Share

Suamiku Menjadi Sultan
Suamiku Menjadi Sultan
Penulis: Rita Juwita

Bab 1

"Mbak, setelah ngupas kentang selesai, langsung goreng, ya!" ujar Ibu Tini. 

"Iya," sahutku pelan. 

Aku menyeka keringat yang bercucuran dari kening. Pasalnya, dari Zuhur sampai sekarang bakda Isya, pekerjaan memasak belum selesai. Aku sampai meninggalkan Asti dan Bang Agam. Mereka anak serta suamiku. 

Ibu Tini adalah mertua rasa majikan. Ya, kenapa aku mengatakan begitu? Sebab, beliau sering kali meminta bantuanku untik membereskan rumah atau memasak. Apalagi, jika anaknya yang bungsu akan pulang. Sebenarnya, aku tidak masalah, tetapi beliau seperti menganggapku pembantu kalau sedang menyuruh-nyuruh. 

Adik bungsu Bang Agam pun sama, dia tidak menghormati suamiku sebagai kakaknya. Selalu menganggap rendah hanya karena Bang Agam tidak bekerja kantoran seperti dirinya. 

"Sebentar lagi ketupatnya mateng, opor ayam udah mateng, Mbak?" tanya Ibu. 

Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Suara takbir menggema dari beberapa masjid. Entah kenapa, air mata tidak bisa kucegah. Jika di rumah Ibu aku memasak banyak makanan, tetapi tidak di rumahku. Di sana, hanya ada nasi sisa bekas buka puasa. Lauk pun hanya tahu goreng, itu pun tinggal beberapa potong. 

Sebelum ke rumah Ibu, aku mengeluh kepada Bang Agam tidak mau disuruh oleh beliau. Suamiku tidak memaksa, katanya, "Terserah kamu saja, Dek. Nanti Abang akan cari alasan untuk bilang sama Ibu." 

Akan tetapi, aku mengingat pesan ibuku, katanya, "Anggaplah mertuamu ibumu juga, Nak." 

Tidak berapa lama, aku meminta Abang jangan memberi alasan apa pun karena aku akan datang. Suamiku tahu, kalau ibunya bersikap kurang baik padaku. Ah, bukan hanya kepada aku sebagai menantu, tetapi kepada Bang Agam juga. Bahkan, Asti pun tidak mendapatkan perhatian lebih dari nenek kakeknya. 

Namun, aku selalu berpikir, cukup kasih sayang dari Bang Agam saja. Dia adalah suami dan ayah terbaik baik kami. Besok, Hari Raya Iedul Adha. Sudah dua tahun adik bungsu Bang Agam tidak pulang. Alasannya, sulit meminta izin. Aku tidak percaya, bekerja di mana pun, pasti akan libur jika mendapati tanggal merah, apalagi hari besar seperti sekarang. 

Mertuaku percaya saja, beliau bahkan selalu membela anaknya ketika para tetangga bertanya. Katanya, anak bungsunya itu bekerja di bagian penting di kantor. Jadi, tidak sembarangan bisa cuti. 

Selain menjadi pembela, Ibu juga selalu mengharumkan nama Aksa. Katanya, kehidupan beliau dijamin oleh anaknya itu. Terkadang, ada sakit yang menyelinap diam-diam. Mengapa Ibu selalu berkata demikian? Apa karena suamiku jarang memberi uang? 

Bang Agam memang jarang memberi uang, tetapi kasih sayangnya kepada Ibu sangatlah besar. Seperti saat beliau kesusahan memasang pompa air, daripada meminta ahlinya dan memerlukan biaya, suamiku berusaha untuk memasangnya atau saat Bapak sakit, suamiku yang akan diminta untuk mengantar ke sana kemari. Uang ongkos tentunya dibayar oleh suamiku. Ibu tidak tahu, kalau mengantar Bapak atau dirinya ke rumah sakit, Bang Agam akan menahan lapar karena uangnya habis dipakai ongkos tadi. 

Aku segera mengahapus air mata saat terdengar langkah seseorang. Ternyata Rima, adik iparku juga. Ibu mempunyai tiga orang anak, semuanya lelaki. Rima istri dari Alan, adik kedua Bang Agam. 

"Mbak, aku aja yang masak bihun goreng. Kasihan, Mbak capek udah bantuin dari tadi." 

Ya, Rima benar. Aku sangat lelah, memasak banyak makanan serta membereskan perabot yang telah dipakai. 

"Gak apa-apa kalau kamu yang lanjutin?" tanyaku tidak enak hati. 

"Enggak, Mbak. Lagian, aku udah selesai masak di rumah. Makanya aku ke sini." 

Aku hanya menyelesaikan menggoreng kentang saja. Biarlah yang menyelesaikannya Rima. Dia juga bilang, kalau Asti sedang main di rumahnya bersama Salsa. Aku akan segera pulang, lalu menjemput Asti. 

Kebetulan, rumahku, Ibu, dan rumah Rima berdekatan. Jadi, tidak perlu naik kendaraan untuk mengunjungi satu sama lain. 

"Loh, Mbak Risa mau ke mana?" Ibu menghampiriku dan Rima. 

"Emm ... aku mau pulang, Bu. Kepalaku agak pusing, biar Rima aja yang terusin," jawabku. 

Ibu mengembuskan napas kasar. Beliau seperti tidak suka dengan jawabanku. 

