Share

Bab 3

Cuaca semakin terik, aku bertugas membakar daging, iya, mau siapa lagi? Sedangkan Ibu, Bapak, dan Aksa duduk manis di gazebo. Ibu terlihat sedang memotong timun, alhamdulillah, jadi aku tidak repot sendirian. 

Kulihat Bapak menyodorkan keranjang buah kepada Aksa. Beliau sudah seperti pelayan saja. Mengupas dan memotong buah-buahan untuk anak kesayangannya. 

Sementara itu, Rima sedang melihat anak-anak di ruang keluarga. Takutnya, mereka pergi keluar rumah tanpa sepengetahuan kami. Sebab, Alan bilang akan pergi sebentar karena ada urusan. 

"Mbak, satenya udah mateng?" teriak Ibu. 

"Sudah, Bu." 

Aku bergegas membawa sate yang telah matang ke gazebo. Kami duduk lesehan. Ibu ke dalam rumah dulu untuk memanggil Rima serta anak-anak. Adik iparku benar, sikap Ibu agak berubah. Biasanya, beliau juga tidak terlalu perhatian kepada istri Alan tersebut. Ternyata, kasih sayang kami hanya diukur dengan materi. 

Namun, aku masih tidak mengerti, mengapa Ibu dan Bapak masih berharap diberi lebih oleh anak-anaknya? Padahal, dengan sawah dan kontrakan yang Bapak miliki, beliau tidak akan kekurangan uang. Ya, meskipun harga sewa kontrakan di sini tidak mahal, tetapi lumayan bukan? Belum lagi uang yang selalu Aksa beri. Entah berapa  nominalnya, yang jelas Ibu selalu bercerita kepadaku serta para tetangga kalau kehidupannya dijamin oleh anak bungsunya. 

Aku agak ragu dengan ucapan Ibu. Jika kehidupannya dijamin oleh Aksa, mengapa terkadang beliau mengeluh tidak punya uang? Apa maksudnya tidak punya uang puluhan juta gitu? 

Pernah suatu hari aku meminjam uang kepada Ibu, sebab Bang Agam belum mendapat panggilan lagi. Beliau bilang, tidak punya uang, hanya ada dua ratus ribu. Aku pinjam seratus untuk membeli beras. Ibu tidak bisa meminjamkan uang, tetapi alhamdulillah beliau memberi satu karung kecil padi untuk aku giling.

Aku meminjam uang kepada Rima untuk biaya penggilingan padi. Seperti biasa, adikku itu malah memberi bukan meminjamkan. Padahal, keuangan dia juga sedang sulit karena Alan masih merintis usahanya, belum banyak langganan. 

"Asyik, satenya udah mateng!" sorak Salsa. 

"Sekarang sudah kumpul semua, ayok, makan!" titah Ibu. 

Aku mengambilkan sate untuk Asti beserta ketupatnya. Ibu dengan cekatan memisahkan sate ke dalam piring yang berbeda untuk Aksa. Ya, sespesial itu adik bungsu Bang Agam. Kata Ibu, takut satenya habis oleh anak-anak, ya Allah. 

Alan datang sembari membawa es teh. Dia duduk di samping Rima. Adik kedua Bang Agam itu, sangat perhatian dan sayang sekali kepada istrinya. Seperti saat ini, jemari Alan bermain dengan rambut Rima. Digulungnya rambut itu menggunakan jari, lalu diuraikan kembali. Rima menoleh sembari senyum-senyum. Ah, mereka sangat manis. 

"Dalam piring itu sate siapa? Buat Bang Agam?" tanya Alan. 

"Bukan, Nak, itu buat Aksa," jawab Ibu. 

"Mbak Risa, ambil satenya buat Bang Agam sama ketupatnya juga. Kasihan kan, nanti Abang pulang pasti lapar," titah Alan. 

Aku belum berani mengambil sebelum ada perintah dari Ibu atau Bapak. Sebab, aku tahu diri. Siapa aku di mata mereka. 

"Agam biar nanti bikin lagi, Lan," ujar Bapak santai. 

"Kelamaan, Pak," jawab Alan agak kesal sepertinya. "Udah, Mbak, ambil aja." 

Aku menatap Rima, dia mengedipkan matanya. Akan tetapi, tetap saja aku tidak berani. Namun, tanpa diduga, Alan mengambilkan makanan itu dan diberikannya padaku. 

"Simpan di lemari dapur, Mbak. Lalu, jangan lupa nanti bawa pulang untuk Bang Agam." 

