"Apa? Bagaimana mungkin kamu pemiliknya? Jangan bercanda," aku nyaris tertawa kalau tak melihat ekspresi Dika yang tak berubah.Wajahnya tampak meyakinkan saat mengatakan kalau dirinya adalah pemilik sebuah perusahaan. Dan itu sama sekali di luar dugaan. Aku tak terlalu banyak mengingat tentang pria ini. Karena saat kami satu sekolah dulu, Dika adalah laki-laki pendiam dan seorang kutu buku. Bahkan dulu seringkali menjadi bulan-bulanan siswa lainnya karena Dika tak pernah melawan."Aku benar-benar serius, Zi. Kamu akan mengetahuinya besok. Jadi, datanglah. Barangkali kamu akan mendapatkan tontonan bagus sebagai kejutannya," ucap Dika santai."Baiklah, ini undangannya, bukan?" tanyaku memastikan. Aku mengangkat sebuah kartu berwarna merah berhiaskan warna emas di beberapa bagiannya.Dari tampilan kertas itu saja sudah bisa dipastikan kalau itu bukan sembarang undangan. Aku bisa mencium bau kertas mahal apalagi saat menyentuh bagian berkilau itu yang tak biasa."Tak semua orang bisa men
"Acaranya masih nanti. Tolong jangan terlalu rajin," ucapku seraya menekan tombol hijau pada layar ponsel setelahnya.Sungguh aku merasa kesal dengan sikap Dika yang mulai seenaknya. Acara pesta itu akan dimulai pukul tujuh malam. Tapi dia memintaku untuk berdandan. Aku menolak dengan tegas karena itu akan sangat merepotkan."Mbak," sapa salah seorang perempuan yang terlihat sedikit takut usai mendengar omelanku pada Dika."Iya, Mbak? Ada apa?" tanyaku berubah ramah."Em ... Itu ... Kalau misal Mbak Zizi ngga mau di-make up sekarang, ngga apa-apa kok. Tapi, kami diminta untuk melakukan perawatan tubuh untuk Mbak Zakia dari ujung kepala hingga kaki," ucap perempuan itu lagi.Aku hanya bisa tersenyum dan menuruti perkataan mbak-mbak tadi. Daripada nanti mereka yang kena marah. Bagaimanapun juga ini adalah pekerjaan mereka.Dengan sigap, mereka menyiapkan beragam perlengkapan untukku melakukan perawatan tubuh di rumah. Meski berlebihan, nyatanya mereka hampir memindahkan semua peralatan
"Ada apa ini?" Kudengar suara Dika dari kejauhan membuat pria itu mengalihkan pandangan.Pemandangan di sana membuatku tak percaya. Pria yang tak lain Mas Raka, yang datang dengan seorang wanita itu tampak tunduk dan hormat kepada Dika. Dia tak berkutik dan hanya menundukkan kepalanya sesekali tersenyum canggung seperti antara atasan dan bawahan? Bagaimanapun aku mencoba untuk memahami kejadian di depan sana, aku tetap tak bisa mengerti.Aku memilih menghampiri mereka. Tak mungkin aku membiarkan anakku melihat pertengkaran dua orang dewasa di sana. Meski itu tak terlihat seperti sebuah pertengkaran sih. Tapi tetap saja, Delisha akan mengerti. Apalagi sejak awal tadi gadis kecilku itu ketakutan dan menatap heran kepada ayahnya sendiri yang membawa wanita lain."Zizi?" Bisa kudengar jelas Mas Raka menggumamkan namaku. Sepertinya dia sangat terkejut dengan kedatanganku di sana."Lama tak bertemu, Mas," sapaku sembari tersenyum.Tak mungkin aku berpura-pura tak tahu sementara sosok pria be
"jangan bercanda!" Refleks aku tertawa mendengar perkataan Dika.Pernyataannya terdengar seperti candaan. Terlebih dia mengucapkannya dengan tampang kaku dan serius menatap jalanan di hadapannya. Dia mengucapkannya seolah tanpa beban. Mana mungkin aku bisa percaya?Siapa sangka Dika menepikan mobilnya. Beruntung jalanan tak terlalu ramai sehingga tak ada bunyi klakson sebagai protes dari yang lain karena Dika mendadak memotong jalan. Hanya aku yang protes karena tindakannya yang mengejutkan."Aku serius!" ucapnya setelah mobil benar-benar berhenti dan menepi.Dia menatapku, mengunci diriku dalam pandangannya. Kucoba memberanikan diri beradu pandang dengannya, melihat kemungkinan kebohongan yang mungkin ada di matanya. Namun, tak kutemukan itu. Sorot matanya bahkan kini membuatku semakin terpaku. Dia ... Serius mengajakku menikah?Aku mengalihkan pandangan, tak ingin menatapnya terlalu dalam."Beri aku waktu untuk menjawabnya. Aku tak mungkin bisa menerima kamu karena kamu tahu sendiri
