Share

6. Mama

"Demi Tuhan, Gia! Tawaran job lagi banyak-banyaknya, dan kamu malah mau jadi pelakor?!"

Gia memandang Ken yang terlihat gusar. Pria itu mengacak-acak rambutnya. Terkadang, Ken bisa sangat berlebihan.

Seperti sekarang. Setelah tadi Genta pulang, wajah Ken memerah. Entah dia malu, atau marah dengan kelakuan atasannya.

Gia buru-buru menarik Ken masuk ke ruang tamu sebelum pria itu mengoceh panjang lebar di teras rumahnya. Bisa bahaya kalau tetangga yang lain sampai dengar.

"Siapa juga, sih, yang mau jadi pelakor?" Gia berkacak pinggang.

"Kamu, kan? Sampai si Genta-Genta itu datang ke sini," ujar Ken kesal.

Gia berdecak panjang. "Jangan langsung ambil kesimpulan, Ken. Dengarin dulu penjelasan aku!"

Ken bersandar di sofa. Lantas menarik nafas panjang. Ditepuknya sofa sebelahnya, menyuruh agar Gia duduk di sana.

"Jelasin secara rinci, dan jangan bohong." mata Ken memicing penuh peringatan.

"Iya," Gia mengambil posisi menyamping menghadap Ken. "Mas Genta memang mantan aku. Dia juga sudah menikah."

"Tapi aku gak ada niatan buat dekatin dia, Ken! Aku cuma mau mengenal lebih dekat anaknya," lanjut Gia.

Alis kiri Ken naik sebelah. "Buat apa kamu dekat sama anaknya?"

Bagi Ken, penjelasan Gia masih abu-abu. Selama mengenal Gia, Ken merasa wanita itu bukan orang yang mudah dekat dengan anak kecil. Terlebih, Ken juga punya anak berusia 7 tahun, dan Gia biasa saja dengan putrinya.

Gia memainkan jari-jarinya. Kebiasaan kecil yang selalu dilakukannya ketika sedang gelisah.

"Aku.." wanita itu membasahi bibir nya. "Gak ada alasan apa-apa. Cuma mau jalin silahturahmi aja."

"Kamu belum move on dari Genta?" tanya Ken hati-hati.

Gia menelan ludah. Seperti ada setumpuk batu yang ditimpah ke dalam dada nya. Fakta bahwa ia belum bisa melupakan Genta membuat Gia tidak bisa berkata apa-apa.

Perlahan, Gia menggeleng. Ken berdecak. 'Astaga!'

"Gak segampang itu, Ken," ucap Gia lirih. "Aku tiba-tiba bertemu lagi sama mas Genta. Terus aku juga baru tau kalau kami tetanggaan."

Ken memijat keningnya. "Lupain."

Mata Gia membulat. "Hah?"

"Lupain Genta, Gia." Sorot mata Ken melembut. Jari-jarinya meraih tangan Gia, berusaha menguatkan.

'Lupain mas Genta?' benak Gia dipenuhi pertanyaan tidak masuk akal, seperti.. bagaimana dia bisa menjalani hidup dengan tidak mencintai Genta?

Melihat Gia terdiam, jantung Ken berdetak kencang. 'Tidak mungkin'. Dia menganggap Gia layaknya adik sendiri.

Ken tidak bisa membayangkan jika Gia memiliki pikiran jahat untuk menghancurkan keluarga orang lain.

"Kamu.. gak berpikir akan merebut Genta dari istrinya, kan?" tebak Ken, harap-harap cemas.

"Ken, aku.." Gia menelan ludah.

Ken memejamkan mata. 'Benar ternyata'. Ucapan Gia barusan sudah menegaskan posisi hatinya. Hati Ken mencelos.

Gia menggigit bibir bawahnya. Apa yang ingin dia ucapkan mungkin akan Ken dengar sebagai pembelaan semata. Tapi sungguh, dia belum bisa melakukan apa yang Ken perintahkan.

"Aku gak bisa lupain mas Genta. Gak sekarang, atau pun nanti. Jadi, tolong.. tolong jangan suruh aku lupain dia. Aku janji, aku gak akan macam-macam."

👠👠

"Tante Gia! Tante, ini San."

Gia membuka pintu rumahnya, dan menemukan San berdiri di teras dengan cengiran lebar. Anak laki-laki itu datang dengan pengasuhnya.

"San mau main di rumah tante Gia, boleh, kan?" tanya San.

