Share

Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu
Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu
Penulis: Retraza

1. Ayah dari Seorang Anak Laki-laki

"Tante jahat! Huhuhu... sakit...."

Gia menutup mulutnya. Matanya membulat tak percaya melihat seorang anak laki-laki jatuh terduduk di depannya.

Mata anak itu menggenang penuh linangan air mata. Es krim di tangannya sudah meluber di lantai mall. Gia berdesis.

Dia memang salah karena menelepon sambil berjalan di tengah keramaian mall, tapi anak ini juga salah karena sudah lari-larian di mall!

"Ih, bukannya dibantuin, ya."

"Kasian banget adeknya."

"Aduh... udah nangis begitu, gak minta maaf."

Mata Gia mengedar, lalu meringis. Padahal jelas-jelas anak itu yang salah, tapi pengunjung mall tampaknya tetap menyalahkannya. Mendapati seorang anak kecil jatuh menabrak wanita dewasa, sudah pasti yang salah wanita itu.

"Dek–" Gia berjongkok.

"Huaaaa... es krim aku. Hiks… hiks jatoh. Huaaaa… Tante harus ganti! Pokoknya ganti. Huaaa... aku mau es krim baru." anak laki-laki itu menangis meraung-raung.

"Ng…. Tante, minta maaf ya."

Sejujurnya Gia sangat gugup sekarang. Dia tidak pernah berinteraksi dengan anak kecil. Apalagi anak kecil yang sedang tantrum.

"Tante ganti es krimnya, ya? Kamu mau makan di mana?" tanya Gia mencoba bersikap lembut.

Anak laki-laki itu mengusap matanya. "Tante Gia beneran mau traktir aku?”

Mata Gia membulat mendengar namanya diucap anak laki-laki itu. "Kamu kenal aku?"

"Tau dong. Kan aku sering lihat video tante Gia di YouTube. Tante Gia sering masak, sering jalan-jalan, sering make up juga, kan?" ungkap anak laki-laki itu. Suaranya berubah riang.

Suara anak laki-laki itu menghipnotis Gia. Kenyataan bahwa dia dikenal anak kecil membuat Gia tersipu. Ternyata dari 900 ribu subscriber nya di YouTube, Gia mendapati sebagiannya adalah anak-anak.

Profesi Gia sebagai influencer dan beauty enthusiast memang membuat namanya melejit. Tapi tidak disangkanya seorang anak laki-laki yang Gia taksir berusia 7 tahun juga senang dengan konten youtubenya.

Maka tidak menunggu lama lagi, anak laki-laki itu meminta untuk dibawa ke Hagen Dazs—restoran es krim favoritnya. Gia hanya bisa menuruti sambil berharap orang tua dari anak ini segera datang.

Sambil menatap anak laki-laki yang sedang asyik menyantap es krim chocomint nya, Gia bertanya. "Nama kamu siapa?"

Anak laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke wajah Gia. "Sandrio, Tan. Tapi Papa panggil aku San. Usiaku 7 tahun, dan aku senang makan es krim. Makasih ya, Tante Gia, untuk traktirannya." San tersenyum lebar.

Gia ikut tersenyum.

"San, orang tua kamu di mana? Nanti kalau orang tua kamu nyariin gimana? Tante enggak mau, lho, disangka penculik."

San menatap Gia dengan mata polosnya. Sesaat Gia merasa familier dengan mata hitam pekat itu.

"Kalau Papa sadar aku hilang nanti juga Papa lapor satpam," kata San santai.

Gia sampai menganga mendengarnya. "San, kalau Papa kamu panik nyariin kamu gimana?" tanya Gia lagi, sambil menyuapi San sesendok es krim.

"Papa gak bakal panik. Tante tenang aja."

"Kamu gak takut dimarahin sama Papa kamu?"

Gia masih bersikeras. Jelas. Dia gak mau dianggap penculik anak dengan iming-iming makan es krim mahal. Bisa hancur reputasinya.

"Gak bakal, Tante. Papa itu sayang banget sama aku, jadi Papa gak bakal marahin aku. Percaya deh," ujar San sambil menyuapkan es krim ke mulutnya.

"Iya, kamu emang gak bakal dimarahin. Tapi nanti Tante yang dimarahin sama Papa kamu."

Gia menghela nafas panjang. Bagaimana pun, dia perlu bertemu dengan ayah anak ini. Dia juga tidak bisa lama-lama bersama San.

San menodongkan tangan. Alis kiri Gia naik sebelah.

"Apa?"

"Pinjam handphone. Mau telpon Papa. Aku hafal kok nomor Papa."

Gia lantas memberikan ponselnya. Dari pengamatannya selama beberapa menit bersama San, Gia dapat menebak anak ini adalah anak yang pemberani dan santai.

Belum lagi tampangnya San kalau lagi bete kayak tadi. Udah songong, tapi juga gemesin minta di unyel-unyel.

Gia jadi penasaran setampan apa ayah dari anak ini. Jika melihat bibit good looking yang sudah terpancar dalam diri San sejak dini.

"Papa, cepat ke sini, ya. Tante nya cerewet, nih, takut disangka penculik mulu."

Mata Gia melebar melihat bocah itu yang seperti mengadu pada ayahnya. Heh, udah dijajanin juga!

"Nih, Tan, terima kasih banyak, ya." San tersenyum manis hingga lesung pipinya mencuat. "Tante, suapin lagi." Pinta anak itu melihat Gia hanya diam saja.

