas oleh telapak tangan yang menangkup dada. Dinginnya hembusan angin malam tidak serta merta mampu menghapus piluh mengalir di keningnya.“Sepertinya ada kesalahpahaman di sini,” simpul Akbar.“Kesalahpahamam?”“Iya. Baik itu apa yang Andre atau kamu pikirkan sekarang.” Akbar berhenti karena sudah tepat berada di dalam jarak satu kaki di hadapan Nisha.“Memangnya, apa yang kupikirkan ... menurutmu?” Nada bicara Nisha agak turun di akhir kalimat.“Kamu mengira kalau aku menyukai kamu, Nisha. Oh, lebih tepatnya menaruh perasaan sama kamu.”“Haha.” Tawa Nisha t

  • Suamiku Doyan Selingkuh   #Bab 95. Akhirnya Dinner Juga

    “Mama mau ke mana?” tanya Efa curiga karena menjelang malam belum ada tanda-tanda Nisha berniat pulang dari butik. Malah Bunda Ana disuruh mengendarai mobil untuk mengantar Efa dan Bahri pulang. Mencurigakan? Banget.“Mama mau pergi sama Mami Elza,” jawab Ana membantu.Efa menoleh ke arah Ana, lalu kembali pada Nisha. “O, ya?! Pakai dandan segala.” Tidak segampang itu membohongi gen-Z satu ini.“Dandan gimana? Biasa aja,” dalih Nisha lantas masuk ke kantornya. Ditinggalkannya Efa yang masih menatapnya penuh curiga.Setengah jam kemudian, Nisha melambai singkat ke arah mobil merah yang biasa dikendarainya. Namun, kini sosok Ana yang berada di balik kemudi. Sementara itu, Efa terus saja menatap sang mama tanpa mengedipkan mata. Bahkan, terkesan sinis. Ditambah lagi mulutnya yang manyun. “Emangnya Mami Elza bisa keluar malem-malem begini, Bun? Bukannya dia paling malas keluar malam karena anak-anaknya sudah tidur jam segini?” tanya Efa dalam satu tarikan napas.“Mungkin dijagain sama s

  • Suamiku Doyan Selingkuh   #Bab 94. Di Antara Dua Pilihan

    Almira, Bianca, dan Shareefa duduk di kantin. Hal biasa yang mereka lakukan kalau sedang istirahat begini. Ini bukan istirahat biasa, mereka baru saja habis mengikuti mapel olahraga.Tatapan mereka tertuju pada sosok Pak Akbar, yang tengah menghukum anak yang ketahuan menuju kantin di jam pelajaran. Terlebih lagi lima anak lelaki yang berdiri di dekat pintu kantin itu tidak ada yang berpenampilan rapi. Penggaris besi terarah ke bagian pinggang Angga —anak kelas satu. “Kenapa kamu berkeliaran tanpa menggunakan ikat pinggang? Mana ikat pinggangmu?!”“Kelupaan pakai, Pak,” jawab Angga tanpa merasa bersalah.“Jongkok!” teriak Pak Akbar bergema di kantin.Decakan kesal Angga terdengar jelas, namun tetap mematuhi apa yang dikatakan Akbar. “Squat jump 25 kali. Habis itu kembali ke kelas.”Dengan helaan napas berat, Angga meletakkan tangannya di bagian belakang leher dan mulai squat jump.“Kamu lagi!”Yudi melirik penggaris yang menyeruak masuk di antara rambut lembatnya. “Jangan dipotong, P

  • Suamiku Doyan Selingkuh   #Bab 93. Bukan Urusanku Lagi

    Nisha mendekati dinding pembatas dapur dengan bagian restoran. Meskipun dapur berada di bagian tengah, tapi tidak merusak nuansa mewah restoran itu.Nisha berhenti tepat di sebelah Andreas, yang tengah menyeruput segelas jus buah bercampur soda.Melihat kedatangan Nisha, Daniel pamit secara halus untuk kembali mengawasi para staffnya. Andreas menoleh tepat ketika wanita berhijab itu berada di sisinya. Ia sedikit terkejut namun dengan mudah dikendalikannya emosi itu.Dia tersenyum sumringah pada Efa dan Bahri yang melambaikan tangan ke arahnya seraya menuju lobi. Kemudian tersenyum tipis pada Salma, Sarah, Firdaus, juga Bella yang dibalas dengan perlakuan serupa. Lantas, kembali menatap Nisha seolah bertanya ada apa.Sementara Firdaus melirik dari kasir ketika menemani Sarah membayar biaya makan malam mereka. Lagi-lagi, dia tidak tahu kalau Bella memerhatikan dari lobi.“Saya mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Bahri tadi sampai luka begitu.” Nisha menunjuk samar luka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status