Entah Genta tau hal ini atau tidak, tapi selama dua hari ini Gia berusaha menjaga jarak dengan San. Namun sekarang, lihat siapa yang datang duluan?

Tentu saja Gia tidak bisa menolak kehadiran San. Bukan karena ingin merebut hati anak kecil ini, tapi Gia jelas tidak ingin menyakiti hati San.

Gia mengangguk kecil. "Ayo, masuk."

Tidak ada kegiatan yang dilakukan Gia sore ini. Sebelum San datang, dia sedang rebahan sambil menonton drama korea favoritnya.

Tubuh Gia terasa lelah setelah siang tadi melakukan meeting dengan pimpinan Praz Company. Tawaran untuk bermain di salah satu webseries besutan Praz Company belum menemukan titik terang karena salah satu pimpinan sekaligus pendiri Praz Company menolak Gia untuk turut bermain di webseries nya.

"Ibu, ibu pulang aja, ya. San gak apa-apa, kok, sama tante Gia."

Gia yang sedang menuangkan jus di dapur, mendengar anak laki-laki itu berbicara pada pengasuhnya.

Ketika Gia datang, San sedang menjejerkan puluhan Dinosaurus miliknya di atas karpet bulu. Gia mengganti saluran channel nutflix yang semulai drama korea menjadi film kartun.

"Kamu apa kabar?" tanya Gia, sambil ikut merapikan salah satu Dinosaurus agar sesuai barisan.

"Baik, aku sudah makan, tadi disuapin ibu. Kalau Tante, sudah makan, belum?" tanya San. Matanya menatap Gia yang terlihat lelah.

'Tante Gia seperti nya lagi capek' batin San, merasa sedih.

San senang berada di rumah Gia. Gia memiliki banyak action figure Disney yang bisa San adu dengan Dinosaurus nya. Gia juga memiliki grand piano yang bisa San tekan-tekan tuts nya.

"Tante sudah makan. Ini, kamu mau, gak?" Gia menyodorkan segelas jus mangga.

"Wah, terima kasih, Tante!" San minum dengan cepat. "Aku kangen, deh, sama tante Gia. Terakhir aku ke sini, kan, hm.. kapan, ya?"

"Baru tiga hari yang lalu kamu main ke sini," ujar Gia.

San menjentikkan jarinya. "Nah, itu Tante. Tiga hari itu lama, tau, Tan!" anak laki-laki itu mengerucutkan bibirnya.

Gia tertawa geli. "Kamu sudah izin sama Papa kamu, belum?"

'Karena kalau belum, Papa kamu akan marah besar sama Tante, San'. Mata Gia menatap San sendu.

"Belum," San menggeleng. Terlihat santai. "Papa lagi sibuk sepertinya, Tan. Tadi ditelpon sama Ibu, gak diangkat." anak itu mengadu.

Gia hanya ngangguk-ngangguk. Cara San memanggil pengasuhnya—yang baru Gia sadari dipanggil Ibu, membuatnya tertarik.

"San, Tante mau tanya, boleh?"

San mengangguk. Ekspresinya menanti apa yang ingin ditanyakan oleh Gia.

"Kamu manggil mbak Indri, Ibu?" tanya Gia.

Gia sadar jika ada orang dewasa di sekitarnya saat ini, dia akan dicap sangat pengin tahu. Tapi, San hanya anak kecil polos yang tidak mengerti maksud dibalik pertanyaan Gia.

Gia sendiri mengenal mbak Indri ketika pengasuh San itu memperkenalkan diri tiga hari yang lalu.

"Papa yang ngajarin, Tan. Kata Papa, aku harus sopan sama mbak Indri."

'Sopan, ya?' Gia manggut-manggut.

"Terus, San panggil Mama, pakai sebutan Ibu atau Mama?" Pertanyaan Gia membuat San terdiam lama.

Wanita itu memperhatikan ekspresi San yang sulit dijelaskan. Wajahnya terlihat bingung dan sedih secara bersamaan. Seketika Gia menyesal. Untuk apa dia bertanya seperti itu?

'Kamu gak peduliin perasaan San, Gi' bagian dalam diri Gia mengumpatinya. Gia sadar dia memang bodoh, dan.. licik.

San menggaruk kepala nya. Anak laki-laki berusia 7 tahun itu terlihat menimbang-nimbang.

"Ng... Aku belum pernah panggil Mama, Tan. Kalau aku panggil tante Gia, Mama, boleh gak?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status