Share

Secarik kertas

Author: Simplyree
last update Last Updated: 2025-07-06 10:34:10

“Maaf ya, kalau lama,” ucap Arga begitu kembali ke meja. Ia menarik kursinya dan duduk di hadapan Vita, mencoba tersenyum seperti biasa.

Vita menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Nggak papa,” jawabnya singkat sambil tetap mengunyah makanannya.

Tanpa banyak bicara, Arga pun ikut kembali makan. Ia mengambil sepotong daging panggang dan meletakkannya di atas nasi.

Setelah makanan mereka habis dan hanya tersisa piring-piring kosong di meja, Arga menghela napas puas sambil menyandarkan punggung ke kursi.

“Kenyang banget,” ucap Arga sambil tersenyum.

Vita mengangguk pelan sambil tersenyum.

Arga berdiri dan mengambil dompet dari saku celananya. “Aku mau bayar dulu, kamu tunggu di sini aja ya,” ucap Arga.

Vita mengangguk, ia memandangi suaminya yang berjalan menuju kasir. Arga terlihat berbincang sebentar dengan kasir sambil menyerahkan kartu pembayaran, lalu mengangguk saat transaksi selesai.

Tak lama kemudian, ia kembali ke meja. “Udah, yuk pulang," ucapnya.

Mereka berjalan beriringan keluar dari restoran. Begitu sampai di depan mobil, Arga lebih dulu berjalan ke sisi pintu penumpang dan dengan sigap membukakan pintu untuk Vita.

“Silakan bu,” ucap Arga bercanda.

Vita tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil. “Terima kasih pak,” balasnya.

Arga kemudian menutup pintu lalu bergegas ke sisi pengemudi. Setelah keduanya duduk dan mengenakan sabuk pengaman, Arga menyalakan mesin mobil dan mulai melaju pelan keluar dari area parkir.

Di dalam mobil, seperti biasa suasana terasa hening. Vita duduk tenang di kursi penumpang. Ia menoleh sekilas ke arah Arga yang fokus menyetir, wajahnya datar tanpa ekspresi.

Vita menarik napas pelan, ia lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Matanya perlahan terpejam.

Rasa kantuk datang begitu cepat, mungkin karena terlalu kenyang, atau karena udara dalam mobil yang sejuk dan nyaman.

Kepalanya miring sedikit ke arah jendela dan hembusan lembut dari AC membuat kelopak matanya terasa semakin berat.

Arga melirik sebentar ke arah Vita. Melihat istrinya tertidur, bibirnya membentuk senyum tipis. Namun tak lama, pandangannya kembali lurus ke depan.

★★★

Vita terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Tubuhnya terasa pegal, terutama di bagian leher dan punggung. Ia membuka mata perlahan, menatap sekeliling kamar yang gelap dan sunyi. Hanya cahaya samar dari jendela yang sedikit menerobos lewat tirai, menunjukkan bahwa hari sudah menjelang malam.

Dengan gerakan pelan, Vita bangkit dari posisi tidurnya dan duduk di sisi ranjang. Kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, dan terakhir kali ia ingat adalah dirinya tertidur di mobil sepulang dari restoran.

Vita meraba saklar lampu di samping ranjang dan menyalakannya. Cahaya hangat memenuhi ruangan, memperlihatkan kondisi kamar yang rapi seperti biasa. Namun satu hal terasa janggal.

Vita melirik ke sisi tempat tidur yang kosong, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Tidak ada kehadiran suaminya. Tapi ia memilih untuk tidak ambil pusing.

Mungkin Mas Arga lagi di ruang tamu, atau keluar sebentar, pikirnya dalam hati.

Vita bangkit dari tempat tidur dan merenggangkan tubuh sejenak. Rasa lengket di kulit membuatnya merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk mandi, berharap air hangat bisa membantu meredakan rasa pegal di tubuhnya.

