LOGIN
"Selamat ulang tahun pernikahan kita yang ke satu," ucap Vita sambil tersenyum lebar.
Arga mengangguk, kemudian mendekat untuk mengecup kening Vita. "Terima kasih sudah bertahan dengan aku selama setahun ini," ucapnya lembut. Malam ini adalah tepat satu tahun sejak Vita dan Arga mengikat janji sebagai suami istri. Mereka meniup lilin bersama di atas kue kecil buatan Vita dengan tulisan: Happy 1st Anniversary, Arga & Vita. Tepat setelah lilin padam, suara dering ponsel terdengar. Arga buru-buru merogoh saku celananya dan melihat ke layar ponselnya. Ekspresinya berubah sepersekian detik saat ia melihat siapa yang menelepon. Namun sedetik kemudian, ia kembali tersenyum. "Maaf sayang, aku angkat telepon sebentar ya," ucap Arga. Tanpa menunggu jawaban dari Vita, Arga beranjak dari kursinya dan berjalan meninggalkan Vita sendiri di ruang makan. Vita menatap lilin yang baru saja padam. Ia menarik napas pelan dan mencoba tersenyum. Ini bukan pertama kalinya Arga bersikap seperti ini. Setelah satu tahun menikah, Vita sudah cukup mengenal kebiasaan suaminya. Arga selalu menghindar saat menerima telepon, terutama jika telepon itu datang di luar jam kerja. Ia akan berpindah ruangan dan memastikan Vita tidak ada di dekatnya saat berbicara. Selain itu, ponsel bagi Arga seperti barang pribadi yang tak boleh disentuh siapa pun, bahkan oleh istrinya sendiri. Dulu di awal pernikahan mereka, Vita sempat mempermasalahkan hal itu. Baginya dalam pernikahan seharusnya tidak ada yang disembunyikan. Semua harus saling terbuka termasuk soal ponsel. Tapi Arga menanggapinya dengan tenang. Ia menjelaskan bahwa ada hal-hal yang bersifat pribadi dan tidak bisa dibagikan, bahkan kepada istrinya sendiri. Bukan karena ia menyembunyikan sesuatu, melainkan karena ia ingin menjaga Vita agar tidak terbebani oleh hal-hal yang seharusnya tidak perlu diketahui. Jawaban itu awalnya terasa ganjil bagi Vita, namun Arga mengucapkannya dengan tenang dan meyakinkan sehingga Vita pun mulai mencoba memahami suaminya itu. Ia berusaha percaya bahwa mungkin memang ada orang-orang yang seperti Arga, tertutup namun tetap mencintai istrinya dengan cara mereka sendiri. Beberapa menit kemudian, Arga kembali ke ruang makan. Wajahnya tampak berbeda, tidak setenang biasanya. Vita memandangnya dengan tatapan heran. "Telepon dari siapa?" tanya Vita. "Dari atasan," jawab Arga sambil kembali duduk di kursinya. Vita mengernyit. "Beliau bilang apa emang? Kenapa telepon malem-malem?" tanya Vita penasaran. Arga tidak langsung menjawab. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, seperti sedang merangkai jawaban yang pas untuk ia berikan kepada istrinya. Sementara itu, Vita masih menunggu jawabannya dengan terus menatapnya tanpa berkedip. "Aku disuruh pergi ke kantor, katanya ada urusan penting," ucap Arga pelan. Vita menatapnya tak percaya. "Ke kantor? Sekarang?" tanya Vita sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam. "Iya," jawab Arga sambil mengangguk. "Tapi kita lagi ngerayain ulang tahun pernikahan loh Mas," ucap Vita lirih, suaranya jelas menunjukkan rasa kecewa. Arga menghela napas pelan, lalu berkata, "Iya Mas tahu. Tapi gimana lagi? Ini perintah dari atasan, mas nggak bisa nolak." Vita tak berkata apapun lagi. Ia hanya memalingkan wajahnya agar tak melihat wajah suaminya. Dadanya terasa sesak. Ia ingin marah, tapi juga tak ingin menjadi istri yang mengekang. Melihat reaksi istrinya, Arga berdiri dari kursinya. Ia berjalan mendekat lalu berjongkok di sebelah Vita. Tangannya menyentuh lutut istrinya pelan. "Mas cuma sebentar, nanti kalau urusannya udah selesai, mas janji langsung pulang. Boleh ya?" bujuk Arga dengan lembut. Vita diam sejenak lalu menarik napas panjang. Akhirnya Vita mengangguk pelan. "Oke," ucap Vita. Arga tersenyum kecil. Ia meraih dagu Vita dengan lembut, berusaha membuat istrinya menoleh. "Lihat sini dong," ucap Arga. Vita sempat enggan, namun akhirnya ia menoleh juga, sekilas ia menatap wajah suaminya yang tampak lelah. "Mas berangkat sekarang ya," ucap Arga kemudian, ia lalu mengecup kening Vita sebentar, sebelum akhirnya berdiri dan berjalan keluar dari ruang makan. Vita tetap duduk di tempatnya, matanya menatap kue buatannya yang bahkan belum ia potong. Vita sudah menyiapkan semuanya sejak pagi. Ia