Keesokan harinya, Vita terbangun karena suara nyaring yang berasal dari alarm yang ia pasang di ponselnya. Dengan mata masih terpejam, ia berusaha meraih ponsel yang berada di nakas sebelah ranjang menggunakan tangannya.
Setelah berhasil mematikan alarm tersebut, ia berniat untuk kembali memejamkan mata, namun rasa kantuk itu seketika menguap saat ia menyadari ada seseorang yang melingkarkan lengan di pinggangnya. Vita menoleh dan mendapati Arga sedang memeluknya dalam keadaan tertidur. Vita tertegun sejenak, ia tak tahu kapan Arga pulang, karena semalam tidurnya sangat nyenyak. Dengan hati-hati, Vita memegang tangan Arga dan melepaskannya perlahan dari pinggangnya, berusaha membuat gerakan sepelan mungkin agar pria itu tidak terbangun. Begitu berhasil melepaskan diri, ia membalikkan tubuhnya dan kini berhadapan langsung dengan suaminya. Jarak wajah mereka kini hanya tinggal beberapa sentimeter. Vita memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Rambut Arga sedikit berantakan, dan ada bayangan gelap di bawah matanya. Ia terlihat benar-benar lelah. Vita mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Arga, menyusuri rahang tegas pria itu. Saat Vita masih memandangi wajah tampan Arga, tiba-tiba kelopak mata pria itu bergerak. Dalam hitungan detik, mata Arga terbuka perlahan dan langsung menatap ke arah Vita. Vita sontak terkejut dan spontan menarik tubuhnya agar menjauh dari Arga. Arga mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya kamar. “Kamu udah bangun?” tanyanya dengan suara serak. “Udah,” jawab Vita cepat, wajahnya tampak memerah karena malu. Nada suaranya terdengar kikuk, dan tatapannya menghindar. Ia segera menggeser tubuhnya, lalu turun dari ranjang tanpa menoleh lagi. Dengan langkah tergesa, Vita berjalan menuju kamar mandi. Ia membuka pintu dan masuk, lalu memutar keran wastafel. Air dingin yang menyentuh wajahnya terasa sedikit membantu menenangkan pikirannya. Vita menatap pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum kecil. Sudah satu tahun mereka menikah, namun entah kenapa dirinya masih merasa salah tingkah jika ketahuan sedang memperhatikan wajah suaminya. Vita menggeleng pelan, lalu mengeringkan wajahnya dengan handuk. Setelah menarik napas pendek, ia pun bersiap keluar dari kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, Vita melihat Arga sudah kembali tertidur. Ia memandangi suaminya sejenak dari sisi ranjang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi pagi ini ia memilih untuk tidak mengganggunya lebih dulu. Vita mengambil ponselnya dari atas nakas, lalu berjalan perlahan keluar kamar. Ia menuruni anak tangga dengan langkah pelan menuju dapur. Sesampainya di sana, ia langsung membuka pintu lemari es. Udara dingin langsung menyapa wajahnya. Di dalamnya, ada kue dan masakan yang ia simpan semalam. Hatinya kembali terasa sakit. Ia kembali teringat kejadian tadi malam saat Arga harus pergi ke kantor bahkan sebelum pria itu sempat memakan masakannya. Vita menghela napas pelan, ia mencoba untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Ia memilih untuk mengeluarkan kue dan masakannya, lalu menghangatkannya kembali. Vita memasukkan masakannya satu per satu ke dalam microwave. Bunyi beep terdengar pelan, diikuti suara mesin yang mulai berdengung. Sambil menunggu, ia menyandarkan tubuhnya ke meja dapur, mencoba menenangkan pikirannya yang masih dipenuhi oleh perasaan kecewa. Tiba-tiba Vita merasakan lengan yang melingkar di pinggangnya dari arah belakang. Tanpa perlu menoleh, ia sudah tahu siapa yang memeluknya. "Mas Arga," ucap Vita lirih. "Maaf ya soal tadi malem, kamu masih marah sama aku?" tanya Arga lembut. Vita diam sejenak, ia ingin berkata jujur, namun teringat wajah Arga yang tampak begitu lelah, membuat ia mengurungkan niatnya. "Ngga," jawab Vita pelan. "Yakin?" tanya Arga, kali ini sambil mengecup pelan leher putih Vita. Vita tersentak kecil. Ia merasa geli dengan tingkah suaminya, tapi ia tak bisa menghindar karena pelukan Arga begitu