Share

Bab 2

Bagiku, berkumpul ketika Aksa pulang ada senang dan sedihnya. Ya, lebih banyak sedihnya. Sebab, kedua mertuaku tidak hentinya menyanjung dan memujinya. Aku memikirkan perasaan Bang Agam, dia hanya bisa diam. Sering kali aku memintanya untuk menjawab jika sekiranya tidak enak dengan ucapan Ibu atau Bapak. Akan tetapi, dia hanya menjawab, "Abang tidak mau ada keributan, Dek. Biarlah, suatu saat nanti mereka akan sadar, kalau masih punya anak lain selain Aksa." 

"Makasih banyak ya, Nak, kemarin uangnya sudah Bapak terima. Padahal, gak usah kirim uang kalo mau pulang," ujar Bapak. 

Perasaanku sudah tidak enak saja. Aku dan Rima saling berpandangan. Sepertinya, pikiran kita sama. 

"Gak apa-apa, Pak. Mumpung aku dapet rezeki lebih." 

"Iya, tapi tumben kamu kirim uang sampe 5 juta untuk Bapak? Memangnya kamu gak banyak kebutuhan?" 

Mulailah cerita Aksa yang ternyata mempunyai usaha. Kami di sini tidak tahu menahu. Katanya, kejutan untuk keluarga. Dia mempunyai kafe bernuansa anak muda di daerah tempat kerjanya. Dibantu dengan beberapa teman karibnya, Aksa memulai usaha. 

Pujian mengalir begitu lancar dari mulut Bapak dan Ibu. Kulirik Bang Agam yang hanya diam. Sesekali dia mengecek ponselnya. Aku tahu, suamiku itu jenuh. Seharusnya, acara kumpul keluarga begitu menyenangkan, bukan menjadi ajang pamer atau mengunggulkan hanya salah satu anak saja. Jika Bang Agam tidak berani menjawab, biarlah aku yang akan melakukan itu. 

"Alhmdulillah, jadi itu alasan kamu tidak pulang, Sa? Padahal, Ibu selalu termenung di teras menunggu kepulanganmu. Beliau bukan hanya butuh uangmu, tetapi kepedulianmu juga," sindirku. 

Semua mata memandang ke arahku. Aku tak acuh saja, berpura-pura kalau ucapanku tidak ada salah sedikit pun. 

"Emm ... ya begitulah, Mbak. Aku--" 

"Tentu saja Aksa sibuk jika mempunyai usaha. Kamu gimana, sih, Mbak!" potong Ibu cepat. 

Tuh, kan! Sudah kuduga, Ibu pasti akan membela putranya itu. Hah, ingin sekali aku berkata lebih pedas dari ini. Akan tetapi, tahan dulu. Ini belum saatnya aku beraksi. 

"Ya walaupun sibuk, bisa kali, Bu, pulang sekitar dua bulan sekali," timpalku tidak mau kalah. 

Ibu mendelik sebal, mungkin dia tidak percaya, menantu yang selalu diam ini bisa berbicara pedas. Habisnya, aku sudah tidak tahan dengan sikap beliau. Ya Allah, maafkanlah kesalahanku. Bukan aku tidak menghormati beliau, tetapi meskipun Ibu adalah orang tua kami, jika salah memang seharusnya diingatkan. 

"Dek, Abang mau pergi ke rumah Pak Wijaya. Beliau mengirim pesan untuk membersihkan kolam renang," ujar Bang Agam. 

"Iya, Bang." Aku mencium punggung tangannya. 

"Mau sampai kapan kamu menjadi pembantu, Gam, Gam." Bapak berkomentar seraya menggeleng. 

"Aku pamit, Pak." Tanpa menggubris perkataan ayahnya, Bang Agam pergi. 

Ibu kembali melanjutkan obrolan tadi dengan anak kesayangannya. Lihatlah sikap tidak sopan Aksa, dia malah tersenyum sambil memainkan ponsel. 

Jika dulu sopan santun sangat diajarkan kepada Bang Agam dan Alan, tetapi pengecualian buat Aksa. Aku tahu cerita itu dari suamiku sendiri. Katanya, dulu saat Bang Agam remaja, Bapak begitu ketat. Dari mulai sekolah, mengaji, sampai hal lainnya. 

