“Maaf ya, kalau lama,” ucap Arga begitu kembali ke meja. Ia menarik kursinya dan duduk di hadapan Vita, mencoba tersenyum seperti biasa.
Vita menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Nggak papa,” jawabnya singkat sambil tetap mengunyah makanannya. Tanpa banyak bicara, Arga pun ikut kembali makan. Ia mengambil sepotong daging panggang dan meletakkannya di atas nasi. Setelah makanan mereka habis dan hanya tersisa piring-piring kosong di meja, Arga menghela napas puas sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Kenyang banget,” ucap Arga sambil tersenyum. Vita mengangguk pelan sambil tersenyum. Arga berdiri dan mengambil dompet dari saku celananya. “Aku mau bayar dulu, kamu tunggu di sini aja ya,” ucap Arga. Vita mengangguk, ia memandangi suaminya yang berjalan menuju kasir. Arga terlihat berbincang sebentar dengan kasir sambil menyerahkan kartu pembayaran, lalu mengangguk saat transaksi selesai. Tak lama kemudian, ia kembali ke meja. “Udah, yuk pulang," ucapnya. Mereka berjalan beriringan keluar dari restoran. Begitu sampai di depan mobil, Arga lebih dulu berjalan ke sisi pintu penumpang dan dengan sigap membukakan pintu untuk Vita. “Silakan bu,” ucap Arga bercanda. Vita tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil. “Terima kasih pak,” balasnya. Arga kemudian menutup pintu lalu bergegas ke sisi pengemudi. Setelah keduanya duduk dan mengenakan sabuk pengaman, Arga menyalakan mesin mobil dan mulai melaju pelan keluar dari area parkir. Di dalam mobil, seperti biasa suasana terasa hening. Vita duduk tenang di kursi penumpang. Ia menoleh sekilas ke arah Arga yang fokus menyetir, wajahnya datar tanpa ekspresi. Vita menarik napas pelan, ia lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Matanya perlahan terpejam. Rasa kantuk datang begitu cepat, mungkin karena terlalu kenyang, atau karena udara dalam mobil yang sejuk dan nyaman. Kepalanya miring sedikit ke arah jendela dan hembusan lembut dari AC membuat kelopak matanya terasa semakin berat. Arga melirik sebentar ke arah Vita. Melihat istrinya tertidur, bibirnya membentuk senyum tipis. Namun tak lama, pandangannya kembali lurus ke depan. ★★★ Vita terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Tubuhnya terasa pegal, terutama di bagian leher dan punggung. Ia membuka mata perlahan, menatap sekeliling kamar yang gelap dan sunyi. Hanya cahaya samar dari jendela yang sedikit menerobos lewat tirai, menunjukkan bahwa hari sudah menjelang malam. Dengan gerakan pelan, Vita bangkit dari posisi tidurnya dan duduk di sisi ranjang. Kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi, dan terakhir kali ia ingat adalah dirinya tertidur di mobil sepulang dari restoran. Vita meraba saklar lampu di samping ranjang dan menyalakannya. Cahaya hangat memenuhi ruangan, memperlihatkan kondisi kamar yang rapi seperti biasa. Namun satu hal terasa janggal. Vita melirik ke sisi tempat tidur yang kosong, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Tidak ada kehadiran suaminya. Tapi ia memilih untuk tidak ambil pusing. Mungkin Mas Arga lagi di ruang tamu, atau keluar sebentar, pikirnya dalam hati. Vita bangkit dari tempat tidur dan merenggangkan tubuh sejenak. Rasa lengket di kulit membuatnya merasa tidak nyaman. Ia memutuskan untuk mandi, berharap air hangat bisa membantu meredakan rasa pegal di tubuhnya. Setelah selesai mandi, Vita melangkah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Udara kamar yang dingin membuatnya sedikit menggigil. Matanya menyapu ruangan masih sepi, Arga masih juga belum terlihat. Meski begitu, Vita masih berusaha berpikir positif. Ia duduk di depan meja rias, mengambil handuk kecil dan mulai mengeringkan rambutnya perlahan. Setelah rambutnya cukup kering, Vita menggantung handuk dan mengenakan pakaian santai. Lalu dengan langkah pelan, ia keluar dari kamar. Vita menuruni anak tangga dengan langkah perlahan. Begitu sampai di lantai bawah, ia langsung berjalan ke arah dapur. “Mas Arga?” panggilnya sambil menoleh ke kiri dan kanan. Ia melongok ke dalam dapur. Semua tampak sama seperti terakhir kali ia lihat, kosong dan tak berpenghuni. Vita berbalik arah menuju ruang kerja Arga. Pintu ruangan itu tertutup rapat. Ia mengetuk dua kali, lalu mendorongnya perlahan. “Mas?” panggilnya