erat. "Jangan gitu ih, geli!" ucap Vita berharap Arga bisa menghentikan aktivitasnya. Namun Arga tidak juga melepaskan pelukannya, ia bahkan semakin manja menciumi leher dan pundaknya dengan gemas. Hingga akhirnya suara beep dari microwave terdengar nyaring, menandakan masakan mereka telah matang dan menjadi penyelamat Vita dari godaan suaminya. Vita segera melepaskan diri dari pelukan Arga. Ia membuka pintu microwave untuk mengeluarkan masakan yang sudah kembali hangat, lalu meletakkannya di meja makan. Arga hanya berdiri di belakang sambil memperhatikan istrinya dengan pandangan hangat. Vita kemudian mengambil nasi dan duduk di kursi untuk menyantap makanannya tanpa memedulikan suaminya. Melihat itu, Arga mengerucutkan bibir dan berpura-pura kesal. "Kamu ngga nawarin makan ke suamimu?" tanya Arga. Vita melirik sebentar dan menjawab singkat, "Ya udah sini." Arga masih cemberut, namun tetap mengambil piring dan duduk di samping Vita untuk ikut makan. Arga menatap lauk di depannya dan matanya langsung berbinar. Sontak ekspresi cemberutnya berubah menjadi ceria. “Wah, enak banget sarapan hari ini,” ucapnya penuh semangat, seperti anak kecil yang baru saja menemukan permen favoritnya. Dihadapannya terhidang tiga menu kesukannya, ayam lada hitam, sup jagung dan tumis sayur dengan potongan wortel dan buncis yang. Aroma rempah dari ayam lada hitam langsung menyeruak, membuat perutnya yang tadinya tidak terlalu lapar kini langsung bergemuruh minta segera diisi. Arga segera mengambil sendok untuk menyuap sup jagung terlebih dahulu. Suapan pertama membuat ia memejamkan mata sebentar, meresapi rasa gurih yang pas. Arga sontak menoleh ke arah Ivy. "Masakan kamu emang yang terbaik. Enak banget, makasih ya," pujinya. Vita tersenyum tipis, dalam hati ia senang melihat reaksi suaminya terhadap masakannya. Rasa kesal karena kejadian tadi malam, langsung sirna melihat Arga yang begitu lahap menyantap masakannya.“Maaf ya, kalau lama,” ucap Arga begitu kembali ke meja. Ia menarik kursinya dan duduk di hadapan Vita, mencoba tersenyum seperti biasa.Vita menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Nggak papa,” jawabnya singkat sambil tetap mengunyah makanannya.Tanpa banyak bicara, Arga pun ikut kembali makan. Ia mengambil sepotong daging panggang dan meletakkannya di atas nasi. Setelah makanan mereka habis dan hanya tersisa piring-piring kosong di meja, Arga menghela napas puas sambil menyandarkan punggung ke kursi.“Kenyang banget,” ucap Arga sambil tersenyum.Vita mengangguk pelan sambil tersenyum.Arga berdiri dan mengambil dompet dari saku celananya. “Aku mau bayar dulu, kamu tunggu di sini aja ya,” ucap Arga.Vita mengangguk, ia memandangi suaminya yang berjalan menuju kasir. Arga terlihat berbincang sebentar dengan kasir sambil menyerahkan kartu pembayaran, lalu mengangguk saat transaksi selesai.Tak lama kemudian, ia kembali ke meja. “Udah, yuk pulang," ucapnya.Mereka berjalan beriringan k
"Hah? Maksudnya?" tanya Arga tak paham.Pria itu menatap lebih dekat, matanya menyipit seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Iya, Mas. Saya lihat mas persis banget kayak orang yang saya kenal dulu. Namanya Reksa. Teman lama saya, udah lama banget nggak ketemu," jelasnya.Arga tertawa kecil. “Wah, maaf mas, saya bukan Reksa. Nama saya Arga. Mungkin cuma mirip aja,” ucapnya.Pria itu masih menatapnya dengan ragu. “Yakin bukan Reksa? Soalnya mas bener-bener mirip sama temen saya, apalagi senyumnya,” ucap pria asing lagi.Arga tersenyum lagi, kali ini lebih dipaksakan. “Nggak, saya yakin kok. Saya bahkan ngga kenal sama orang yang namanya Reksa, mungkin Mas salah orang," ujar Arga dengan tegas.Namun pria itu tampaknya belum puas dengan jawaban Arga. Ia merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan ponselnya. “Bentar, saya ada fotonya pas kuliah dulu,” ujarnya lalu membuka galeri dan menunjukkan satu foto.“Ini nih. Lihat, mirip kan?” tanya pria tersebut sambil mengarahkan layar ponselnya ke had
