Share

Dua

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2021-09-24 17:39:36

Tubuh ini begitu lelah, apalagi setelah seharian menangisi kebusukan Mas Randi. Beban di pundak terasa berat untuk kupikul. Rasa itu masih teramat sakit, sungguh tak percaya jika suamiku melakukan perselingkuhan dan menodai janji suci pernikahan kami.

 

Luka itu memang tak berdarah, tapi menorehkan sakit teramat dalam. Aku mengintip dari jendela kamar saat terdengar suara mobil Mas Randi memasuki halaman rumah. Apa yang akan dia lakukan lagi? Masih berani dia menampakkan batang hidung di depan wajahku.

 

Beberapa teman arisan banyak yang bernasib sama. Padahal, mereka selalu bilang aku adalah orang yang paling beruntung karena usia pernikahan kami panjang. Mas Randi suami , dan tak pernah banyak menuntutku. Akan tetapi, hal itu kini menimpa diri ini. Nasib pernikahan kami di ujung tanduk.

 

Suara ketukan pintu membuat aku tersadar dari lamunan. Pria itu sudah berada di hadapan, dia tahu kalau aku tidak pernah mengunci kamar ini. 

 

“Yas,” ucap Mas Randi. 

 

“Jangan mendekat. Menjauh dariku, Mas.”

 

Walau aku menolak, Mas Randi tetap mendekat dan memeluk erat. Aku benci saat hati ini kembali luluh dengan pelukan hangat darinya. Dorongan kuat membuat dia terhuyung hingga tersudut di tembok.

 

“Maafkan, aku.”

 

“Aku benci kamu, Mas.”

 

“Aku tidak bermaksud menutupi hal itu dari kamu, Yas. Citra anak dari Pramono, sahabat lamaku yang meninggal satu tahun lalu dan dia menitipkan Citra untuk aku sekolahkan.”

 

“Juga untuk kamu nikahkan?”

 

Mas Randi bergeming. Aku sudah tahu jawabannya, sunggu hati ini begitu teriris. 

 

“Bukan begitu, awalnya memang hanya ingin membantu karena aku kasihan. Namun, maafkan aku, Yas. Aku khilaf.” 

 

Tubuh kekarnya merosot ke lantai sembari memohon maaf padaku. Netra Mas Randi memerah, tapi hal itu tak akan bisa menggantikan rasa sakit di hati.

 

“Pergilah, Mas. Aku tidak sudi bermadukan gadis belia. Aku muak padamu!”

 

Andai saja kamu tahu rasa sakit ini menggerogoti seluruh tubuhku. Semua hal tentang indah pernikahan akan kuhapus permanen dari hidup ini.

 

“Yas, aku tidak bisa hidup tanpa kamu dan Raka. Maafkan aku,” tuturnya.

 

“Ck! Kamu pikir aku bisa hidup dengan pria seperti kamu? Mebayangkan kamu bersama gadis seumuran Raka saja membuat aku muak!”

 

“Sekali ini, beri aku kesempatan, Yas.”

 

Aku memalingkan wajah menghindari mata teduh Mas Randi. Aku yang terluka kali ini, kenapa perasaan ini tak karuan.

 

“Jawab jujur, Mas. Apa kamu sudah menikahi wanita itu?”

 

Lagi-lagi Mas Randi bergeming. “Jawab, Mas?!”

 

“Aku tidak menikahinya.”

 

“Lalu, untuk apa kalian di hotel kemarin?”

 

Jantung ini berdetak tak karuan memikirkan apa yang mereka lakukan di sana.

 

“Astagfirullah, Mas. Dia masih sekolah, mau kamu apa, Mas?”

 

“Aku hanya bertanggungjawab memberikannya uang untuk sekolah, Yas. Karena kesalahanku, dan dia harus tetap bersekolah selayaknya anak seumuran dia.”

 

“Gila kamu, Mas! Zaman sekarang bisa lewat atm, jangan kira aku bodoh.”