"Tidak disangka kamu sudah sebesar ini. Semakin cantik dan dewasa," puji perempuan paruh baya itu.Aku pun mengernyit. Perkataannya seolah kami kenal sangat lama. Padahal dalam kepalaku sama sekali tak pernah ada ingatan tentangnya. Siapa dia?"Ah, maaf. Namaku Laili. Kamu bisa memanggilku bibi atau tante atau Ibu Laili. Senyaman kamu saja," jawab perempuan itu memperkenalkan diri seolah bisa membaca pikiranku.Wanita anggun itu pun mengulurkan tangannya ke arahku dan kusambut uluran tangan beliau dengan penuh hormat. Dari tutur katanya saja sudah bisa terlihat bagaimana karakternya. Dia begitu lembut, elegan dan bagiku luar biasa."Saya Zhyvanna," sahutku canggung.Dia pun tersenyum dan mengangguk."Bagaimana harimu? Aku cukup lama mencarimu. Dan baru mendengar kabar tentangmu ... Maaf kalau aku mengorek informasi pribadimu dan membuatmu tak berkenan," papar Bu Laili menyesal."Tidak masalah, Bu. Terima kasih sudah memberikan atensinya kepada saya. Akan tetapi, apa kita pernah bertem
"Mau apa kamu ke sini?""Di mana Delisha?" tanya pria yang seenaknya nyelonong masuk ke dalam rumahku.Siapa lagi yang tak sopan seperti itu jika bukan mantan suamiku, Raka. Entah bagaimana caranya dia bisa datang ke sini tanpa permisi."Untuk apa kamu mencari Delisha?"Aku berusaha menghentikan Mas Raka yang terus berusaha mencari Delisha yang tengah beristirahat saat ini. Entah apa yang akan dilakukannya pada anak sekecil itu. Mengingat hal yang terjadi saat pesta, membuatku khawatir Mas Raka akan menyakiti Delisha yang masih belum tahu apa-apa."Duduklah. Kita bicarakan baik-baik," pintaku berusaha membujuknya.Pria itu pun menurut lalu berjalan menuju ruang tamu dan mendaratkan bobot tubuhnya di satu-satunya sofa panjang di sana. Dia dengan santainya bersandar dan menyilangkan kedua kakinya, menatapku dengan angkuh, tak seperti Mas Raka yang ku kenal dulu."Ada apa kamu mencari Delisha. Dan bagaimana bisa kamu menemukanku di sini?""Itu bukan hal yang susah untuk mencarimu, Zi," u
"A-Aku-""Aku memang mau ke sini karena ada yang mau aku diskusikan denganmu perihal bisnis kita," potong Rafa cepat."Kalau kamu?" Aku kini menoleh kepada Dika, menanti jawaban pemuda itu akan alasan apa yang membuatnya datang ke rumahku."Emm, a-aku hanya sekadar lewat. Ya, aku tadi cuma lewat," ucapnya setengah gugup.Aku menganggukkan kepalaku. Tak ingin memperpanjang tentang alasan mereka. Aku mempersilakan mereka duduk. Sementara aku hendak menuju dapur untuk membawakan mereka minuman. Tapi mereka menolak. Mereka memintaku untuk diam dan duduk saja, beristirahat."Kami bisa ambil sendiri," ucap Rafa yamg dijawab anggukan oleh Dika.'Tumben mereka berdua kompak,' batinku.Aku hanya bisa menurut saja. Lagipula kepalaku masih cukup pusing untuk menghadapi dua orang pria dewasa ini."Delisha," ucapku lirih.Aku khawatir Delisha terbangun dan terganggu dengan keributan saat ini. Meski tak seberisik saat kedatangan Raka, tetap saja dua orang pria ini cukup membuat suasana tenang menja
