"Mama masuk duluan, ya," kata Renata, seraya melangkah masuk ke dalam rumah.
Gadis yang diajak bicara tak menyahut. Dia lebih memilih diam dan merapikan rambut. Karenina namanya, rambut panjangnya sedikit berantakan karena tertiup angin.
Karenina duduk termenung di kursi halaman belakang. Pemandangan asri di rumah barunya ini, tampak jauh berbeda dari rumahnya yang lama. Tak ada hingar bingar kendaraan berlalu lalang.
Karenina bersandar di kursi, pikirannya melayang pada kejadian sebulan yang lalu. Saat ayahnya memberitahu bahwa mereka akan pindahan. Pindah ke tempat yang cukup terpencil.
"Kita akan pindah ke Pulau Rangit," ucap Jeremy—ayahnya Karenina.
"Oh, pindah. Eh, tunggu, pi ... pindah? Kok bisa?" Karenina segera menghentikan aktivitas makannya.
"Papa ada kerjaan di sana. Kalau bisa selesaiin tugas di sana, bisnis keluarga kita akan semakin besar," jelas Jeremy lagi.
"Kenapa aku harus ikut? Aku udah kelas 2 SMA, Pa. Ini juga pertengahan semester, bakal susah ngurus pindahannya," tolak Karenina.
"Soal itu, biar Mama yang urus," kata Renata yang sedari tadi diam saja.
Karenina mendengkus mendengar jawaban ibunya. Karenina pun tak melanjutkan makan. Dia segera beranjak meninggalkan meja makan. Karenina menghentak-hentakkan kakinya, sebagai bentuk protes atas keputusan sang ayah.
Segera Karenina melangkahkan kaki menuju kamar. Dia menutup pintu dengan keras. Dia ingin protes sebesar-besarnya, untuk menolak rencana pindah ke tempat terpencil.
*****
Wajah Karenina tampak kesal saat menginjakkan kaki di rumah barunya. Rumah dengan dua lantai yang terbuat dari kayu itu terlihat sangat kuno bagi Karenina.
Sedari kecil, Karenina memang sudah terbiasa dengan kemewahan. Saat umur 5 tahun saja, dia sudah dibelikan boneka seharga lima juta rupiah. Padahal saat itu, teman-teman seumurannya hanya bisa memiliki boneka seharga 20 ribu.
Keadaan rumah yang jauh berbeda dari sebelumnya membuat Karenina tidak nyaman. Belum lagi, tak ada pembantu di rumah yang baru ditempatinya ini.
"Kamarmu di lantai atas, ya, Karen," kata Renata lembut.
"Yakin kita tinggal di sini, Ma? Ini rumah kayu, loh. Yakin kayunya masih kokoh? Kalau tiba-tiba gempa, terus roboh gimana?" tanya Karenina khawatir.
"Udah, udah. Buang jauh-jauh pikiranmu itu. Ini rumahnya dijamin kokoh. Terus, rapiin barang-barang kamu," ucap Jeremy tegas.
Mendengar perkataan ayahnya, Karenina hanya bisa menjawab "iya" dengan lemah. Perasaan enggan masih menyelimuti. Rumah yang akan ditempati, benar-benar jauh dari harapannya.
"Oh, iya. Besok kamu langsung masuk sekolah, ya. Sore nanti kita pergi berbelanja buat keperluan rumah dan sekolahmu," kata Renata.
"Iya." Karenina menarik kopernya dari teras, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.
Segera Karenina mengangkat kopernya, saat menaiki tangga untuk menuju ke lantai dua. Walaupun terbuat dari kayu, rumah yang ditempatinya ini terlihat bersih dan kokoh. Tidak terlihat ada sarang laba-laba, ataupun bekas gigitan rayap.
Saat sampai di ujung tangga, Karenina berbelok ke arah kiri. Tampak sebuah pintu yang terbuat dari kayu ulin, masih mengkilap walau telah termakan usia. Segera, pintu itu dibuka oleh Karenina. Ruangan yang cukup luas dengan ranjang dan lemari yang sudah tersedia di sana.