 

Makian demi makian aku lontarkan pada Mas Randi. Akan tetapi dia tetap diam mematung di hadapanku. Kepalaku terasa berat hingga semuanya terasa kabur dan gelap.

 

--GaluhArum---

 

“Mama udah sadar?” 

 

Sebuah pertanyaan terdengar saat mata ini mulai terbuka. Raka anakku kini berada di kamar ini. Ke mana Mas Randi?

 

“Papa kamu ke mana?”

 

“Papa di luar bersama Dokter Aldo. Apa yang dia perbuat sampai Mama seperti ini?”

 

Aku bisa melihat netra Raka memerah, kebencian begitu terlihat dari sudut mata itu. Anak itu sudah dewasa hingga dia bisa tahu mana yang baik dan tidak. Perasaan Raka mungkin sama hancurnya seperti diri ini. Namun, dia tak banyak bicara hanya terus mengusap punggung tanganku.

 

Mas Randi terpaku di ambang pintu. Seperti ragu ingin masuk dan menghampiri. Walau jauh, aku bisa melihat wajahnya penuh luka. Siapa yang membuat dia seperti itu? Apa Raka anakku? Tapi, itu tidak mungkin karena Raka adalah anak yang sopan dan tidak akan melukai orang tua. Kini, Mas Randi menghilang di balik pintu. 

 

“Mama jangan banyak pikiran. Raka nggak mau mama sakit, pelakor itu akan mendapatkan balasannya.”

 

“Apa yang mau kamu lakukan?”

 

“Entah.” Raka menaikka bahu.

 

“Jangan gegabah. Mama tidak ingin masa depan kamu rusak.”

 

“Tenang, Ma.”

 

Mendengar Raka berbicara, membuat aku tenang. Anak kesayanganku dan harta paling berharga saat ini. Dendam itu masih teramat sulit terlupakan mengingat tanggungjawab Mas Randi pada temannya. 

 

Namun, pertanggungjawaban seperti apa yang mengharuskan dia membiayai semua kebutuhan gadis itu? Aku harus mencari tahu semuanya. 

 

Badai itu datang terlalu tiba-tiba membuat aku tak siap menyambutnya. Tempat mengadu dan bermanja kini sudah tak nyaman untukku. Mas Randi mengambil keputusan tanpa meminta persetujan dari aku. Padahal jika dia mau menceritakan masalahnya, mungkin keadaannya akan berbeda.

 

“Raka mau pergi ekskul, Mama istirahat, ya?” 

 

“Iya.” 

 

Sebelum pergi Raka mencium kening dan punggung tanganku. Dulu aku sangat berunting memiliki dua pria setia di sampingku. Akan tetapi, kini hanya tinggal satu pria yang menemani hari-hariku.

 

--GaluhArum—

 

Aku bergegas keluar rumah setelah mendapat informasi dari orang suruhan tentang Citra. Walaupun tubuh ini masih terasa berat, tapi demi mengetahui semua kebohongan suamiku, kini aku sudah berada di depan rumah Citra.

 

Benar saja, belum lama aku menapakkan kaki di halaman. Terdengar deru mobil menghampiri rumah ini. Secepat kilat aku bersembunyi di samping pohon mangga agar tak terlihat.

 

Itu mobil Mas Randi. Dia turun bersama Citra masuk ke rumah itu. Jantung ini berpacu sangat cepat. Baru saja dia memohon maaf, tapi kini pria itu sudah bersama selingkuhannya lagi. Ada apa ini? Apa benar dia sudah tak mencintaiku lagi?

 

Perlahan diri ini melangkah maju ke rumah itu. Memindik demi mendengarkan apa yang terjadi sebenarnya. Dari jendela aku bisa melihat jelas wanita tua duduk sembari tersenyum menerima kedatangan Mas Randi. Sementara, Citra datang membawakan teh hangat untuk suamiku. Manis sekali seperti keluarga bahagia, tapi mereka lupa ada aku yang terluka.

 

“Terima kasih banyak bantuan Pak Randi. Citra bisa sekolah dan kami bisa hidup layak.”