Bapak akan marah besar jika suamiku tidak berangkat sekolah. Padahal, Bang Agam sedang tidak enak badan. 

"Kamu alasan saja! Main bisa, giliran masuk sekolah alasan tidak enak badan," teriak Bapak waktu itu. 

Bang Agam yang merasakan sakit di kepala, terpaksa berangkat sekolah. Waktu itu, dia masih SMP, tetapi sudah mulai belajar mencari uang. Sebab, Bapak belum seperti sekarang. Hanya mempunyai dua kota sawah, itu pun tidak luas. 

Tanpa sepengetahuan Bapak dan Ibu, Bang Agam membantu bapak temannya untuk membersihkan rumah majikannya. Upahnya bisa ditabung untuk keperluan sekolah, lumayan untuk mengurangi beban orang tua. Namun, semua itu tidak pernah terlihat oleh Bapak dan Ibu. Betapa malangnya nasib suamiku. Anak kandung rasa anak tiri, nyata adanya. 

"Kamu sedang berkirim pesan dengan siapa, Nak? Pacar kamu, ya?" Ibu bertanya seraya tersenyum. 

"Emm ... doakan saja, ya, Bu. Dia temen kerjaku, orangnya sangat cantik." 

Aku menyenggol sikut Rima. Adik iparku menoleh, lalu aku berbisik, "Mbak tidak sabar rasanya melihat calon Aksa. Apa dia akan bisa tinggal di kampung, apalagi serumah sama mertua." 

Rima menahan senyum, lalu menyahut dengan berbisik juga, "Iya, Mbak. Aku harap, istri Aksa pelitnya sama kaya Ibu." 

Ya ampun, aku dan Rima tidak kuat ingin tertawa. Ya Allah, ampuni kami. Berdoa buruk tidak baik, sebab doa apa pun akan berbalik kepada kita. 

"Ya Allah, astagfirullah. Doain gak boleh yang buruk-buruk, ya, Rim," bisikku. 

"Iya, Mbak. Ya Allah, ampuni kami." 

Bapak mengajak kami ke taman belakang. Di sana ada gazebo tempat beristirahat atau berkumpul. Beliau mengajak membuat sate. Katanya, dia sudah membeli daging khusus untuk penyambutan Aksa. 

Sungguh, pantaskah beliau berbicara seperti itu di saat Bapak tahu kalau salah satu keluarga anaknya ada yang tidak memasak lauk? Ya, Bapak dan Ibu tahu aku tidak masak untuk merayakan hari ini. Kemarin, saat aku datang untuk membantu, Ibu bilang, "Mbak, bantuin masak opor ayam, sambal goreng kentang hati, bihun goreng, kerupuk, sama bumbu kacang, ya." 

Belum juga aku dan Bang Agam masuk, Ibu sudah menyebutkan hal apa saja yang harus kulakukan. 

"Biarkan kami masuk dulu, Bu. Istriku bukan pembantu yang bisa langsung disuruh-suruh." 

"Bukan begitu, Gam. Ibu hanya memberitahu." 

Ibu berjalan ke arah dapur, aku menegur Bang Agam. Jangan berbicara seperti itu! Namun, sekarang aku pun sudah muak dengan sikap Ibu dan Bapak. Mereka harus diberitahu secara perlahan agar tersadar. 

"Apa Ibu masak tidak kebanyakan?" tanya Bang Agam saat kami sudah sampai di dapur. 

"Enggak lah, kan adek kamu mau pulang. Itu semua kesukaan Aksa. Masa kamu lupa." 

"Oh." Bang Agam hanya menjawab begitu. 

Tidak lama kemudian, Bang Agam berpamitan untuk pulang menjaga Asti. Meskipun putri kami sudah berumur sepuluh tahun, tetapi tetap saja khawatir jika bermain tanpa pengawasan. 

"Kamu gak sibuk kan, Mbak?" tanya Ibu setelah Bang Agam pergi. 

"Tidak, Bu. Aku tidak masak apa pun untuk besok," sahutku agak malu. 

"Kenapa? Agam gak ngasih kamu uang?" 

Aku mengangguk pelan, lalu menjelaskan bahwa Bang Agam tidak bekerja karena tak ada panggilan. 

