Ekor mataku melirik ke arah Mas Ibnu yang sedang duduk diam di sebelah Abraham. Mata laki-laki yang sudah menikahiku selama dua belas tahun itu terus saja basah. Dia terlihat sangat terpukul dengan kepergian ibu yang secara mendadak ini.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir lima jam, akhirnya rombongan pengantar jenazah sampai juga di pelataran rumah Ibu. Semua keluarga serta tetangga sudah menunggu, begitu juga Mbak Salamah–ibunya Lusi. Aku turun dari mobil dan langsung menggadeng tangan Mas Ibnu masuk ke dalam rumah.
"Kamu jangan gandeng-gandeng Mas Ibnu di depan umum, Mayla!" teriak Lusi membuat perhatian semua pelayat langsung tertuju kepadanya.
Mas Hansa menarik kasar tangan Lusi dan mengajaknya masuk. Wajah laki-laki berusia lebih dari setengah abad itu terlihat merah padam, mungkin dia merasa malu melihat kelakuan anaknya yang suul adab.
Dengan perasaan tidak karuan kuputar gagang pintu kamar itu, akan tetapi sepertinya mereka sengaja menguncinya dari dalam. Gegas mengambil gawai, menghubungi Abraham dan meminta pria bertubuh jangkung itu datang ke rumah almarhumah ibu."Ada apa, May?" tanya Abraham sembari mengatur nafas. Sepertinya dia kesini dengan berjalan kaki, karena jarak antara rumah ibu dan rumah orangtuanya tidak terlalu jauh."Ssstt!" Menautkan telunjuk di bibir."Kayaknya Lusi sama Mas Ibnu ada di dalam, Bram!" bisikku.Tanpa aba-aba dan menunggu perintah dariku, Abraham langsung mendobrak pintu tersebut, sehingga membuat mata dua sejoli yang sedang dimabuk cinta itu terbelalak kaget."Binatang kamu, Mas. Makam ibu saja masih basah. Dia baru sehari pergi meninggalkan dunia ini, kamu malah sudah mau berzina lagi sama perempuan ular ini. Di mana otak dan pikiran kamu, Mas. Apa kamu nggak mikir perasaan
Lusi menghentakkan kaki, dengan raut wajah menahan emosi. Wanita berpakaian kurang bahan itu masuk ke dalam kamar, tidak lupa membanting pintu dengan kerasnya.***Pagi-pagi sekali Mbak Salamah sudah sampai di rumah ibu membawa sarapan untukku. Wanita yang usianya hampir sama dengan almarhumah ibu itu terus menunduk malu, ketika aku menghampirinya seraya mengulas senyum tipis. Wajah keriput Mbak Salamah terlihat sangat sendu. Ah, mungkin dia merasa sedih memiliki anak tidak beradab seperti Lusi."May," panggilnya pelan sambil melihat wajahku sekilas lalu menunduk kembali."Iya, Mba. Ada apa?" sahutku sebisa mungkin berusaha untuk santai, seolah antara aku dengan anaknya tidak sedang terjadi apa-apa."Maafkan saya karena tidak berhasil mendidik anak. Saya sudah menasihati Lusi panjang lebar, tapi dia selalu melawan saya, bahkan berani memukul saya."Aku
"Ya sudah, Mam. Raihan ke depan dulu nemenin Abi. Kasihan jauh-jauh datang dari pesantren malah dicuekin!" Raihan berjalan melewati Papanya, tanpa berucap sepatah katapun atau hanya sekedar menoleh ke arah Mas Ibnu. Mungkin dia merasa kecewa dengan kelakuan sang ayah."Kamu denger sendiri kan, Mas. Anak kamu dibully gara-gara kelakuan amoral kamu!" sungutku, menatap bengis wajah laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku."Aku minta maaf, Mayla. Aku juga nggak mau kehilangan Raihan. Tolong jangan bawa dia jauh-jauh dari aku, May. Aku mohon!" sahutnya seraya menunduk."Dia sendiri yang bilang, kalau dia tidak mau hidup sama kamu, Mas. Dia maunya hidup sama aku. Lagian, bisa rusak masa depan anakku jika dia hidup sama kamu dan Lusi!" cicitku kesal.Aku segera memasukkan beberapa makanan ringan ke dalam toples dan membawanya keluar, menghidangkan makanan kecil serta teh hanga
"Hati-hati, Bram. Jangan ngerem mendadak seperti ini. Bahaya, loh!" rutukku sembari mengusap dahiku yang sedikit benjol karena membentur dasboard."Kamu nggak apa-apa, May?" Dia hendak menyentuh dahiku, namun mengurungkan niatnya.Yah, biar bagaimanapun Abraham pernah mondok selama enam tahun di sebuah pesantren terkenal di Jombang. Jadi dia tidak mau menyentuh wanita yang bukan mahramnya."Aku nggak apa-apa, Bram. Hanya sedikit pusing!" Terus mengusap-usap benjolan yang ada di keningku sambil meringis sakit.Abraham kembali menyalakan mesin mobilku, melaju membelah jalanan Pantura yang penuh dengan lubang. Kali ini dia lebih hati-hati berkedara, sambil sesekali ekor matanya melirik ke arahku yang masih saja mengelus-elus jidat."Apa perlu ke klinik, May?" tanyanya memecah keheningan."Dih, lebay. Benjol dikit doang ke klinik!" Aku tertawa. 