 

Jelas sekali terdengar suara wanita itu berbicara. Memang jarak ini begitu dekat dan hanya tertutup hordeng lusuh.

 

“Tidak apa-apa, Mba. Saya juga diwasiatkan Pak Pram untuk menjaga kalian.”

 

“Saya tidak bisa memberikan apa- apa. Hanya mendoakan semoga Pak Randi bisa mendapatkan pasangan hidup lebih baik setelah perceraian. Sudah cukup lama bukan, ya? Pak Randi bilang satu tahun lalu?”

 

“Iya.”

 

Apa? Perceraian? Siapa yang bercerai dan siapa yang akan mendapatkan jodoh? Apa aku tak salah mendengar? Aku meremas ujung hijab, napas ini naik turun hingga terasa sesak. Demi Allah, aku benci mendengarnya. Allah .... 

 

--Galuh Arum—

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Sugar Daddy   Empat Puluh dua (End)

    "Sus, masih ada pasian nggak?" tanyaku pada suster Bella."Nggak ada Dokter.""Saya mau pulang, terimakasih, Sus.""Sama-sama."Aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Angel. Namun, merek semua tidak menemuiku di rumah sakit, melainkan menunggu di rumah. Bikin penasaran saja.Sengaja aku menemui dokter yang menangani Angel. Untung dia sedang tidak ada pasien jadi mau menemuiku dan sedikit berbincang. Katanya, tidak banyak yang berubah dari Angel. Jangan bersenang hati dahulu takutnya dia kembali depresi.Membuat hati Angel senang, itu yang akan aku lakukan. Karena hidup di dunia ini memang untuknya. Ah, bucin sekali aku semenjak tahu Angel audah sembuh, dan berimajinasi macam-macam. Termaksud, memiliki anak banyak darinya. Mungkin gara-gara Suster Bella tadi bicara seperti itu, membuat aku kepikiran.Gegas aku pulang ke rumah, tidak sabar untuk bertemu dengannya. Apalagi melakukan

  • Suamiku Sugar Daddy   Empat Puluh Satu

    "Kamu ikhlas, nggak, Ka?""Aku ikhlas, Lun. Sekarang pun kalau dia mau pergi, aku ikhlas."Bibir ini lancar sekali mengucapkan kata ikhlas. Namun, bagaimanapun aku pernah merasa menyesal memutuskan berpisah dengan Angel.Saat ini, apa aku harus menggenggam dia lebih lama dan mempertahankannya?"Aku bangga punya Abang kaya kamu ,Ka.""Bikin, ge-er, deh."Kami tertawa bersama, mengingat masalah yang akan kuhadapi nanti, aku pun pasrah. Mungkin akan ada penolakan dari Angel nanti. Lebih baik kau kembali ke kamar, tapi kamar siapa?Aku menggaruk leher, bagaimana aku bisa lupa kalau Angel seperti mengusir tadi. Aku berada di sini pun karena Angel.Tidak mungkin aku tidur di kamar Luna atau Mama. Bisa-bisa mereka mentertawakan aku."Ke kamar kamu saja, jelaskan padanya. Toh, nanti pun kamu pasti akan menjelaskannya."Saran dari Luna membuat aku sadar.

  • Suamiku Sugar Daddy   Empat Puluh

    Mama bertanya kembali apa aku mau tinggal bersama mereka. Mama bisa membantu Ibunya Angel dalam merawat Angel. Namun, aku ragu, karena Angel masih suka histeris dan menyerang.Jika kutolak, Mama pasti sedih. Ia menginginkan aku tetap bersamanya. Sepertinya aku harus meminta pendapat pada Ibu mertuaku, juga Om Hendri jika aku tinggal di sana dengan kodisi istriku yang seperti ini."Kondisi Angel belum stabil, apa tidak akan menggangu kalian?" tanyaku diikuti anggukan Ibu mertua."Nggak, Ka. Kita bantu Angel bersama, Mama mau kalian bahagia secepatnya." Penuturan Mama mambuat aku tersentuh.Aku melirik Om Hendri, seolah meminta pendapatnya. Pria berjas hitam itu tersenyum dan memberikan anggukan tanda dirinya juga setuju dengan permintaan Mama."Demi kebahagiaan kamu, Ka. Mama rela melakukan apa pun, Mama tahu kamu mencintai Angel. Seharusnya Mama mendukung kamu dalam proses menyembuhkannya."Lagi, Mama membuat ak

