Vita berjalan menuju sudut rumah tempat keranjang pakaian kotor berada. Dengan cekatan, ia mulai memilah-milah baju kotor yang sudah menumpuk, lalu memisahkan pakaian berwarna putih, gelap, dan yang berbahan lembut.
Namun tangannya terhenti saat ia mengambil sepotong celana panjang dan kemeja yang tampak lusuh dan penuh lumpur kering. Vita mengernyit. Tangannya refleks memegang bagian bawah celana yang nyaris mengeras karena tanah yang sudah mengering. Setelah diteliti, ternyata ada bekas cipratan lumpur di bagian lutut dan ujung lengan baju, bahkan terdapat sedikit sobekan kecil di sisi kemeja. Hatinya langsung dipenuhi tanya. Bagaimana pakaian Arga yang dipakainya semalam bisa dipenuhi oleh lumpur? Vita menghela napas pelan, ia lalu duduk di sisi keranjang sambil menatap pakaian itu. Ada rasa tak nyaman merayap pelan di dadanya. Pekerjaan kantor macam apa yang membuat suaminya sampai pulang dengan kondisi sekotor ini? tanya Vita dalam hati. Karena tak ingin dihantui rasa penasaran, Vita memutuskan untuk bertanya langsung kepada suaminya. Ia membawa pakaian kotor itu lalu berjalan pelan menuju ruang tengah, tempat Arga sedang duduk menonton TV. “Mas Arga,” panggil Vita. Arga sontak menoleh. “Iya, kenapa?” tanya Arga. “Kok baju yang kamu pakai semalam bisa sekotor ini?” tanya Vita penuh selidik. Tubuh Arga langsung menegang. Matanya sempat melirik pakaian di tangan Vita, sebelum akhirnya ia berdiri dan menghampirinya. “Oh itu…Tadi malam hujan, terus di jalan ada ibu-ibu yang motornya mogok, terus aku bantuin dorong. Makanya baju aku ikut kotor," jawab Arga sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Vita tidak langsung menanggapi. Ia hanya diam, menatap pakaian itu sejenak. Ada keraguan yang tergambar jelas di wajahnya. Jawaban Arga terdengar masuk akal, tapi tetap saja hatinya belum benar-benar percaya. “Kenapa?” tanya Arga pelan. “Atau biar aku aja yang nyuci, sini.” Ia mengulurkan tangan untuk mengambil baju itu, namun Vita segera menariknya menjauh. “Ngga usah, biar aku aja,” ucap Vita singkat. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut dari Arga, Vita berbalik dan berjalan menuju tempat mencuci pakaian. Arga berdiri diam di tempat, matanya mengikuti setiap langkah Vita. Rahangnya mengeras, lalu ia mengusap wajahnya dengan kasar. ★★★ Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Vita kembali ke kamar dengan niat ingin beristirahat sebentar. Ia duduk di sofa kecil dekat jendela, membiarkan tubuhnya bersandar dengan mata terpejam. Namun pikirannya belum benar-benar tenang. Ucapan Arga pagi tadi terus terulang di kepalanya. "Tadi malam hujan, terus aku bantuin ibu-ibu dorong motor..." Entah kenapa Vita merasa ada yang janggal dari ucapan suaminya itu. Tadi malam ia tidur sangat nyenyak, sampai tidak menyadari apakah hujan benar-benar turun seperti yang Arga katakan. Dan kini, rasa ingin tahunya mendorongnya untuk memastikan sendiri. Vita menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat, sementara dari dalam terdengar air yang mengalir, Arga sedang mandi. Akhirnya Vita memilih berdiri dari sofa, dan berjalan menuju pintu, ia pun keluar dari kamar. Ia menuruni anak tangga dengan tergesa, lalu berjalan menuju pintu keluar. Begitu membuka pintu depan rumah, sinar matahari langsung menyambut wajahnya. Vita berdiri di ambang pintu selama beberapa detik, hanya menatap ke depan. Matanya menyapu jalanan perumahan yang lengang. Perlahan ia melangkah keluar dan turun ke halaman depan. Aspal di depan rumah tampak kering, bahkan sedikit berdebu. Vita berjalan lebih dekat ke tepi jalan, memperhatikan selokan kecil di pinggirnya. Tidak ada air menggenang, bahkan lumut di dinding saluran air tampak kering. Ia menengok ke sekeliling. Tidak ada bekas ban kendaraan yang berlumpur. Tidak ada tanda air pernah menggenang semalam. Bahkan rumput pun tak terlihat basah. Kalau memang semalam hujan, mengapa tak ada