"Ah, lelahnya," keluh Karenina seraya merebahkan badan ke ranjang.
"Ternyata engga terlalu buruk juga di sini. Kamarnya masih lumayan luas," gumam Karenina.
Tak lama kemudian, Karenina sudah terlelap di kamarnya. Jarak tempuh yang cukup jauh membuatnya kelelahan. Ditambah dengan jalanan yang belum beraspal, terjal, dan berbatu, membuat perjalanan dengan mobil terasa semakin lama.
Suara ketukan dari pintu membangunkan Karenina dari tidur. Segera dia melangkah untuk membukakan pintu
"Loh, ya ampun, Sayang. Masih belum siap, juga? Ini udah sore, loh. Cepet siap-siap. Kita mau pergi belanja," ucap ibunya Karenina.
"Hah, udah sore? Perasaan tadi baru tiduran bentar doang, deh," sahut Karenina sambil menggaruk kepala.
"Ck, dasar. Yaudah, cepetan mandi dulu. Kalau udah, langsung turun aja. Jangan lama-lama, ya." Renata pun berlalu meninggalkan Karenina yang masih tak bergeming dari tempatnya.
Karenina mengayunkan kaki dengan malas. Rasa lelah masih belum hilang, tapi malah langsung diajak berbelanja. Diambilnya handuk yang ada di dalam koper, lalu segera dia masuk ke kamar mandi.
Di tatapnya interior dalam kamar mandi. Walau seluruh rumah terbuat dari kayu, tapi kamar mandinya diberi keramik. Mungkin biar tidak lembab atau biar airnya engga rembes ke lantai bawah, pikir Karenina.
Tak lama kemudian, Karenina yang sudah siap segera menuruni tangga. Rambut panjangnya diikat dengan gaya ponytail. Polesan lip tint membuat wajah Karenina semakin berseri.
"Aduh, cantiknya anak Papa," puji Jeremy.
"Makasih, Pa. Mama mana? Tadi katanya harus cepet."
"Mama lagi ke kamar bentar. Mau ambil yang kelupaan, katanya," jawab Jeremy.
"Yuk, jalan." Renata yang baru saja datang langsung mengajak semua untuk segera masuk ke mobil.
*****
Renata dan Karenina memilih perlengkapan dapur. Sedangkan, Jeremy lebih memilih untuk duduk di kursi di luar toko. Walau termasuk pulau terpencil, desa Sinsani yang ada di Pulau Rangit ternyata telah memiliki pusat perbelanjaan yang cukup maju.
Setelah selesai membeli semua keperluan. Karenina bersama orang tuanya menyempatkan untuk singgah sebentar ke sebuah rumah makan yang terlihat cukup unik.
"Bu, kami pesan 3 porsi ayam panggang sama 3 potong ayam goreng untuk dibawa pulang," kata Jeremy pada seorang ibu paruh baya.
"Baik, Pak. Silakan ditunggu pesanannya. Silakan duduk dulu di meja dekat kasir. Nanti pesanannya akan diantarkan ke meja Bapak," jawab si pegawai.
Karenina sekeluarga pun duduk di dekat kasir. Interior rumah makan tersebut terbilang cukup unik. Mengangkat nuansa modern, tapi dengan tidak meninggalkan ciri khas pedesaan.
"Pa, kenapa milih mesan makanan di sini, sih? Suasananya engga enak gini. Liat aja, tuh, pelanggannya aja sedikit, sepi," protes Karenina.
"Sepi? Jangan bercanda, deh, Karen. Ini semua meja terisi penuh gini, kok," sahut Renata.
"Hah!? Ih, becanda Mama tuh engga lucu, tau," kata Karenina sambil mengelus tangannya yang merinding.
Sebenarnya Karenina masih ingin protes. Namun, badannya disenggol oleh sang ayah agar dirinya diam. Disebabkan pegawai mendekat ke arah mereka untuk mengantarkan pesanan.