"Kalian? Ngapain itu dibawa juga?" Aku tak habis pikir dengan tingkah dua orang ini. Mereka yang tadinya ribut, kini mendadak akur. Benar-benar jelmaan Tom dan Jerry kartun. Namun, ini versi manusia. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat keanehan mereka. Padahal beberapa menit lalu mereka masih beradu pendapat, dan kini malah memiliki pemikiran yang sama. Dan anehnya, itu perihal makanan. "Sayang kalau dianggurin. Mubadzir kalau ngga diabisin. Iya nggak?" kata Rafa sembari menyenggol lengan Dika. Dika pun mengangguk cepat mengiyakan perkataan Rafa. "Lumayan 'kan buat cemilan selama perjalanan. Bisa hemat juga buat jajan," ungkap Dika tak kalah konyol. What?! Pria sekelas Dika yang tergolong orang kaya berpikir penghematan untuk jajan gorengan? Tunggu! Apa aku sedang bermimpi? Dua pemuda itu semakin hari semakin aneh dan menyebalkan. Terlebih saat ini mereka berjalan mendahului meninggalkanku yang masih mengolah kejadian barusan. "Nanti kita main sepuasnya di play ground, y
Seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di salah satu kursi ruangan itu menoleh ke arahku. Tanpa sadar kedua mataku membola, sementara tanganku refleks menutup mulutku yang sedikit menganga. Sama sekali tak pernah kusangka kalau wanita di hadapanku kini ternyata ibu dari seorang Rafa. Padahal aku sudah lama mengenal Rafa, baru kali ini bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya. "Apa masih perlu perkenalan lagi?" tanya Rafa seraya tersenyum. Aku menoleh ke arahnya, masih sedikit tak percaya dengan situasi yang ada. Ini benar-benar sesuatu yang sama sekali tak pernah aku duga sebelumnya. "Silakan duduk," ucap Bu Laili yang entah kapan sudah berdiri dan kini ada di sampingku, mengusap lenganku seolah berusaha menenangkan aku dari rasa keterkejutan ini. Aku pun menurut dan mengucap terima kasih. Kami bertiga duduk berhadapan. Rasa canggung masih begitu jelas kurasa. Membuatku sesekali melakukan kecerobohan tanpa sengaja. Berulang kali ku ucap maaf. Dan berulang kali ku dapatk
"Aku mau kamu untuk tidak menyerah tentangku," ucapnya sendu. Pemuda itu masih menatapku sementara aku tak berani membalasnya. Bagiku, permintaan itu cukup berat. Aku tidak yakin akan sanggup memikulnya. "Hanya itu?" tanyaku singkat. Dia mengangguk penuh semangat. Ada binar di kedua matanya yang membuatku tak tega. Namun, sepertinya untuk kali ini aku harus tegas pada pemuda yang kini masih ada di hadapanku. "Mama ...." Suara gadis kecilku menginterupsi pembicaraan kami. Dia masih mengucek kedua matanya yang belum sepenuhnya terbuka. Wajahnya masih kusut khas bangun tidur. Hanya saja itu tetap menggemaskan. "Om Dika," sapa Delisha meraih tangan Dika dan mencium punggung tangan pria itu dengan hormat. Kini bisa kulihat bagaimana Delisha cukup berjarak dengan Dika. Tak seperti saat dengan Rafa. Biasanya gadis kecilku akan merentangkan kedua tangan minta diraih dan digendong oleh Rafa. Begitupun Rafa, dia akan senantiasa menghampiri Delisha, menyejajarkan tingginya dan menghi