Aku menerimanya sembari melirik ke arah Bapak dan Ibu. Mereka masih tak acuh saja, menyantap makanan tanpa terganggu sedikit pun. Aksa makan sambil memainkan ponsel. Aku ingin sekali menegurnya, apalagi dia menyahut ucapan Bapak tanpa menatap orangnya langsung, tidak sopan! 

"Aksa, awas nanti kamu salah ambil! Taruh saja dulu ponselnya," ujarku pada akhirnya. 

Aksa menoleh, lalu dia menyimpan ponselnya dengan wajah masam. Bapak menggeleng pelan. Aku tidak peduli, beliau pun sering menegur suamiku karena hal sepele, mengapa Aksa tidak ditegur juga? 

Setelah selesai makan, azan Zuhur berkumandang. Sudah biasa, jika berkumpul di rumah Bapak, para lelaki akan pergi salat ke masjid. Ya, ketiga anak  beliau memang dibiasakan seperti itu. Akan tetapi, kalau di rumah sendiri, baik itu Alan atau Bang Agam, tidak selalu pergi ke masjid. Terkadang, suamiku akan salat di rumah karena baru pulang kerja. Ya, aku tidak memaksanya untuk ke masjid, setelah memberitahunya secara baik-baik, tetapi dia tidak menggubris, yasudah, yang penting Bang Agam melaksanakan kewajibannya. 

"Loh, Pak, Aksa gak diajak ke masjid sekalian?" tanya Alan. 

Alan dan Bapak sudah rapi dengan baju koko serta sarung. Ayah dan anak itu akan pergi ke masjid.  

"Enggak, kasihan dia capek, Lan. Mau istirahat dulu katanya." 

Kulihat Alan mengembuskan napas kasar, mungkin ingin menjawab, tetapi malas ribut, seperti Bang Agam. Akhirnya, lelaki beda generasi itu berangkat ke masjid hanya berdua. 

Aku sangat ingat saat pertama kali tinggal di rumah ini. Bapak sering marah ketika Bang Agam salat di rumah. Katanya, lelaki harus salat di masjid. Ya, itu memang benar, tetapi cara Bapak dalam mengajak atau mengingatkan, selalu membentak. Karena anak sulungnya sering tidak menurut, akhirnya Bapak tidak pernah lagi menegur untuk urusan itu. 

Aku dan Asti salat lebih dulu di mushola rumah, sedangkan Rima menjaga Salsa, dan Ibu melaksanakan salat di kamarnya. 

Setelah Rima dan aku selesai salat, kami menuju dapur untuk mencuci piring bekas makan tadi. Meskipun orang tua Rima cukup kaya, tetapi dia tidak jijik atau malas untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Alan beruntung memiliki istri seperti Rima.  

"Mbak, udah selesai? Lantainya udah selesai aku pel." 

"Sudah, Rim. Makasih, ya, sudah bantu." 

Rima mengangguk, lalu kami menuju ruang keluarga menemani anak-anak main sama mainan baru pemberian Aksa. 

Di sana sudah ada Ibu, beliau menemani cucu-cucunya bermain. Ada senang menyelimuti hati. Sebab, Ibu jarang sekali bercanda dengan mereka, terlebih dengan putriku. Maka dari itu, Asti tidak begitu dekat dengan neneknya, pun dengan ibuku. 

Terkadang, aku dan Bang Agam sama-sama mengeluh tentang sikap keluarga kami. Tak jarang air mata meluncur bebas membasahi pipiku. Kukira hubungan darah akan lebih kuat dibandingkan dengan uang, tetapi aku salah. Apalagi melihat sikap mertua seperti yang tidak peduli dengan Bang Agam. 

Aku dan Rima duduk lesehan di samping Ibu. Beliau menoleh sekilas, lalu kembali bermain dengan anak-anak. 

"Mbak Rima, makasih banyak, ya, uangnya udah Ibu belanjakan dipakai keperluan." Ibu membuka obrolan. 

Ada nyeri menyelinap diam-diam ke dalam hatiku. Aku belum bisa memberikan materi yang melimpah seperti adik-adik Bang Agam yang lain. 

"Sama-sama, Bu." Hanya itu jawaban Rima, dia menatapku. Mungkin, dia takut aku tersinggung atau bagaimana, aku tersenyum lembut ke arahnya. Memberi tahu, kalau aku baik-baik saja. 

***

Sepulang dari rumah Ibu, aku langsung menyiapkan sate dan ketupat yang tadi untuk Bang Agam. Ya, bakda Asar tadi, suamiku pulang dan menjemputku di rumah Ibu. 