"Ini, Pak, Bu, pesanannya. Maaf agak lama. Karena hari ini hari libur, rumah makan kami jadi ramai seperti ini. Kami jadi agak keteteran," kata si pegawai memberi penjelasan.
Karenina yang mendengar ucapan tersebut sontak terkejut. Rupanya apa yang dikatakan ibunya memang benar. Namun, tetap saja, di matanya di rumah makan itu terlihat sepi oleh pelanggan. Hanya terlihat satu, dua orang yang makan di sana.
"Ayo, cepat, Pa. Nanti keburu gelap." Karenina lekas mengajak ayahnya pulang, karena dia melihat sosok dengan wajah pucat. Segera Karenina mengayunkan kaki ke luar rumah makan.
Aden dan Serlan berpamitan untuk pulang. Ardan dan Delima pun mengantarkan sampai ke teras rumah. Setelah mobil telah menjauh, barulah Ardan dan Delima masuk ke dalam rumah."Temen Kak Ardan pada lucu, ya. Suka ngelawak," ujar Delima sambil duduk ke sofa."Gitulah. Kadang eror otak mereka tu," sahut Ardan.Delima tersenyum mendengar jawaban Ardan. Tampak Ardan jadi lebih ceria setelah bertemu teman-teman kantornya."Kak, tadi mama nelpon aku. Katanya, boleh engga kalo mama minggu depan main ke sini," kata Delima melaporkan tentang pembicaraannya dengan sang ibunda."Boleh. Kapan aja mau ke sini juga boleh," balas Ardan."Misal mama mau nginep, gimana?""Boleh aja. Tapi, harus kasih tau dulu. Soalnya mau engga mau, kamar yang kamu pakai akan dikasih buat mama tidur pas nginap," sahut Ardan."Kok gitu?" Delima tampak bingung."Kalo ketahuan kita tidurnya beda kamar. Pasti mama engga bakal suka. Kita cuma beruntung, engga ketahuan beda kamar pas di rumah kamu. Lagian, ada alasan kalo kam
ySegera Ardan memakan bakso yang tadi dipesannya. Tak lupa, dia juga memesan segelas es jeruk. Dalam sekejap, bakso yang ada di hadapannya pun tandas tak bersisa."Ngomong-ngomong, Dan, boleh engga kami nanti bertamu ke rumah lu? Yah, semacam perkenalan sama istri lu, gitu," ucap Aden."Ya boleh-boleh aja. Asal jangan dadakan aja. Biar istri gue ada persiapan buat nerima tamu," sahut Ardan seraya mengambil es jeruk yang ada di atas meja."Wih, mantep tu. Terus, gimana ceritanya lu bisa ketemu bini lu? Secara kayaknya dia masih muda banget," tanya Serlan penasaran."Ah, kami ketemu pas acara perpisahan sekolah. Aku datang sebagai alumni, sekalian reuni ama temen-temen seangkatan," tutur Ardan.Alena memilih untuk beranjak dari meja kantin. Topik yang sedang teman-temannya bahas, membuatnya tak nyaman. Segera dia berlalu, dan pergi menuju ke kantor tempatnya bekerja."Eh, Len, tungguin napa!" seru Erin bergegas berdiri dan mengejar Alena yang berjalan cepat."Engga apa-apa, tuh?" tanya
"Bu, pesan ayam tepung asam manisnya 2, cumi goreng tepung 1, es teh 2, ya," ucap Ardan memesan makanan pada ibu pemilik warung."Wah, mbak cantik ke sini lagi. Gimana, kemarin suka engga sama jamur goreng tepungnya?" tanya ibu pemilik warung."Suka, Bu. Tapi, lebih suka sama ayam tepung asam manis, soalnya ada asem-asem manisnya," sahut Delima seraya tersenyum.Ibu pemilik warung tertawa mendengar jawaban Delima. Segera, dia mengambilkan pesanan Ardan."Nah, ini silakan dimakan. Semoga rasanya pas," kata si ibu."Pasti pas dong, Bu. Makanya, kami balik ke sini lagi. Rasa makanannya bikin nagih," balas Delima."Haduh, haduh, manis sekali mulut bumil yang satu ini. Silakan dimakan kalo gitu, ibu mau bikin makanan buat pelanggan yang lain," kata si ibu, lalu pergi meninggalkan meja Ardan dan Delima.Ardan dan Delima pun memulai acara makna pagi mereka. Ditemani dengan semilir angin, membuat suasana makan mereka jadi begitu menyenangkan."Gimana? Mau nambah?""Engga, Kak. Ini udah cukup.