jejaknya sedikit pun? Apakah Arga telah berbohong kepadanya? “Neng Vita!” Suara itu membuat Vita tersentak kecil. Ia menoleh cepat, kaget karena merasa tiba-tiba saja disadarkan dari lamunannya. Ternyata Pak Iwan, satpam perumahan yang sedang berdiri di dekat pagar rumah sambil tersenyum ramah. Dengan seragamnya yang khas dan tongkat kecil di tangan, pria paruh baya itu tampak baru saja menyelesaikan ronda paginya. Vita menarik napas lega, mencova menutupi keterkejutannya. “Selamat pagi Pak Iwan, saya nggak nyadar ada bapak," ucap Vita. “Hehe, maaf ya Neng, kalo ngagetin. Soalnya dari tadi bapak liatin kayanya Neng Vita lagi bengong, kaya lagi banyak pikiran," ucap Pak Iwan sambil terkekeh. Vita tersenyum tipis. "Ngga pak, cuma lagi berjemur," balas Vita sedikit kikuk. Lalu seolah baru ingat sesuatu, Vita pun bertanya, “Pak, semalam hujan ya di sini?” Pak Iwan langsung menggeleng. “Nggak tuh, Neng. Tadi malam bapak keliling sampai hampir jam satu, nggak turun hujan sama sekali," balas Pak Iwan. Vita terdiam sejenak. “Oh gitu, saya kira hujan. Soalnya tadi malam sempat denger kayak suara rintik-rintik gitu,” ucap Vita berbohong. Pak Iwan tertawa kecil. “Hehe, jangan-jangan mimpi hujan, Neng," balas Pak Iwan. Vita ikut tertawa. “Bisa jadi tuh pak, kalau gitu saya masuk dulu ya pak,” ucap Vita berpamitan. Vita kemudian berjalan memasuki rumah. Ia mulai berpikir, mungkinkan hujan turun di tempat kerja Arga sementara disini tidak? Pikiran itu cepat terlintas, namun dengan cepat ia tepis. Karena setahu Vita, jarak rumah mereka dengan kantor tempat suaminya bekerja tidaklah jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit dengan menggunakan mobil. Satu fakta yang ia temukan sekarang adalah Arga telah berbohong kepadanya.“Maaf ya, kalau lama,” ucap Arga begitu kembali ke meja. Ia menarik kursinya dan duduk di hadapan Vita, mencoba tersenyum seperti biasa.Vita menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Nggak papa,” jawabnya singkat sambil tetap mengunyah makanannya.Tanpa banyak bicara, Arga pun ikut kembali makan. Ia mengambil sepotong daging panggang dan meletakkannya di atas nasi. Setelah makanan mereka habis dan hanya tersisa piring-piring kosong di meja, Arga menghela napas puas sambil menyandarkan punggung ke kursi.“Kenyang banget,” ucap Arga sambil tersenyum.Vita mengangguk pelan sambil tersenyum.Arga berdiri dan mengambil dompet dari saku celananya. “Aku mau bayar dulu, kamu tunggu di sini aja ya,” ucap Arga.Vita mengangguk, ia memandangi suaminya yang berjalan menuju kasir. Arga terlihat berbincang sebentar dengan kasir sambil menyerahkan kartu pembayaran, lalu mengangguk saat transaksi selesai.Tak lama kemudian, ia kembali ke meja. “Udah, yuk pulang," ucapnya.Mereka berjalan beriringan k
"Hah? Maksudnya?" tanya Arga tak paham.Pria itu menatap lebih dekat, matanya menyipit seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Iya, Mas. Saya lihat mas persis banget kayak orang yang saya kenal dulu. Namanya Reksa. Teman lama saya, udah lama banget nggak ketemu," jelasnya.Arga tertawa kecil. “Wah, maaf mas, saya bukan Reksa. Nama saya Arga. Mungkin cuma mirip aja,” ucapnya.Pria itu masih menatapnya dengan ragu. “Yakin bukan Reksa? Soalnya mas bener-bener mirip sama temen saya, apalagi senyumnya,” ucap pria asing lagi.Arga tersenyum lagi, kali ini lebih dipaksakan. “Nggak, saya yakin kok. Saya bahkan ngga kenal sama orang yang namanya Reksa, mungkin Mas salah orang," ujar Arga dengan tegas.Namun pria itu tampaknya belum puas dengan jawaban Arga. Ia merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan ponselnya. “Bentar, saya ada fotonya pas kuliah dulu,” ujarnya lalu membuka galeri dan menunjukkan satu foto.“Ini nih. Lihat, mirip kan?” tanya pria tersebut sambil mengarahkan layar ponselnya ke had