Setelah selesai mandi, Vita melangkah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Udara kamar yang dingin membuatnya sedikit menggigil. Matanya menyapu ruangan masih sepi, Arga masih juga belum terlihat.

Meski begitu, Vita masih berusaha berpikir positif. Ia duduk di depan meja rias, mengambil handuk kecil dan mulai mengeringkan rambutnya perlahan.

Setelah rambutnya cukup kering, Vita menggantung handuk dan mengenakan pakaian santai. Lalu dengan langkah pelan, ia keluar dari kamar.

Vita menuruni anak tangga dengan langkah perlahan. Begitu sampai di lantai bawah, ia langsung berjalan ke arah dapur.

“Mas Arga?” panggilnya sambil menoleh ke kiri dan kanan.

Ia melongok ke dalam dapur. Semua tampak sama seperti terakhir kali ia lihat, kosong dan tak berpenghuni.

Vita berbalik arah menuju ruang kerja Arga. Pintu ruangan itu tertutup rapat. Ia mengetuk dua kali, lalu mendorongnya perlahan.

“Mas?” panggilnya lebih keras.

Namun ruangan itu juga kosong. Tak ada siapapun di dalamnya.

Perasaan Vita mulai tidak enak.

Ia melangkah ke ruang tengah. Televisi masih dalam keadaan mati. Ia kembali memanggil lebih keras dari sebelumnya.

“Mas Arga?”

Tetap tak ada sahutan.

Rasa cemas mendorongnya untuk menuju ke pintu depan. Ia membuka pintu, udara sore yang menyambutnya, angin pelan membuat rambutnya sedikit bergerak.

Vita melangkah ke luar, menuruni satu anak tangga kecil dari teras lalu menoleh ke arah garasi. Langkahnya terhenti. Garasi tampak kosong dan tidak ada mobil Arga di sana.

Sebuah kegelisahan tiba-tiba menyergap, menyebar cepat ke seluruh tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya terburu-buru menapaki anak tangga. Saat tiba di lantai atas, dengan cepat ia membuka pintu kamar.

Dengan cemas, Vita mencari ponselnya. Namun sebelum ia sempat menemukan ponselnya, matanya menangkap sesuatu.

Ada secarik kertas kecil yang tergeletak di atas nakas. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengambil kertas itu dan perlahan membukanya.

Tulisan tangan Arga yang khas langsung menyapa matanya. Matanya mulai menelusuri baris demi baris.

"Untuk istriku.

Sayang, maaf aku pergi tanpa sempat membangunkanmu.

Ada perintah mendadak dari kantor dan aku harus dinas ke luar kota selama seminggu.

Aku tahu seharusnya aku izin dulu, tapi kamu terlihat sangat lelah dan tidurmu nyenyak sekali. Aku nggak tega ganggu kamu."

Vita menelan ludah pelan.

" Maaf kalau semuanya terasa tiba-tiba.

Selama di luar kota, kemungkinan besar ponselku nggak akan aktif. Urusannya cukup sensitif dan aku diminta untuk membatasi komunikasi, jadi jangan kaget kalau aku nggak bisa dihubungi."

Mata Vita terus bergerak membaca, meski hatinya terasa semakin berat.

"Aku percaya kamu bisa jaga diri di rumah. Nanti setelah tugas selesai, aku bakal langsung pulang. Jaga kesehatan, ya" -Arga.

Vita mematung sejenak, memandangi tulisan tangan itu tanpa berkedip. Jari-jarinya menggenggam kertas itu lebih erat.

Dinas mendadak?

Tidak ingin membangunkannya karena tidak tega?

Ponsel tak bisa dihubungi karena alasan pekerjaan?

Semua terdengar masuk akal jika dibaca sepintas. Tapi bagi Vita yang sudah mengenal Arga lebih dari siapa pun, hal-hal seperti ini justru terasa janggal.