"Karena kamu mengenalnya," sahut Rafa membuatku tertegun sejenak. Kedua mataku menyipit, sementara isi kepalaku masih terus berpikir berusaha menggali memori siapa saja paruh baya yang mungkin saja aku kenal. Namun, tak ada sedikit pun petunjuk akan kalimat Rafa. "Mana mungkin. Kita berteman lama tapi kamu tak pernah mengenalkan orangtuamu padaku," ucapku terkekeh. "Ah, memang salahku tak mengenalkan mereka padamu sejak dulu. Kalau tau begini, bisa jadi kamu menikahnya denganku. Bukan dengan dia," canda Rafa. Aku tersenyum miring tapi membenarkan perkataannya. Mungkin saja seperti itu, bukan? "Aku akan mengabari mu lagi, kapan kita akan bertemu mamaku," ucap Rafa dan ku jawab dengan anggukan. Barangkali bertemu dengan mamanya Rafa bisa membuatku tak lagi trauma dengan mertua, bukan? Aku harap mamanya Rafa sebaik Rafa kepadaku. Dan semoga itu bukan hanya harapan kosong saja. *** Rafa sudah pulang beberapa jam yang lalu. Di rumah, aku kembali berdua dengan putri kecilku yang sed
"Siapa yang akan menikah?" Aku menoleh ke arah datangnya suara. Seorang pria lantas berjalan mendekati kami dengan tatapan serius. Kedua matanya nyaris tak berkedip saat menatap tajam ke arahku dan Rafa. "Om Dika," sapa Delisha dengan senyum manisnya. Ah, gadis kecilku sangat pandai mencairkan suasana. Yah, meski itu tak bertahan lama. Pasalnya, Delisha mengajukan pertanyaan polosnya kepada Dika. "Om, kalau Om Rafa menikah dengan mama, berarti Om Rafa jadi papa baru aku, 'kan?" tanyanya membuatku menahan napas. Berbeda denganku, Rafa justru terlihat santai melihat interaksi Delisha dan Dika. Dia bahkan tersenyum penuh kemenangan atas suatu kompetisi yang tak pernah dimulai. "Kau curang," desis Dika. Aku masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dia ucapkan pada Rafa. Dan aku hanya memutar kedua mataku malas. Kalau sudah begini, rasanya ingin aku seret mereka ke kandang macan. Biar mereka berkompetisi dengan macan saja! "Kalau berantem lagi, silakan pergi!" ucapku pada akhirny
"A-aku ...." "Aku masih menunggu jawabanmu mengiyakan pertanyaanku, Zi," ucap Rafa tanpa berkedip menatapku. Aku yakin dia tahu kalau aku jadi salah tingkah saat ini. Hanya saja, aku masih bingung, tak yakin dengan diriku sendiri. Pasalnya, setelah pernikahanku yang gagal, rasanya aku tak layak untuk kembali merasakan sesuatu yang namanya cinta. Meski aku tahu Rafa benar-benar serius dan yakin kalau aku layak untuknya. Tapi, tetap saja aku merasa tak layak untuk siapa-siapa. "Beri aku waktu-" "Sampai kapan?" sela Rafa membuatku tercekat. "Aku sudah memberimu banyak waktu, Zi. Tapi, untuk kali ini, maaf ... Aku harus mendesak mu, atau mungkin memaksamu menerimaku. Aku tau kamu masih takut dan mungkin trauma. Akan tetapi, tak ada salahnya untuk mencoba, bukan?" papar Rafa tanpa ragu. "Tidak bisakah kamu jujur pada dirimu sendiri?" Kalimat terakhir Rafa membuatku sedikit terusik. Sejujurnya memang ada sesuatu yang diam-diam mengusik pikiranku. Salah satunya adalah kedekatan
"ngga mau ngobrol sama dia?" tawar Dika, "untuk yang terakhir kali ... Eh, untuk pertama kalinya sebagai mantan, mungkin?"Aku bergeming menatap Mas Raka yang kemudian berbalik meninggalkan pengadilan. Ku lihat langkahnya terseret meninggalkan gedung megah yang menjadi saksi perpisahan kami berdua. Jujur hatiku masih terasa sedikit berat. Namun, logikaku berjalan begitu cepat seolah mengatakan kalau dia layak mendapatkannya. Bukankah dia akan mendapatkan keluarga baru dari hubungan dengan selingkuhannya itu?Seharusnya aku kasihan pada diriku sendiri. Bukan mengasihani pria itu. Terkadang masih ada ragu, sanggupkah aku melewati hari setelah ini? Meski dalam beberapa waktu lalu bisa melewati hari dengan baik, bagaimana dengan Delisha nanti?"Zi?" Lambaian tangan di depan wajahku diiringi suara pria yang memanggil membuyarkan lamunanku."Ayo kita pulang saja," ajak ku."Nggak jadi makan siang bareng?" tawar Dika. Dia menoleh ke arah Rafa dan Dika yang menunggu kami tak jauh dari mobil.