lebih keras. Namun ruangan itu juga kosong. Tak ada siapapun di dalamnya. Perasaan Vita mulai tidak enak. Ia melangkah ke ruang tengah. Televisi masih dalam keadaan mati. Ia kembali memanggil lebih keras dari sebelumnya. “Mas Arga?” Tetap tak ada sahutan. Rasa cemas mendorongnya untuk menuju ke pintu depan. Ia membuka pintu, udara sore yang menyambutnya, angin pelan membuat rambutnya sedikit bergerak. Vita melangkah ke luar, menuruni satu anak tangga kecil dari teras lalu menoleh ke arah garasi. Langkahnya terhenti. Garasi tampak kosong dan tidak ada mobil Arga di sana. Sebuah kegelisahan tiba-tiba menyergap, menyebar cepat ke seluruh tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari masuk ke dalam rumah. Langkah kakinya terburu-buru menapaki anak tangga. Saat tiba di lantai atas, dengan cepat ia membuka pintu kamar. Dengan cemas, Vita mencari ponselnya. Namun sebelum ia sempat menemukan ponselnya, matanya menangkap sesuatu. Ada secarik kertas kecil yang tergeletak di atas nakas. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengambil kertas itu dan perlahan membukanya. Tulisan tangan Arga yang khas langsung menyapa matanya. Matanya mulai menelusuri baris demi baris. "Untuk istriku. Sayang, maaf aku pergi tanpa sempat membangunkanmu. Ada perintah mendadak dari kantor dan aku harus dinas ke luar kota selama seminggu. Aku tahu seharusnya aku izin dulu, tapi kamu terlihat sangat lelah dan tidurmu nyenyak sekali. Aku nggak tega ganggu kamu." Vita menelan ludah pelan. " Maaf kalau semuanya terasa tiba-tiba. Selama di luar kota, kemungkinan besar ponselku nggak akan aktif. Urusannya cukup sensitif dan aku diminta untuk membatasi komunikasi, jadi jangan kaget kalau aku nggak bisa dihubungi." Mata Vita terus bergerak membaca, meski hatinya terasa semakin berat. "Aku percaya kamu bisa jaga diri di rumah. Nanti setelah tugas selesai, aku bakal langsung pulang. Jaga kesehatan, ya" -Arga. Vita mematung sejenak, memandangi tulisan tangan itu tanpa berkedip. Jari-jarinya menggenggam kertas itu lebih erat. Dinas mendadak? Tidak ingin membangunkannya karena tidak tega? Ponsel tak bisa dihubungi karena alasan pekerjaan? Semua terdengar masuk akal jika dibaca sepintas. Tapi bagi Vita yang sudah mengenal Arga lebih dari siapa pun, hal-hal seperti ini justru terasa janggal. Vita menatap surat itu sekali lagi, ia lalu menarik napas pelan. Ia mencoba meredam gelisahnya, mencoba percaya. Namun keganjilan itu terus tinggal di benaknya.“Maaf ya, kalau lama,” ucap Arga begitu kembali ke meja. Ia menarik kursinya dan duduk di hadapan Vita, mencoba tersenyum seperti biasa.Vita menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Nggak papa,” jawabnya singkat sambil tetap mengunyah makanannya.Tanpa banyak bicara, Arga pun ikut kembali makan. Ia mengambil sepotong daging panggang dan meletakkannya di atas nasi. Setelah makanan mereka habis dan hanya tersisa piring-piring kosong di meja, Arga menghela napas puas sambil menyandarkan punggung ke kursi.“Kenyang banget,” ucap Arga sambil tersenyum.Vita mengangguk pelan sambil tersenyum.Arga berdiri dan mengambil dompet dari saku celananya. “Aku mau bayar dulu, kamu tunggu di sini aja ya,” ucap Arga.Vita mengangguk, ia memandangi suaminya yang berjalan menuju kasir. Arga terlihat berbincang sebentar dengan kasir sambil menyerahkan kartu pembayaran, lalu mengangguk saat transaksi selesai.Tak lama kemudian, ia kembali ke meja. “Udah, yuk pulang," ucapnya.Mereka berjalan beriringan k
"Hah? Maksudnya?" tanya Arga tak paham.Pria itu menatap lebih dekat, matanya menyipit seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Iya, Mas. Saya lihat mas persis banget kayak orang yang saya kenal dulu. Namanya Reksa. Teman lama saya, udah lama banget nggak ketemu," jelasnya.Arga tertawa kecil. “Wah, maaf mas, saya bukan Reksa. Nama saya Arga. Mungkin cuma mirip aja,” ucapnya.Pria itu masih menatapnya dengan ragu. “Yakin bukan Reksa? Soalnya mas bener-bener mirip sama temen saya, apalagi senyumnya,” ucap pria asing lagi.Arga tersenyum lagi, kali ini lebih dipaksakan. “Nggak, saya yakin kok. Saya bahkan ngga kenal sama orang yang namanya Reksa, mungkin Mas salah orang," ujar Arga dengan tegas.Namun pria itu tampaknya belum puas dengan jawaban Arga. Ia merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan ponselnya. “Bentar, saya ada fotonya pas kuliah dulu,” ujarnya lalu membuka galeri dan menunjukkan satu foto.“Ini nih. Lihat, mirip kan?” tanya pria tersebut sambil mengarahkan layar ponselnya ke had