Vita menatap surat itu sekali lagi, ia lalu menarik napas pelan. Ia mencoba meredam gelisahnya, mencoba percaya. Namun keganjilan itu terus tinggal di benaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku ternyata seorang Intel   Sosok tak terduga

    Setelah hampir satu jam berkeliling kota, Vita akhirnya berhenti di sebuah tempat yang tampak sepi. Tak ada kendaraan yang melintas, hanya motornya yang terparkir di sisi jalan. Ia bahkan belum pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya.Vita mengecek lokasi suaminya di ponsel, dan benar saja titik keberadaan Arga berada tepat di tempat ia berhenti. Ia menoleh kanan-kiri, tapi mobil Arga tak terlihat."Mas Arga di mana sih?" gumam Vita. ia menghela napas panjang mencoba untuk menenangkan diri. Ia memejamkan matanya sejenak untuk berpikir apa yang harus ia lakukan setelah ini.Tiba-tiba, terdengar suara mobil yang berhenti tepat di sampingnya. Vita menoleh. Ia kemudian melihat beberapa pria bertubuh besar turun dari mobil. Tubuh mereka di penuhi tato dan luka goresan.Mata Vita sontak terbelalak. Ia menduga pria tersebut adalah preman yang mungkin saja akan melukainya. Ia segera memutar kontak motornya, namun seorang pria berambut panjang sudah dulu mengambil kontak motornya dari tempat.

  • Suamiku ternyata seorang Intel   Pura-pura polos

    Keesokan paginya Vita sudah disibukkan dengan kegiatan di dapur, sehingga pukul enam pagi semua masakan sudah tersaji di meja makan. Kini ia tinggal menunggu suaminya untuk turun ke bawah. “Tumben Mas Arga belum juga turun,” gumam Vita sambil melirik jam dinding. Ia kemudian naik ke lantai dua untuk memanggil suaminya.Dari ambang pintu kamar, Vita bisa melihat Arga yang sedang menggeledah seisi kamar hingga ruangan itu tampak berantakan. Ia pun berjalan masuk dengan perlahan.“Mas Arga cari apa sih? Kok kamarnya berantakan gini?” tanya Vita sambil memperhatikan seisi kamar. Arga tampak mengusap rambutnya hingga berantakan. “Mas lagi cari dompet, dari kemarin ngga ketemu,” ucapnya tampak gelisah.“Mas Arga inget terakhir kali ada di mana?” tanya Vita pura-pura tak tahu. Ia kemudian berjalan ke sisi ranjang lalu mengangkat bantal seolah-olah ada di bawah sana. “Seingatnya sih pagi kemarin waktu mas mau berangkat kerja, dompetny udah dimasukin ke saku celana, tapi waktu mas cari tern

  • Suamiku ternyata seorang Intel   Nama yang tak asing

    “Aku kayak pernah denger nama Reksa, tapi di mana ya?” gumam Vita pelan. Ia merasa tidak asing dengan nama itu. Keningnya berkerut seolah sedang berpikir keras. Matanya meneliti deretan berkas di depannya. Ia sempat menggeledah isi lemari, dan mengecek berkas penting milik suaminya. Semuanya memang tertera atas nama Arga, namun kalau begitu, kenapa suaminya juga punya kartu tanda penduduk atas nama Reksa Adinata?“Argh pusing banget!” seru Vita merasa frustasi. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan.“Pusing kenapa?” Suara berat itu mengagetkan Vita.Vita sontak menoleh ke sumber suara. Ia melihat Arga yang sedang berdiri di ambang itu. Wajah pria itu tampak bingung dengan kondisi kamar yang berantakan dengan berkas-berkas. “Kamu lagi ngapain?” tanya Arga sambil melangkah mendekat.“Mas Arga kok tumben udah pulang?” tanya balik Vita mengabaikan pertanyaan suaminya. Dengan cepat ia memasukkan dompet milik Arga ke dalam saku celananya. Arga berjongkok di hadapan istrinya sambil mem