Delima memakai gelang mutiara pemberian Ardan. Terlihat sangat pas di tangannya yang berkulit kuning langsat.Ardan tersenyum saat melihat gelang pemberiannya langsung dipakai. Begitu mudah menyenangkan perempuan yang ada di hadapannya kini."Sekarang udah jam 10, kita istirahat dulu bentaran. Abis itu nanti kita cari oleh-oleh lagi. Pokoknya jam 3, kita udah siap buat pulang," kata Ardan."Oke, Kak."Delima merebahkan diri ke kasur, dia ingin tidur untuk mengembalikan tenaga yang habis karena bermain tadi. Ardan memilih untuk duduk ke sofa dan menonton tv.Ardan mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Menghidupkan daya ponsel yang sedari pagi dia matikan.Beberapa pesan dari kawan dan keluarga mulai berdatangan. Segera, Ardan membalas beberapa pesan.[Gimana liburannya? Delima engga bikin repot, kan?]Sebuah pesan yang dikirim oleh Bu Reni tengah dibaca Ardan.[Liburannya menyenangkan, Ma. Delima aman kok, Ma. Cuma ada sedikit mual muntah karena penciumannya jadi sensitif] balas A
Karenina melangkah perlahan menyusuri jalan bersama teman-temannya. Ini baru pertama kalinya dia berjalan ke arah pertigaan.Biasanya, dia hanya melihat Celline berjalan ke sana sampai hilang dibelokan pertigaan. Tetapi, hari ini dia juga ikut, bahkan bersama teman-teman yang lain."Kalo dilihat-lihat, area sini agak serem ya. Pohonnya besar-besar," kata Karenina sambil memeluk erat lengan Celline."Engga papa, kok, Karen. Di sini aman, malah orang-orang kayaknya lebih takut ama rumahmu daripada ama pohon di sini," kata Celline mencoba menenangkan Karenina."Bener? Padahal keadaan rumahku engga seserem itu, kok," balas Karenina bingung."Yah, namanya juga rumahmu banyak diceritain kalo udah jadi rumah angker. Mana kisahnya udah hampir semua orang tau, jadi begitulah," sela Adrian.Karenina mengembuskan napas, bahkan dengan pohon yang terlihat lebih seram saja, rumahnya masih lebih ditakuti orang-orang."Aneh-aneh aja emang warga sini," imbuh Selena."Ngatain warga sini aneh. Kamu juga
Adrian dan Karenina melangkah cepat masuk ke dalam rumah. Dalam keheningan, mereka terus mempercepat langkah agar lekas sampai ke kamar Karenina yang ada di lantai 2.Segera Adrian membuka pintu kamar, lalu masuk bersama Karenina. Selena dan Celline yang melihat Adrian begitu tergesa-gesa menjadi penasaran."Ada apa, Dri? Kok kaya dikejar gitu?" tanya Selena pada Adrian yang langsung tersandar ke sisi tembok."Iya. Ada apa? Ada sesuatu di lantai bawah?" tanya Celline pula.Adrian pun akhirnya menceritakan apa saja yang terjadi barusan. Ceritanya pun diamini oleh Karenina. Selena dan Celline yang mendengar pun menjadi ikut merasa takut."Berarti Pak Bandi yang kalian temui di dapur itu asli?" tanya Celline memastikan."Harusnya begitu. Karena pas kami nemuin Kak Gio, Pak Bandi keluar dari rumah sambil bawa teko air panas," sahut Karenina."Betul. Tapi, kami beneran lihat bayangan orang yang sedang tiduran di dalam tenda. Bahkan, Kak Gio juga lihat tadi. Makanya pas Pak Bandi keluar dar