memasakkan makanan kesukaan Arga, ayam lada hitam, tumis sayur, dan sup jagung hangat. Bahkan ia sempat ke salon paginya hanya untuk merapikan rambut dan memoles wajahnya agar bisa tampil lebih cantik malam ini. Namun Vita juga sadar bahwa ia tidak bisa menyalahkan Arga sepenuhnya. Sejak awal Arga memang pernah bilang bahwa pekerjaannya sebagai asisten pribadi direktur perusahaan tidak mengenal waktu. Kadang harus siap dipanggil kapan saja, bahkan pada saat hari libur atau tengah malam sekalipun. Itu sudah jadi bagian dari tanggung jawabnya. Namun tetap saja, Vita tidak menyangka suaminya itu akan benar-benar dipanggil di malam ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Waktu terus berjalan, jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam, namun Arga belum juga pulang. Berkali-kali Vita mengecek layar ponselnya, berharap ada pesan dari suaminya, namun hasilnya nihil. Iamelirik ke arah jendela ruang tamu, kemudian menggeser sedikit tirai dan mengintip ke arah luar. Ia berharap melihat mobil Arga masuk ke halaman rumah, namun kondisi di luar tampak gelap dan sepi. Tidak ada tanda-tanda Arga akan datang. Vita kembali melihat ponselnya, ia membuka aplikasi pesan untuk bertanya kapan Arga akan pulang, namun sebelum sempat terkirim, ia menghapusnya lagi. Entah kenapa jari-jarinya enggan untuk mengirimkan pesan tersebut kepada suaminya. Akhirnya Vita menyerah, rasa kantuk perlahan mulai menyergap, tubuhnya terasa lelah menunggu. Ia sadar bahwa tubuhnya perlu istirahat setelah seharian bekerja keras. Sebelum masuk ke kamar, Vita berjalan ke ruang makan. Ia memandangi meja yang penuh dengan makanan, namun kini makanan tersebut telah dingin. Ia menunduk sejenak lalu menarik napas panjang. Kue red velvet yang tadi Vita susun dengan hati-hati, ia angkat pelan dan memasukannya ke dalam kulkas. Disusul dengan ayam lada hitam, tumis sayur, dan sup jagung yang kini tak lagi mengeluarkan aroma lezat. Semua makanan yang ia siapkan akhirnya masuk ke dalam kulkas tanpa satu sendok pun tersentuh. Saat menutup pintu kulkas, perasaan pahit tiba-tiba menyeruak. Vita merasa semua yang ia lakukan hari ini sia-sia. Seolah usahanya untuk membuat hari ini berkesan hanya dianggap angin lalu. Dengan langkah pelan, Vita mematikan lampu ruang makan dan berjalan menuju kamar. Setelah sampai di kamar, ia langsung merebahkan dirinya di ranjang. Ia menoleh sisi ranjang di sebelahnya yang masih rapi dan terasa dingin. Lalu Vita memejamkan matanya, dengan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan.Nova menghabiskan hampir satu hari penuh untuk mencari tempat baru yang bisa dijadikan markas. Ia menelusuri ujung kota, melewati jalanan yang semakin sempit dan sunyi, hingga akhirnya menemukan sebuah penginapan tua bernama "Penginapan Ujung Area." Bangunannya berdiri di tepi jalan kecil yang jarang dilalui kendaraan, dan dikelilingi pohon-pohon besar yang menutupi sebagian fasadnya. Dari luar saja terlihat jelas bahwa penginapan itu sudah lama tidak ramai pengunjung, dibuktikan dengan cat dindingnya yang mengelupas.Ketika Nova menyampaikan temuannya pada Arga, rekannya itu langsung menyetujui tanpa banyak bertanya. Karena bagi pria itu tempat sunyi seperti ini justru ideal. Tak ada yang akan menaruh curiga, dan mereka bisa bekerja dengan tenang.Hari ini keduanya disibukkan dengan memindahkan perlengkapan dari markas lama ke tempat baru. Kotak-kotak berisi perangkat komputer, kabel, serta peralatan investigasi lainnya memenuhi bagasi mobil mereka. Di sela-sela kesibukan itu, Nova
Setelah dua hari berdiam diri di rumah, hari ini Arga memutuskan untuk kembali berangkat ke kantor. Sebenarnya ia ingin berlama-lama menghabiskan waktu bersama Vita, namun ia juga sudah berjanji kepada Nova untuk memberikan jawaban hari ini.Akhirnya sepanjang perjalanan pelipis pria itu tampak menegang pertanda sedang memikirkan hal berat. Sesekali tangannya mengetuk setir, sementara pandangannya kosong menatap ke depan.Setibanya di bangunan yang tampak tua dan usang, Arga langsung memarkirkan mobilnya di tempat rahasia seperti biasa. Lokasi itu nyaris tak pernah diketahui siapa pun selain dirinya dan Nova.Ia menatap sekeliling sejenak, memastikan tak ada yang mengikutinya sebelum akhirnya melangkah menuju pintu.Tangannya mendorong sebuah pintu besi berkarat yang mengeluarkan suara decit panjang. Begitu masuk, Arga menuruni tangga sempit yang dindingnya penuh lumut dan cat yang mulai terkelupas. Namun di ujung tangga, suasananya berubah drastis. Sebuah ruangan bawah tanah yang tam