"Dari mana?""Eh kaget!" seru Vita terkejut begitu membuka pintu. Ia tak menyangka Arga sudah berdiri di sana, menunggunya dengan tangan bersedekap dan alis sedikit terangkat.“Habis dari depan sebentar,” jawab Vita sedikit gugup.Arga tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap wajah istrinya dalam-dalam, sorot matanya sulit ditebak. Pandangan yang terlalu lama itu membuat Vita merasa tidak nyaman.“Kenapa ngeliatinnya kayak gitu sih?” tanya Vita dengan nada kesal.Arga tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat dan memeluk istrinya. “Nggak papa, soalnya istri Mas cantik banget,” bisiknya pelan di telinga Vita.“Apasih? pagi-pagi udah gombal,” balas Vita dengan wajah yang sudah bersemu merah.“Mas nggak gombal, kamu emang selalu cantik,” ucap Arga lembut, ia lalu mengecup pelan rambut Vita yang harum, aroma sampo yang membuatnya semakin betah berlama-lama dalam pelukan itu.Sambil tetap memeluk istrinya, Arga bertanya, “Mau jalan-jalan nggak hari ini?”“Jalan-jalan ke mana?” Vita menol
Vita berjalan menuju sudut rumah tempat keranjang pakaian kotor berada. Dengan cekatan, ia mulai memilah-milah baju kotor yang sudah menumpuk, lalu memisahkan pakaian berwarna putih, gelap, dan yang berbahan lembut.Namun tangannya terhenti saat ia mengambil sepotong celana panjang dan kemeja yang tampak lusuh dan penuh lumpur kering.Vita mengernyit. Tangannya refleks memegang bagian bawah celana yang nyaris mengeras karena tanah yang sudah mengering. Setelah diteliti, ternyata ada bekas cipratan lumpur di bagian lutut dan ujung lengan baju, bahkan terdapat sedikit sobekan kecil di sisi kemeja.Hatinya langsung dipenuhi tanya. Bagaimana pakaian Arga yang dipakainya semalam bisa dipenuhi oleh lumpur? Vita menghela napas pelan, ia lalu duduk di sisi keranjang sambil menatap pakaian itu. Ada rasa tak nyaman merayap pelan di dadanya. Pekerjaan kantor macam apa yang membuat suaminya sampai pulang dengan kondisi sekotor ini? tanya Vita dalam hati.Karena tak ingin dihantui rasa penasara
Keesokan harinya, Vita terbangun karena suara nyaring yang berasal dari alarm yang ia pasang di ponselnya. Dengan mata masih terpejam, ia berusaha meraih ponsel yang berada di nakas sebelah ranjang menggunakan tangannya.Setelah berhasil mematikan alarm tersebut, ia berniat untuk kembali memejamkan mata, namun rasa kantuk itu seketika menguap saat ia menyadari ada seseorang yang melingkarkan lengan di pinggangnya.Vita menoleh dan mendapati Arga sedang memeluknya dalam keadaan tertidur. Vita tertegun sejenak, ia tak tahu kapan Arga pulang, karena semalam tidurnya sangat nyenyak.Dengan hati-hati, Vita memegang tangan Arga dan melepaskannya perlahan dari pinggangnya, berusaha membuat gerakan sepelan mungkin agar pria itu tidak terbangun.Begitu berhasil melepaskan diri, ia membalikkan tubuhnya dan kini berhadapan langsung dengan suaminya. Jarak wajah mereka kini hanya tinggal beberapa sentimeter.Vita memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Rambut Arga sedikit berantakan, dan ada
"Selamat ulang tahun pernikahan kita yang ke satu," ucap Vita sambil tersenyum lebar.Arga mengangguk, kemudian mendekat untuk mengecup kening Vita. "Terima kasih sudah bertahan dengan aku selama setahun ini," ucapnya lembut.Malam ini adalah tepat satu tahun sejak Vita dan Arga mengikat janji sebagai suami istri. Mereka meniup lilin bersama di atas kue kecil buatan Vita dengan tulisan: Happy 1st Anniversary, Arga & Vita.Tepat setelah lilin padam, suara dering ponsel terdengar. Arga buru-buru merogoh saku celananya dan melihat ke layar ponselnya. Ekspresinya berubah sepersekian detik saat ia melihat siapa yang menelepon. Namun sedetik kemudian, ia kembali tersenyum."Maaf sayang, aku angkat telepon sebentar ya," ucap Arga.Tanpa menunggu jawaban dari Vita, Arga beranjak dari kursinya dan berjalan meninggalkan Vita sendiri di ruang makan. Vita menatap lilin yang baru saja padam. Ia menarik napas pelan dan mencoba tersenyum. Ini bukan pertama kalinya Arga bersikap seperti ini.Setelah