"Dari mana?""Eh kaget!" seru Vita terkejut begitu membuka pintu. Ia tak menyangka Arga sudah berdiri di sana, menunggunya dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Habis dari depan sebentar,” jawab Vita sedikit gugup.Arga tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap wajah istrinya dalam-dalam, sorot matanya sulit ditebak. Pandangan yang terlalu lama itu membuat Vita merasa tidak nyaman.“Kenapa ngeliatinnya kayak gitu sih?” tanya Vita dengan nada kesal.Arga tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat dan memeluk istrinya. “Nggak papa, soalnya istri Mas cantik banget,” bisiknya pelan di telinga Vita.“Apasih? pagi-pagi udah gombal,” balas Vita dengan wajah yang sudah bersemu merah.“Mas nggak gombal, kamu emang selalu cantik,” ucap Arga lembut, ia lalu mengecup pelan rambut Vita yang harum, aroma sampo yang membuatnya semakin betah berlama-lama dalam pelukan itu.Sambil tetap memeluk istrinya, Arga bertanya, “Mau jalan-jalan nggak hari ini?”“Jalan-jalan ke mana?” Vita menol
Vita berjalan menuju sudut rumah tempat keranjang pakaian kotor berada. Dengan cekatan, ia mulai memilah-milah baju kotor yang sudah menumpuk, lalu memisahkan pakaian berwarna putih, gelap, dan yang berbahan lembut.Namun tangannya terhenti saat ia mengambil sepotong celana panjang dan kemeja yang tampak lusuh dan penuh lumpur kering.Vita mengernyit. Tangannya refleks memegang bagian bawah celana yang nyaris mengeras karena tanah yang sudah mengering. Setelah diteliti, ternyata ada bekas cipratan lumpur di bagian lutut dan ujung lengan baju, bahkan terdapat sedikit sobekan kecil di sisi kemeja.Hatinya langsung dipenuhi tanya. Bagaimana pakaian Arga yang dipakainya semalam bisa dipenuhi oleh lumpur? Vita menghela napas pelan, ia lalu duduk di sisi keranjang sambil menatap pakaian itu. Ada rasa tak nyaman merayap pelan di dadanya. Pekerjaan kantor macam apa yang membuat suaminya sampai pulang dengan kondisi sekotor ini? tanya Vita dalam hati.Karena tak ingin dihantui rasa penasara
Keesokan harinya, Vita terbangun karena suara nyaring yang berasal dari alarm yang ia pasang di ponselnya. Dengan mata masih terpejam, ia berusaha meraih ponsel yang berada di nakas sebelah ranjang menggunakan tangannya.Setelah berhasil mematikan alarm tersebut, ia berniat untuk kembali memejamkan mata, namun rasa kantuk itu seketika menguap saat ia menyadari ada seseorang yang melingkarkan lengan di pinggangnya.Vita menoleh dan mendapati Arga sedang memeluknya dalam keadaan tertidur. Vita tertegun sejenak, ia tak tahu kapan Arga pulang, karena semalam tidurnya sangat nyenyak.Dengan hati-hati, Vita memegang tangan Arga dan melepaskannya perlahan dari pinggangnya, berusaha membuat gerakan sepelan mungkin agar pria itu tidak terbangun.Begitu berhasil melepaskan diri, ia membalikkan tubuhnya dan kini berhadapan langsung dengan suaminya. Jarak wajah mereka kini hanya tinggal beberapa sentimeter.Vita memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Rambut Arga sedikit berantakan, dan ada
"Selamat ulang tahun pernikahan kita yang ke satu," ucap Vita sambil tersenyum lebar.Arga mengangguk, kemudian mendekat untuk mengecup kening Vita. "Terima kasih sudah bertahan dengan aku selama setahun ini," ucapnya lembut.Malam ini adalah tepat satu tahun sejak Vita dan Arga mengikat janji sebagai suami istri. Mereka meniup lilin bersama di atas kue kecil buatan Vita dengan tulisan: Happy 1st Anniversary, Arga & Vita.Tepat setelah lilin padam, suara dering ponsel terdengar. Arga buru-buru merogoh saku celananya dan melihat ke layar ponselnya. Ekspresinya berubah sepersekian detik saat ia melihat siapa yang menelepon. Namun sedetik kemudian, ia kembali tersenyum."Maaf sayang, aku angkat telepon sebentar ya," ucap Arga.Tanpa menunggu jawaban dari Vita, Arga beranjak dari kursinya dan berjalan meninggalkan Vita sendiri di ruang makan. Vita menatap lilin yang baru saja padam. Ia menarik napas pelan dan mencoba tersenyum. Ini bukan pertama kalinya Arga bersikap seperti ini.Setelah