"Ibu pun tidak beli apa-apa, hanya sayuran yang tadi Ibu sebutkan saja." 

Hatiku perih seketika saat Ibu menyebutkan 'hanya' padahal beliau akan memasak banyak untuk menyambut Aksa. 

Sekarang, Bapak malah berbicara membeli daging khusus untuk anak bungsunya itu. Hah, orang tua Bang Agam memang sama saja. Keduanya tidak mencerminkan bahwa mereka adalah orang tua yang bijak. 

Memang benar, berharap kepada manusia adalah kecewa yang disengaja. Iya, aku berharap Bapak atau Ibu memberi sedikit lauk untuk kami di rumah. Nyatanya, yang ada dalam pikiran mereka hanya Aksa, si anak paling disayang. 

"Mbak, kamu ambil dagingnya, lalu potong-potong, ya," titah Ibu. 

"Iya, lalu apa lagi, Bu? Biar sekalian." 

"Sama bumbunya, Mbak. Arang juga, ada di bawah meja kompor." 

Aku berjalan dengan langkah malas. Aku harus menetralkan hati yang bergemuruh. Ya Allah, semoga aku diberikan kesabaran serta kekuatan untuk menghadapi semua ini. Lembutkanlah hati kedua mertuaku. 

"Mbak, melamun aja!" tegur Rima. 

"Eh, Rim, kamu mau ambil apa?" 

"Mau bantuin Mbak. Ibu tadi minta dibawakan kipas angin dan perintilan untuk membuat sate. Mbak-nya udah pergi tadi." 

Aku tidak mendengar saat Ibu meminta semua itu. Mungkin, karena hatiku sedang jengkel makanya tidak fokus. 

"Lagian, Ibu sama Mbak kaya bukan sama menantu. Nyuruh aja kerjaannya. Ibuku, ya, Mbak, sama menantunya gak gitu-gitu amat." 

Aku mendengarkan ocehan Rima. Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu memang sangat pengertian. Dia itu termasuk menantu yang beruntung. Sebab, Ibu tidak sering memerintahnya, mungkin karena keluarga Rima orang berada dan juga Alan mempunyai usaha yang terbilang sukses. Pastilah uang mengalir dari Alan untuk Ibu. Mana berani beliau menyuruh Rima seperti menyuruhku. 

"Udah, jangan ngedumel aja! Nanti Ibu dengar, kan bahaya." 

"Habisnya aku kesel, Mbak. Ibu baik sama aku begitu karena akhir-akhir ini Bang Alan memberi uang lebih dari biasanya," sahutnya, "oh, iya, alhamdulillah, kemarin kami dapat orderan seragam untuk di pabrik, Mbak," lanjut Rima. 

Alhamdulillah, Alan memang membuka usaha konveksi. Aku tahu perjuangannya saat awal-awal merintis usaha. Sekarang, usahanya itu sudah cukup besar. 

"Ini ada titipan dari Bang Alan untuk Mbak." 

Rima memberikan amplop langsung ke tanganku. 

"Rim, gak usah. Buat Salsa saja, kamu juga pasti banyak kebutuhan," tolakku tidak enak hati. 

"Gak apa-apa, Mbak. Ini sudah rezeki Mbak. Ambil, ya! Jangan bilang sama Ibu, tahu sendiri beliau seperti apa." 

Akhirnya aku menerima amplop itu. Ujung mataku telah basah, di saat sedang butuh begini, Allah memberi pertolongan melalui tangan Rima. Alhamdulillah, besok aku bisa membeli beras dan kebutuhan lainnya. Belum lagi, nanti Bang Agam mendapatkan upah dari Pak Wijaya, bisa untuk uang sekolah Asti. 

"Mbak, lama banget ketimbang ngambil daging dan bumbu aja," teriak Ibu. "Ayok, buruan! Aksa sudah gak sabar ingin makan sate," lanjutnya. 

Duh Gusti, seandainya beliau bukan orang tua, mungkin aku sudah mencak-mencak sambil memarahinya. 

"Mbak, buatkan minuman yang seger-seger, ya. Cepat, ya!" titah Aksa tanpa merasa berdosa. 

Sungguh, rasanya aku ingin memukul kepalanya sekarang juga. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status