  • Suamiku Sugar Daddy   Tiga Puluh Sembilan

    "Sah." Kalimat itu menggema beberapa jam lalu, disaksikan beberapa orang dari keluarga dan tetangga sekitar rumah Angel. Mereka menyaksikan acara sakral kami.Mama akhirnya menerima pernikahanku dengan Angel. Diiringi isak tangis, ia memelukku erat. Aku tahu ia kecewa, tetapi ini pilihan, dan jalanku. Tidak ada resepsi pernikahan, hanya ada akad biasa yang setelah itu selasai setelah ijab kabul.Mama masih bisa memberikan senyum pada ibunya Angel. Ia pintar menyembunyikan perasaan, dan menjaga perasaan orang lain. Tidak seperti sinetron, dia bersikap tenang, seolah memang ia menerima pernikahan ini dengan ikhlas.Semalam ia menyerah dan memberikan restunya. Ia bilang selalu mendoakan yang terbaik untukku. Kini, aku harus berjuang sebagai seorang suami. Mengembalikan Angel seperti dulu. Menyembuhkan depresi yang dialaminya.Dengan balutan kebaya putih, ia terlihat san

  • Suamiku Sugar Daddy   Tiga Puluh delapan

    Malati bangkit, tetapi cepat aku menarik lengannya meminta ia kembali duduk, untuk mendengarkan penjelasanku. Bola matanya memutar malas, ya, aku tahu kesalahan membuat wanita berprasangka tidak baik.Seperti yang dikatakan Mama, jangan memberikan seseorang harapan jika kita tidak bisa memberikannya kepada dia. Ah, mumet urusannya."Mel, dengerin aku, ya. Maaf, sebelumnya telah membuat kamu merasa aku memberikan perhatian lebih. Jujur, aku tertarik denganmu. Namun, semuanya tidak bertahan, karena aku masih mencintai Angel.""Laki-laki memang semua buaya. Karena suaminya tidak ada, dan dia tidak sadar, kan? Kamu memanfaatkan keadaan saat Angel sakit? Iya, kan?""Aku nggak seperti yang kamu bicarakan. Aku sungguh mencintai Angel. Aku mau dia sembuh, masalah dia setelah sembuh mau bersamaku atau tidak, aku ikhlas.""Bulsyit,mana ada orang seperti itu. Ka, aku nggak kenal sama kamu, dan sampai saat ini, aku tida

  • Suamiku Sugar Daddy   Tiga Puluh Tujuh

    Mama memintaku untuk berpikir ulang menikahi Angel. Namun, aku tetep pada pendirian awal untuk meminang Angel menjadi istriku.Hari ini sengaja aku datang ke rumah Papa untuk meminta pendapatnya. Apa sama dengan yang mama pikirkan atau berbeda. Sudah lama sekali aku tidak meminta pendapat pria yang begitu lama aku musuhi."Pa, aku ingin bicara, bisa?""Raka, kapan datang?""Tadi, Pa. Papa asik menonton TV.""Iya, sampai nggak tahu kamu datang. Bicara apa?""Sebenernya bukan bicara, tapi meminta saran.""Duduk sini."Papa menepuk sofa meminta aku untuk duduk di sampingnya. Aku menghampirinya dan menghempaskan tubuh ini. Film yang ia tonton tidak berubah. Tetap suka denganaction.Raut wajahnya sudah terlihat sangat tua. Namun, sudah lebih segar dari waktu ia bertemu denganku. Mungkin benar kata Budhe Airin, obat kesehatan Papa adalah aku. Bertemu dengan anaknya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status