"Dari mana?""Eh kaget!" seru Vita terkejut begitu membuka pintu. Ia tak menyangka Arga sudah berdiri di sana, menunggunya dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Habis dari depan sebentar,” jawab Vita sedikit gugup.Arga tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap wajah istrinya dalam-dalam, sorot matanya sulit ditebak. Pandangan yang terlalu lama itu membuat Vita merasa tidak nyaman.“Kenapa ngeliatinnya kayak gitu sih?” tanya Vita dengan nada kesal.Arga tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat dan memeluk istrinya. “Nggak papa, soalnya istri Mas cantik banget,” bisiknya pelan di telinga Vita.“Apasih? pagi-pagi udah gombal,” balas Vita dengan wajah yang sudah bersemu merah.“Mas nggak gombal, kamu emang selalu cantik,” ucap Arga lembut, ia lalu mengecup pelan rambut Vita yang harum, aroma sampo yang membuatnya semakin betah berlama-lama dalam pelukan itu.Sambil tetap memeluk istrinya, Arga bertanya, “Mau jalan-jalan nggak hari ini?”“Jalan-jalan ke mana?” Vita menol
Vita berjalan menuju sudut rumah tempat keranjang pakaian kotor berada. Dengan cekatan, ia mulai memilah-milah baju kotor yang sudah menumpuk, lalu memisahkan pakaian berwarna putih, gelap, dan yang berbahan lembut.Namun tangannya terhenti saat ia mengambil sepotong celana panjang dan kemeja yang tampak lusuh dan penuh lumpur kering.Vita mengernyit. Tangannya refleks memegang bagian bawah celana yang nyaris mengeras karena tanah yang sudah mengering. Setelah diteliti, ternyata ada bekas cipratan lumpur di bagian lutut dan ujung lengan baju, bahkan terdapat sedikit sobekan kecil di sisi kemeja.Hatinya langsung dipenuhi tanya. Bagaimana pakaian Arga yang dipakainya semalam bisa dipenuhi oleh lumpur? Vita menghela napas pelan, ia lalu duduk di sisi keranjang sambil menatap pakaian itu. Ada rasa tak nyaman merayap pelan di dadanya. Pekerjaan kantor macam apa yang membuat suaminya sampai pulang dengan kondisi sekotor ini? tanya Vita dalam hati.Karena tak ingin dihantui rasa penasara
Keesokan harinya, Vita terbangun karena suara nyaring yang berasal dari alarm yang ia pasang di ponselnya. Dengan mata masih terpejam, ia berusaha meraih ponsel yang berada di nakas sebelah ranjang menggunakan tangannya.Setelah berhasil mematikan alarm tersebut, ia berniat untuk kembali memejamkan mata, namun rasa kantuk itu seketika menguap saat ia menyadari ada seseorang yang melingkarkan lengan di pinggangnya.Vita menoleh dan mendapati Arga sedang memeluknya dalam keadaan tertidur. Vita tertegun sejenak, ia tak tahu kapan Arga pulang, karena semalam tidurnya sangat nyenyak.Dengan hati-hati, Vita memegang tangan Arga dan melepaskannya perlahan dari pinggangnya, berusaha membuat gerakan sepelan mungkin agar pria itu tidak terbangun.Begitu berhasil melepaskan diri, ia membalikkan tubuhnya dan kini berhadapan langsung dengan suaminya. Jarak wajah mereka kini hanya tinggal beberapa sentimeter.Vita memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Rambut Arga sedikit berantakan, dan ada
"Selamat ulang tahun pernikahan kita yang ke satu," ucap Vita sambil tersenyum lebar.Arga mengangguk, kemudian mendekat untuk mengecup kening Vita. "Terima kasih sudah bertahan dengan aku selama setahun ini," ucapnya lembut.Malam ini adalah tepat satu tahun sejak Vita dan Arga mengikat janji sebagai suami istri. Mereka meniup lilin bersama di atas kue kecil buatan Vita dengan tulisan: Happy 1st Anniversary, Arga & Vita.Tepat setelah lilin padam, suara dering ponsel terdengar. Arga buru-buru merogoh saku celananya dan melihat ke layar ponselnya. Ekspresinya berubah sepersekian detik saat ia melihat siapa yang menelepon. Namun sedetik kemudian, ia kembali tersenyum."Maaf sayang, aku angkat telepon sebentar ya," ucap Arga.Tanpa menunggu jawaban dari Vita, Arga beranjak dari kursinya dan berjalan meninggalkan Vita sendiri di ruang makan. Vita menatap lilin yang baru saja padam. Ia menarik napas pelan dan mencoba tersenyum. Ini bukan pertama kalinya Arga bersikap seperti ini.Setelah