Aku memberikan makanan kepada Bang Agam, dia tersenyum lembut. Kuperhatikan wajahnya yang tampak lelah, sepertinya suamiku itu bukan hanya membersihkan kolam renang. Bajunya pun kotor dan basah oleh keringat. Aku menahan sesak di dada, betapa dia sudah berusaha sekuat tenaga. Ya Allah, lancarkanlah urusan suamiku dalam mencari rezeki. 

Bapak atau Alan bukan tidak membantu, tetapi Bang Agam tidak mau menerimanya. Dia bersikukuh ingin menunjukkan kepada Bapak kalau dia bisa berhasil tanpa bantuan. 

Sebelum menikah, Bang Agam bekerja menjadi pelayan di mall. Keterbatasan ijazah, membuat dia kesulitan mendapatkan pekerjaan. Setelah menikah satu tahun lebih, barulah Bapak memberi satu petak sawah untuk Bang Agam. Waktu itu, sawah Bapak belum banyak. Suamiku senang telah mendapat bantuan dari orang tuanya. Dia dengan rajin mengurus sawah, ya, meskipun masih dibantu oleh Mang Ujang, tetangga kami. Sebab, suamiku belum terbiasa. 

Namun, tiba-tiba Bapak menjual sawah itu untuk biaya sekolah Aksa dan Alan. Terlebih untuk Aksa, dia tidak mau bersekolah di tempat biasa. Dari mulai SMP sampai perguruan tinggi, dia bersekolah di tempat favorit. Tentu saja biayanya tidak murah. Bang Agam sangat kecewa dengan keputusan Bapak, tetapi mau bagaimana lagi, dia tidak punya kuasa untuk membantah atau tidak memberikan sawah tersebut. Sejak saat itu, suamiku tidak mau lagi mendapat bantuan apa pun dari Bapak. Bang Agam berpikir, mengapa harus sawah yang sedang digarapnya yang dijual? Padahal, Bapak mempunyai sawah lain. 

"Dek, melamun aja. Ada apa?" tanya Bang Agam. 

"Eh, enggak, Bang." 

Aku segera membawa piring yang telah kosong ke dapur. Lalu, menghampiri Bang Agam kembali. Kupijat betisnya pelan, dia tampak menikmati. 

"Bagaimana tadi di rumah Ibu?" tanya Bang Agam. 

"Kami membuat sate dan makan bersama." 

"Apa ada hal lain lagi?" 

Aku mengerti maksud pertanyaan Bang Agam. Setiap kali aku pulang dari rumah Ibu, pasti suamiku menanyakan hal lain. Dia sangat hafal dengan sifat orang tuanya. Pasti akan ada ucapan yang menyakitkan hati. 

Aku mengulas senyum seraya menggeleng. Kuharap, Bang Agam percaya. Akan tetapi, suamiku tidak bisa dibohongi. Dia mengusap kepalaku, lalu berujar, "Terima kasih sudah kuat dan sabar menjadi istriku." 

Ungkapan itu membuatku sesak karena haru. Kami bersitatap, sorot mata Bang Agam masih sama seperti dulu, begitu teduh. Lelaki beralis tebal itu mengusap pipiku. Ah, pipi ini masih saja menghangat ketika disentuh olehnya. 

"Mengapa kamu tetap baik kepada Ibu dan Bapak?" Pertanyaan Bang Agam membuatku mengerutkan kening. 

"Aku bahkan tidak bisa sepertimu, Dek. Tidak bisa bersikap baik kepada orang-orang yang telah menyakitiku, tetapi kamu berbeda. Itulah, mengapa aku sangat mencintaimu." 

"Mungkin itu alasan kita berjodoh, Bang. Berbuat baik itu kepada siapa aja, Bang. Soalnya, kita tidak tahu melalui tangan siapa kita akan mendapatkan pertolongan." 

Akhirnya, kami mengobrol sampai menjelang Magrib. Bang Agam menyerahkan uang hasil dari membersihkan kolam renang di rumah Pak Wijaya. Aku mengucap syukur sambil menerima uang itu. 

"Dek, aku ingin cerita sesuatu, tapi kamu jangan marah, ya?" 

Mataku memicing menatap Bang Agam. Tidak biasanya dia memulai percakapan dengan pertanyaan seperti itu. Ah, lebih tepatnya permohonan agar aku tidak marah. Pria berhidung bangir itu menatapku tanpa berkedip. Mungkin menunggu jawabanku dengan harap-harap cemas. 

"Cerita apa, Bang? Jangan bikin aku takut, deh!" 

Bang Agam mengembuskan napas pelan, lalu menjawab, "Sebenarnya ...." Bang Agam menggantungkan kalimat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status