Aku mengangkat satu ujung bibir. Dasar tukang selingkuh, lihat ada Abraham tidur di dalam rumahku saja sudah marah-marah dan langsung menuduhku main serong. Padahalkan ada Andita juga di rumah ini. Kalau tidak ada dia, mana berani aku mengizinkan Abraham tidur seatap denganku."Kamu itu ya, Mas. Selalu menganggap semua orang itu kaya kamu. Aku sama Bram nggak ngapa-ngapain. Dia cuma numpang istirahat, dan....""Dan apa?" potongnya. " Istirahat di rumah istri orang. Berduaan pula!""Istri orang? Ingat, Mas. Kamu sudah mentalakku. Jadi kita sudah bukan suami istri lagi!" rutukku kesal."Baru talak dua, Mayla. Aku masih bisa merujukmu, dengan atau tanpa persetujuan kamu. Bisa saja sekarang ini aku menarikmu ke kamar, menyuruh kamu melakukan kewajiban sebagai seorang istri dan kamu kembali sah menjadi istriku lagi. Toh, masa Iddah kamu juga belum selesai!"Enak sekali dia berbi
Laki-laki dengan rahang tegas itu sudah berdiri di balik pintu yang tertutup, sambil menyilang tangan di depan dada dan menatap nyalang ke arahku."Ka–kamu mau ngapain, Mas?!" tanyaku setengah takut."Mau ngapain aja terserah aku dong. Ini rumahku dan kamu masih istriku!" jawabnya seraya mendekat."Mantan, Mas. Kamu lupa ya, kalau kamu sudah mentalakku?!""Masih bisa rujuk kan, Mayla?!" Mas Ibnu mencengkram rahangku keras dengan sorot mata penuh amarah.Ekor mataku terus melirik ke kanan dan ke kiri, mencari ponselku ingin menghubungi Abraham."Apa, kamu nyariin ini?!" Menunjukan gawai milikku.Astaghfirullah, kenapa handphoneku ada sama Mas Ibnu. Perasaan tadi aku meletakkannya di atas kasur. Apa dia memang sudah berada di sini sejak aku masuk ke dalam kamar."Kamu pasti ingin menghubungi selingkuha
"Kamu tidak apa-apa kan, May?" tanya Abraham memecah keheningan panjang.Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala."Alhamdulillah kalau begitu. Maaf tadi aku sudah memegang tangan kamu. Tolong jangan marah!" ucapnya lagi, sembari menepikan mobilnya dan membantu mengeluarkan barang-barangku."Terima kasih, Bram." Pelan aku berujar, tapi mungkin masih tertangkap oleh indra pendengarannya Abraham, sebab dia merespon dengan senyuman dan langsung pergi begitu saja.Aku duduk di atas kasur sambil berusaha melupakan apa yang baru saja menimpaku.Mas Ibnu, kenapa kamu begitu tega menyakiti perasaanku berkali-kali seperti ini. Salah aku di mana, Mas. Perasaan, selama aku hidup menjalani biduk rumah tangga dengannya, aku tidak pernah berbuat macam-macam yang memancing amarahnya. Aku selalu menuruti semua perintahnya, menjadi istri yang berbakti kepada suami juga berusaha menjad
Ting!Sebuah notifikasi pesan masuk ke gawaiku. Dari Gus Azmi.Ah, tapi sepertinya Raihan yang mengirim pesan menggunakan ponsel guru ngajinya.Raihan memang sering bercerita kalau Gus Azmi sudah menganggap dia sebagai putra kandungnya sendiri, karena dia sepantaran dengan putra angkat Gus Azmi yang meninggal karena sakit lupus. Raihan juga selalu mendapat perhatian lebih dari kyai Ma'arif ayah kandung Gus Azmi.[Assalamualaikum, Mam. Maaf Raihan sedikit merepotkan. Kalau Mama lagi sempat dan ada uang lebih, tolong belikan Raihan baju koko sama sarung baru ya, Mam. Baju koko Raihan sudah mulai pada kekecilan. Mama juga jangan lupa jaga kesehatan. Jangan banyak-banyak melamun. Sholat yang rajin dan jangan lupa puasa sunah senin kamisnya ya.] Isi pesan dari putraku panjang lebar, dan membuat hatiku mencelos karenanya."Pasti WA dari Ibnu ya? Ketahuan soalnya, mukanya langsung