"itu tidak seperti yang kamu tuduhkan, Zi. Aku—" pria di hadapanku seolah kehabisan kata. Dia tak berani menattap ke arahku saking gugupnya. Wajahnya pun terlihat lebih pucat dibanding sebelumnya.Begitu pula dengan wanita yang masih berdiri dengan anaknya tak jauh dari tempat kami. Dia terlihat gugup dan pucat sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Kulihat dia menarik ujung lengan baju Mas Raka, memohon untuk pergi dari sana karena malu.Aku tak peduli meski jadi bahan tontonan sekali lagi. Karena itu adalah kenyataannya, mereka yang melakukan pengkhianatan."Aku tak percaya kalau kamu tidak pernah tidur dengan suamiku," ucapku mengarah pada Cindy."Jaga bicara kamu!" Tangan Mas Raka terayun dan hampir mengenai pipiku. Namun, sebuah tangan dengan sigap menghalau tangan pria itu."Kalian lagi!" ucap Mas Raka dengan nada mengejek.Kulihat dia sudah tak peduli dengan Dika dan tampak tak sopan, tidak seperti saat pesta waktu itu. Mas Raka terlihat tidak takut dengan keberadaan Dika di
"Hanya apa?" desak Rafa dan Dika nyaris bersamaan."Mama! Om Rafa dan Om Dika kompak ya? Seperti kartun kembar, ngomongnya barengan," ucap Delisha yang tiba-tiba menyela.Aku pun tersenyum mendengar celotehnya. Benar, Rafa dan Dika akhir-akhir ini sepertinya selalu kompak. Apa karena mereka sering bertemu akhir-akhir ini ya?"Katakan, Zi. Apa kamu masih menyimpan rasa pada mantanmu sehingga kamu tak bisa menerima orang baru di hidupmu saat ini?" desak Dika.Pria itu terlihat tidak sabar. Mungkin karena dia terbiasa menjadi seorang atasan, sehingga dia sedikit lupa kalau saat ini kami bukan di lingkungan kerja. Apalagi aku bukanlah karyawan Dika.Aku menghela napas berat. Mengakui sebuah perasaan bagi seorang perempuan itu amatlah susah. Apalagi perempuan itu diciptakan sebagai makhluk gengsian. Dan aku tak menampik akan hal itu. Aku menatap Dika dan Rafa bergantian. Jelas sekali mereka menunggu jawaban yang akan aku berikan."Jujur, perasaan cinta yang pernah ada di antara kami rasany
"Mama!" Delisha langsung turun dari kursi yang ia duduki lalu berlari menghambur ke arah ku. Kusambut gadis kecilku dengan penuh senyum. Sehari tak bertemu dengannya membuatku sangat rindu. Kupeluk tubuh mungil Delisha dengan sangat erat, rasanya tak ingin lagi kulepas. Setelah pengkhianatan Mas Raka, hanya Delisha lah satu-satunya orang yang sangat berharga untukku. "I-ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Zi," ucap Raka menginterupsi. Pria itu gelagapan dan terlihat canggung saat melihatku di sana. Apalagi Cindy! Ke mana sikap arogan yang sering dia tunjukkan saat bertemu denganku? Apa dia mulai merasa bersalah? Oh, sepertinya tidak. Wanita itu sepertinya tak tahu malu untuk mengakui kesalahannya yang berkencan dengan suami orang. Ya, bagaimanapun secara dokumen negara Mas Raka masih suamiku karena akta cerai kami masih sedang dalam proses. Namun, ada rasa syukur karena itu akan menjadi bukti kongkrit bahwa ada wanita lain dalam pernikahanku dengan Mas Raka. Hanya saja, aku teta