Astaga. Apakah semua anak kecil memang manja seperti San? Gia harus banyak-banyak sabar sampai ayah dari anak ini datang.

"Kamu sudah sekolah?" tanya Gia. San mengangguk. "Kelas berapa?"

"Kelas satu, Tan. Tante, Tante mau aku ceritain gak? Di sekolah teman aku banyak sekali," San merentangkan tangannya. Ekspresinya menggebu-gebu.

"Soalnya aku baik dan pintar, Tan. Kata Eyang, aku juga tampan. Makanya teman-teman aku banyak."

Gia tertawa geli. San bercerita dengan semangat. Tidak hanya menjelaskan perihal teman-temannya di sekolah, anak laki-laki itu juga menceritakan bagaimana sosok Sang Papa yang menurutnya sangat keren.

"Papa itu superman! Papa bisa melakukan apa saja. Papa selalu bacain aku buku cerita, ajarin aku naik sepeda, terus bantuin aku kerjain PR," ucap San.

Gia bisa membayangkan sosok yang diceritakan San. Anak ini jelas sangat bangga dengan Papa nya. Melihat kepribadian San yang ceria, ramah, mudah akrab, dan santai, Gia jadi penasaran bagaimana ayah anak ini mendidik anak laki-lakinya.

"Papa! Yey! Itu Papa datang."

Berjalan cepat menuju meja mereka, sosok laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan balutan kaus polo putih dan celana jeans hitam menatap San khawatir.

Gia meneguk ludah. Wajahnya pucat pasi.

Tidak mungkin, kan? Tidak mungkin. Batinnya terus menjerit, melarang laki-laki dewasa itu untuk menghampiri mereka. Tapi apa daya, San menyambut ayahnya dengan senyum merekah.

"Papa!"

Papa?

"Kamu kok baru nelpon Papa, sih, Nak?"

Pemilik suara rendah itu membuat jantung Gia berdegup kencang. Pemandangan di depannya sungguh di luar nalar.

Genta Pramudya, satu-satunya sosok yang Gia cari selama bertahun-tahun, duduk di depannya dengan memangku seorang anak laki-laki berusia 7 tahun yang memanggilnya dengan sebutan Papa.

"Gi–"

Ekspresi terkejut itu membuat jantung Gia berdetak kencang. Genta masih mengenalinya.

"Mas Genta?" panggil Gia tanpa sadar.

Genta tidak menjawab. Laki-laki itu berdeham canggung. Ekspresinya berubah datar.

"Terima kasih sudah menjaga anak saya."

'Terima kasih katanya'. Gia menggigit bibir bawahnya. Mati-matian menahan air mata agar tidak tumpah.

Tidak disangkanya hari ini akan tiba. Setelah bertahun-tahun Gia mencoba untuk berpikir bahwa suatu saat nanti akan ada waktunya dia bisa kembali bersama Genta.

Ya, dia memang kembali bertemu dengan Genta, tapi tidak dengan keadaan seperti ini! Gia ingin menjerit.

Genta adalah mantan kekasihnya semasa SMA. Sebuah kisah yang rumit dan pahit, lantas mengantarkan Gia ke ujung keputusan yang diambilnya. Gia terbang ke Yogyakarta untuk melanjutkan perkuliahan, sementara Genta memilih Amsterdam untuk meneruskan pendidikannya.

Genta memiliki mata hitam tajam persis seperti mata San. Genta, yang sama seperti San memiliki lesung pipi dan senyum manis, yang sayangnya tidak berlaku untuk Gia.

"Mas Genta sudah menikah?"

Gia tahu ia bodoh dengan bertanya seperti itu. Separuh otaknya yang tidak waras menolak kenyataan bahwa Genta sudah tidak melajang.

"Ya."

Satu kata itu menohok hati Gia. Sama seperti terakhir mereka bertemu, Genta tetap dingin kepadanya, tetap mengacuhkannya.

Gia memandang langit-langit restoran. Situasi macam apa ini. Dia ingin pergi secepatnya, tapi sebagian hatinya menyuruhnya untuk tetap tinggal. Untuk melihat berapa persen kemiripan antara San dan Genta. Meski begitu, Gia tidak bisa menampik sebuah cincin yang terpasang di jari manis Genta.

"Istri mas Genta di mana?"

Raut sendu di wajah Gia dengan cepat menghilang. Sebuah senyum kecil yang menyimpan banyak arti terbit di bibir merahnya.

"Gak ikut sama kalian?" tanya Gia lagi.

Mata Genta menyipit tidak suka. Pertanyaan Gia seolah mengusiknya.

San ikut terpengaruh. Anak laki-laki itu menatap Genta dengan pandangan bertanya.

"Istri itu… Mama ya, Pa?" tanya San.

"Iya, San. Mama kamu di mana?" Gia beralih menatap San yang terlihat bingung.

"Di rumah," jawab Genta cepat. Matanya menatap Gia dingin. "Kamu penasaran dengan istri saya? Jaga batasan kamu."

Genta berdiri, menggandeng tangan San. "San, ayo kita pulang."

"Mas Genta," jari-jari Gia menahan pergelangan tangan Genta.

Genta segera menepisnya. "Apa-apaan kamu?!" tanya Genta marah.

Gia tersenyum kecil. Mata polosnya tidak terpengaruh gertakan Genta.

"Mas Genta kenapa gak undang aku?" tanya Gia.

Rahang Genta mengeras. Laki-laki itu berdecih.

"Kamu bukan siapa-siapa, Gia. Kenapa saya harus undang kamu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status