"Yasudah, makasih, ya, Mbak. Besok makan di sini, ya. Soalnya, Aksa mau bagi oleh-oleh. Katanya, udah beli banyak hadiah buat keponakan-keponakannya." 

Aku terpaksa mengulas senyum. Bukan tidak senang dengan undangan makan dari Ibu serta oleh-oleh yang dibawa Aksa. Akan tetapi, aku sudah hafal sifat Ibu. Setiap kali Aksa datang, pasti dia akan memamerkan hasil kerjanya. 

"Anak-anak, ini Om bawa makanan mahal. Pasti kalian suka. Kalian belum pernah beli, kan?" 

Seperti itulah Aksa, selalu menyombongkan diri. Aku bergegas pulang, tidak ingin menumpahkan tangis di depan beliau.  

***

Jam setengah enam pagi tadi, Rima sudah berkunjung. Dia memberiku ketupat dan opor ayam. Ah, adikku ini memang sangat pengertian. Aku tidak tahu harus berkata apa. Kata Rima, "Aku tahu Mbak gak masak. Jadi, ini aku bawa makanan buat kalian." 

Aku menangis haru saat menerima semua makanan itu. Di antara ketiga anak Ibu, hanya suamiku yang belum berhasil. Dia juga yang dipandang sebelah mata oleh orang tuanya. 

Kini, aku, Asti, dan Bang Agam akan ke rumah Ibu. Aksa sudah sampai sejak semalam katanya. Sesampainya di sana, adik bungsu Bang Agam sedang makan dengan lahapnya. Tanpa memedulikan kami, dia hanya menjawab salam tanpa menghampiri Bang Agam sebagai tanda menghormati sebagai kakak tertua. 

"Agam, sana samperin adek kamu!" titah Bapak tanpa merasa bersalah. 

"Dia yang seharusnya menghampiri aku, Pak. Mencium tanganku sebagai kakaknya, pengganti orang tua ketika nanti Bapak dan Ibu tiada." 

"Kamu ini, masalah seperti ini saja sampai berpikir panjang begitu. Apa salahnya kamu yang menghampiri lebih dulu," timpal Ibu. 

Aku berusaha menenangkan Bang Agam. Kugenggam jemarinya agar dia tidak menjawab dengan emosi. 

"Sudah-sudah! Apa yang dikatakan Bang Agam benar, Pak, Bu. Harusnya Aksa yang menghampiri kami sebagai tanda menghormati." Alan menengahi, Bapak dan Ibu melengos pergi. 

"Sudahlah, Bang, seperti tidak tahu sifat Bapak Ibu saja. Yuk, kita duduk di ruang keluarga." Ajak Alan, kami akhirnya melangkah menuju ruang keluarga. 

Setelah Aksa selesai makan, dia menghampiri kami, mencium tangan kami takzim. Aku menanyakan kabarnya, setelah dua tahun tidak pulang. Dia hanya menyunggingkan senyum sedikit sambil menjawab baik. 

"Anak-anak, Om Aksa bawa oleh-oleh buat kalian," seru Ibu. 

Tentu saja anak-anak bersorak gembira. Aksa mulai mengeluarkan beberapa dus makanan dan mainan untuk Salsa dan Asti. 

Ibu Bapak terus memuji keberhasilan Aksa tanpa memikirkan perasaan kedua anaknya yang lain. Ya, terutama perasaan suamiku yang hanya jadi tukang kebun. Sungguh, hatiku terasa tersayat sembilu mendengarnya. 

"Nah, Gam, kamu harus contoh adikmu. Dia gajinya udah besar, loh. Sekitar 7 juta perbulan, ya, Nak?" 

Ucapan Bapak seperti anak panah yang menancap tepat ke jantung. Bang Agam hanya diam, aku ingin segera pergi saja dari rumah ini. 

"Iya, Pak, alhamdulillah. Semoga nanti aku bisa mendapatkan gaji lebih besar lagi," jawab Aksa jemawa. 

Lalu, mengalirlah cerita tentang betapa royalnya Aksa kepada Bapak dan Ibu.  Pemuda itu selalu mengirim uang setiap bulannya. Padahal, mertuaku bukan orang susah. Mereka mempunyai sawah entah berapa hektar dan beberapa pintu kontrakan. 

"Pak, aku berniat membeli sawah Bapak. Biar aku ada penghasilan tambahan," ujar Aksa dengan entengnya. 

"Oh, sama kontrakan juga. Boleh, kan, Pak?" lanjut Aksa. 

Bang Agam dan Alan saling pandang. Pasti keduanya memiliki pemikiran yang sama. 

"Gak bisa begitu, dong, Sa! Itu kan sumber penghasilan orang tua kita. Lagi pula, kamu kan jauh di kota, repot nanti," sahut Alan. 

"Kenapa gak bisa? Abang iri, ya? Sawah dan kontrakan, kan, punya Bapak. Terserah beliau mau dijual atau enggak." Aksa menyolot, Alan pun tak mau kalah. 

Bapak dan Ibu hanya diam saja. Padahal, aku sudah gemas ingin memberitahu Aksa kalau apa yang dia inginkan kurang tepat. Milik orang tua, kok, pengen dimiliki juga. 

Ibu menengahi, beliau menawari Alan dan Bang Agam untuk makan. Untungnya, tadi kami sudah makan dengan opor serta ketupat dari Rima. Kalau tidak, pasti Asti akan merengek ingin cepat makan. Lalu, seperti biasa, besoknya akan ada laporan yang membuatku tidak enak hati, lebih tepatnya membuatku sakit hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status