“Bagaimana Pak? Dia adalah orang yang sudah mengambil tas istri saya!” ujar Arga dengan nada tegas. Matanya tak lepas dari layar laptop yang menampilkan cuplikan rekaman CCTV.Kedua polisi yang duduk di hadapannya memperhatikan video itu dengan seksama. Salah satu dari mereka, seorang pria paruh baya dengan garis tegas di wajahnya mengerutkan kening. Ia memutar rekaman beberapa kali, lalu menghentikannya tepat saat sosok berpakaian serba hitam menatap ke arah kamera.“Gerak-geriknya memang mencurigakan, tapi bagaimana Bapak bisa mendapatkan rekaman CCTV ini?” tanya polisi dengan nada ingin tahu.Arga terdiam sesaat. Ia menatap kedua polisi itu bergantian, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia tahu ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia telah menembus sistem keamanan kota dan menyadap server CCTV secara ilegal.Dengan nada datar, ia menjawab, “Ngga penting saya dapat dari mana, Pak. Yang jelas bukti itu cukup kuat untuk menunjukkan siapa pelakunya. Tolong tang
“Itu karena rekening dia habis diretas sama orang yang nggak dikenal, makanya semua uangnya habis,” jelas Vita. Arga menatapnya sejenak, kemudian mengangguk paham. Pria itu teringat kasus yang kemarin dibawa oleh Nova mengenai kasus peretasan rekening di korea oleh orang Indonesia.Apakah Gilang juga korban dari pelaku yang sama? Tapi seingatnya korban yang melaporkan semuanya adalah perempuan, ataukah ada korban laki-laki yang tak ia ketahui?“Kenapa sih emangnya?” tanya Vita sambil menatap Arga dengan ekspresi menyelidik, sedikit ingin tahu reaksi suaminya."Mas cuma nanya aja,” balas Arga sambil tersenyum tipis.Vita menghela napas pelan, matanya menatap jauh ke luar jendela. “Namanya musibah nggak ada yang tahu,” ucapnya lirih, seolah sedang merenungkan nasib temannya.Tiba-tiba Arga mencondongkan tubuhnya dan menarik hidung Vita dengan cepat. Sontak hal itu membuat Vita menjerit kaget.“Iih sakit! Mas Arga kenapa sih?!” seru Vita kesal.Arga terkekeh pelan, menatap reaksi istrin
“Tadi pagi aku lagi jalan-jalan di taman, dan nggak sengaja nemuin tas kamu di bawah pohon,” ucap Gilang.“Tapi kok kamu bisa tahu kalau itu tas aku?” tanya Vita dengan mata menyipit.Gilang tampak salah tingkah. Ia menggaruk tengkuknya beberapa kali. Tanpa disadari Arga diam-diam mengamati gerakan kecil pria itu dari samping.“Waktu aku buka tasnya ada KTP atas nama kamu, makanya aku bisa tahu," jawab Gilang.Kini Vita paham, dan ia mengangguk pelan. Dengan penuh lega ia memeluk tasnya erat-erat seolah itu adalah bagian dari dirinya sendiri.“Untung aja kamu nemuin. Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau tas ini nggak ketemu,” ucapnya dengan nada senang. “Tapi kok tas kamu bisa ada di taman?” tanya Gilang.Vita menghela napas panjang, ekspresinya kembali sedih. “Ceritanya panjang, intinya tas aku dijambret sama orang waktu aku lagi di pasar,” ucapnya pelan.Wajah Gilang langsung berubah kaget, seolah ia mengerti mengapa Vita yang ditunggu-tunggu yang kunjung muncul di tempat ya
“Mas nggak kenal sama dia,” jawab Arga.Vita mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Tadi aku denger kok waktu kalian lagi ngobrol,” sangkalnya. Arga menghela napas panjang. Ia menyenderkan diri di kursi, membiarkan tubuhnya rileks sejenak walaupun pikirannya tetap sibuk.“Kamu inget waktu itu Mas pernah cerita soal alasan kenapa Mas bisa dikeluarkan dari kepolisian?” tanya Arga.Vita mengangguk pelan. “Inget, kenapa emangnya?” tanyanya penasaran.Arga tampak gelisah. Berulang kali ia menggosok tangannya di atas pahanya, menahan rasa tegang yang tiba-tiba muncul. Pandangannya menunduk sejenak sebelum akhirnya menatap Vita.“Dia dulunya adalah senior Mas di kepolisian yang sudah mengkambing-hitamkan Mas,” ucap Arga."Dia yang udah membuat Mas dikeluarkan dari kepolisian," lanjut pria itu. Vita membuka mulutnya lebar, lalu menutupnya dengan tangan.“Tapi… tapi orang tadi kelihatannya baik banget. Buktinya dia udah nolongin aku,” ucapnya pelan, masih tidak menyangka dengan fakta yang