  • Suamiku ternyata seorang Intel   Satu orang, dua nama

    Vita memasuki rumah dengan langkah lunglai. Barang belanjaan yang telah dibelinya di minimarket tampak begitu berat. Ia memang membatalkan berbelanja di pasar karena hari sudang siang. Vita lalu terduduk di kursi dapur dengan tubuh lemas. Ia menatap kosong ke arah belanjaan yang tergeletak di lantai."Kamu lagi di mana sebenarnya mas?" gumam Vita. Ia terus mengulang pertanyaan yang sama berulang kali. Tangannya terulur mengambil ponsel dari tas kecilnya. Ia lalu membuka aplikasi pelacak untuk mengetahui keberadaan Arga. Ia merasa heran mengapa dirinya tak mengecek lokasi suaminya dari awal. Berdasarkan aplikasi pelacak itu, Vita bisa melihat bahwa lokasi Arga memang bukan berada di kantor, melainkan sebuah tempat yang jauh dari kota tempat ia tinggal."Ngapain Mas Arga ada di sana?" gumam Vita. Ia menyipitkan matanya seolah sedang berpikir keras. Jari-jari tangannya tampak mengetuk permukaan meja beberapa kali. "Apa aku samperin aja ke sana?" Pikiran itu sempat berputar di kepala

  • Suamiku ternyata seorang Intel   Tatapan sendu

    "Ma-maksudnya kak? Maksudnya suami saya ngga kerja di sini?" tanya Vita memastikan. Petugas resepsionis tersebut mengangguk pelan. "Benar kakak. Tidak ada nama suami kakak dalam daftar karyawan," jawabnya sopan. "Kok bisa ya?" gumam Vita pelan.Wajah Vita jelas memperlihatkan kebingungan. Ia kemudian diam sambil menatap lantai selama beberapa saat."Tapi apakah dulunya pernah bekerja di sini kak? Mungkin baru aja resign beberapa hari yang lalu?" tanya Vita penasaran. "Setahu saya nama itu tidak pernah tercatat di sini. Tapi untuk kepastiannya, hanya HRD yang bisa menjawab," jawab petugas tersebut dengan sopan. Vita mengangguk pelan. "Baik, kak. Kalau gitu saya pergi dulu. Makasih," pamitnya. Wajahnya tampak terkejut dengan kenyataan yang baru saja ia terima. Dengan tangan gemetar Vita membuka ponselnya, dan kembali menghubungi suaminya.Tuut tuut tuut."Halo, sayang." Suara Arga terdengar di seberang."Halo, mas," balas Vita sambil menjauhkan diri dari meja resepsionis."Kenapa?

  • Suamiku ternyata seorang Intel   Tidak ada dalam daftar

    "Sekarang giliran Mas Arga yang jawab pertanyaan aku. Emang benar tempat itu tempat buat menyiksa orang lain?" tanya Vita penasaran. Arga mengangkat bahunya pelan. "Mungkin aja ya, mas kurang paham sih soalnya kan mas ke sana juga cuma sebentar," jawabnya santai. Vita menarik napas pelan. Sebenarnya ia masih penasaran dengan tempat itu. Entah mengapa ia merasa bahwa Arga seperti sudah sering pergi ke sana. "Aku masih penasaran banget," ucapnya jujur. "Jangan terlalu dipikirin. Kalau emang bener di sana tempat pembantaian, pasti bakal diselidiki sama polisi," ucap Arga menenangkan istrinya. Vita mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. Wajahnya tersirat jelas bahwa masih banyak pertanyaan yang bersalah di kepalanya. Arga menyentuh tangan istrinya. "Udah ya, sekarang udah malem waktunya kita tidur. Besok mas harus berangkat ke kantor," ucapnya lembut. "Iya," balas Vita. Sepasang suami istri itu kemudian bangkit dari duduknya, dan berjalan menaiki tangga untuk menuju kam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status