"Lebih baik kita mulai penyelidikan lagi. Celline buku yang kamu pinjam dari perpus tadi mana, ya?" tanya Adrian.Segera Celline memberikan buku yang dibaca Adrian tadi. Buku tentang sejarah pulau Rangit. Lembar demi lembar dibaca Adrian dengan perlahan. Sampai dia menemukan halaman yang membahas soal desa rewangi"Desa Rewangi adalah salah satu dari desa yang ada di Pulau Rangit. Tempatnya cukup terpelosok, karena akses jalan yang sulit untuk dicapai. Jalan berbatu, hingga tanah yang berlumpur, menjadi penghalang untuk orang luar masuk ke desa ini." Adrian membacakan isi buku tersebut."Namun, sebuah kejadian tragis sempat terjadi. Karena suatu hal, sebuah kebakaran hebat terjadi di desa Rewangi. Sehingga, membuat desa Rewangi lumpuh sama sekali. Setelah itu, pemerintah mulai menata kembali desa Rewangi. Kini desa Rewangi sudah menjadi desa yang cukup besar, lagi modern." Adrian menutup buku yang ada di tangannya."Sepertinya lukisan rumah terbakar memang berkaitan dengan desa Rewang
Setelah Karenina keluar bersama Celine, Adrian memilih untuk pergi ke kamar mandi. Sedangkan Selena lebih memilih untuk memakan cemilan yang ada di hadapannya.Tak berapa lama Adrian masuk ke dalam kamar mandi. Tiba-tiba, ada suara ketukan dari luar pintu kamar mandi. Adrian segera menyahut bahwa ia akan keluar sebentar lagi.Lalu setelah selesai dari kamar mandi. Segera Adrian mendatangi Selena dan menanyakan kenapa Selena mengetuk pintu kamar mandi."Kenapa, Sel? Kamu mau ke kamar mandi juga?" tanya Adrian.Selena terkejut dan tak paham dengan apa yang dimaksud Adrian."Apa, sih? Aku dari tadi di sini aja, loh. Lagi makan nugget sama kentang," sahut Selena."Tadi ada yang ngetuk pintu kamar mandi. Yah, aku kira itu kamu yang ngetuk," kata Adrian."Ngetuk pintu? Aku sama sekali engga gerak dari tempat ini, Dri. Suara ketukan? Jangan-jangan ini suara ketukan yang sering dibicarain Karenina. Kita harus cepat-cepat ngasih tahu Karenina sama Celline soal ini," kata Selena cepat."Engga. K
Karenina mengeluarkan selembar foto hitam putih, sebuah buku catatan berwarna hitam. Juga, kertas yang berisi tulisan tentang ucapan bapak tua yang bertemu dengannya di hari pertama menginjakkan kaki di pulau Rangit.Segera, Selena mengambil kertas yang diletakkan Karenina. Dia merasa penasaran dengan apa yang tertulis di sana. Karena dia belum diceritakan sepenuhnya tentang kejadian yang pertama menimpa Karenina, yang sampai mengakibatkan kecelakaan."Maksud tulisan ini apa, ya? Maksudnya kita disuruh mengungkap masa lalu yang berhubungan sama Karenina, gitu?" tanya Selena."Kurang lebih begitu. Dan pastinya ini semua berkaitan dengan masa lalu rumah ini, juga tentang sejarah di pulau ini," sahut Adrian.Selena mengangguk. Setelah itu, dia minta diceritakan tentang kejadian yang menimpa Karenina saat baru tiba di pulau Rangit.Karenina pun menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Tak dilebihkan atau dikurangi sama sekali."Berarti yang suara ketukan itu semacam pertanda teror ba