Share

7. Panggilan Aneh-aneh

Author: Retraza
last update Last Updated: 2023-02-13 15:50:51

"Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?"

Bruushh

Air mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air.

San menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik.

Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala.

"Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir.

San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?"

Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini.

Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain.

Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya.

'Maafin Papa, San.' Genta memijat pelipis nya. Semua tentang San dan Mama nya selalu membuat Genta merasa bersalah.

Apalagi, dengan kehadiran Gia sekarang yang bisa mencuci otak San kapan saja.

"San," panggil Genta dengan emosi tertahan. "Tante Gia bukan Mama kamu."

San mengusap-usap dagunya. Wajahnya fokus berpikir seperti orang dewasa. "Jadi, kalau bukan Mama aku, gak bisa dipanggil Mama, ya, Pa?"

"Gak bisa, dong." Genta meraup wajahnya dengan kedua tangan. Terlihat frustasi. "Kamu jangan aneh-aneh ya, San. Papa gak suka."

San menyengir lebar hingga gigi kecilnya yang bercampur mesis terlihat. Tidak terlihat takut dengan nada penuh peringatan yang diucapkan Genta.

"Tapi tante Gia suka, tuh, Pa," ujar San.

"Hah?" alis Genta tertaut bingung. "Maksud kamu, Nak?"

'Gak mungkin, kan, Gia bilang kalau dia suka aku?' batin Genta. Bisa gawat kalau Gia terang-terangan mengungkapkan perasaannya di depan anaknya Genta sendiri.

Genta tidak ingin San berprasangka yang aneh-aneh.

San menumpukan kedua tangannya di atas dagu. Matanya memperhatikan Sang Papa yang menampilkan ekspresi panik.

'Padahal aku cuma bilang kalau tante Gia suka.' San tidak paham apa yang membuat Papa nya begitu panik.

"Tante Gia suka, kok, Pa, kalau aku panggil dia 'Mama'." San menjelaskan.

Genta terperangah mendengar ucapan San. 'Keterlaluan kamu Nagia!' batin Genta mengamuk.

Gia ternyata tidak peduli dengan peringatannya tempo hari. Wanita itu terang-terangan mengibarkan bendera perang kepada Genta.

Pria itu menarik nafas panjang. 'Tahan Genta, tahan.'

"Tante Gia bilang gitu?" tanya Genta, dengan kesabaran yang sudah setipis tisu.

San mengangguk mengiyakan. "Kata tante Gia, aku boleh panggil dia apa aja. Selama aku senang, tante Gia gak masalah, kok, Pa."

'Gak masalah, ya?'

"Hm.. San," panggil Genta.

"Iya, Pa?" San menatap Papa nya dengan pandangan bertanya.

"Karena kamu gak boleh panggil tante Gia dengan sebutan 'Mama', gimana kalau kamu panggil tante Gia dengan sebutan lain?" Genta menyeringai tipis.

"Wah.. apa, Pa?" San antuasias ingin mendengar ide Papa nya.

Seringai Genta tercetak sempurna. 'Kena, kamu! Nagia!'

"Panggil tante Gia dengan sebutan penyihir, atau biar tante Gia makin suka, panggil dia penyihir centil."

San mengerutkan alisnya. "Kenapa harus penyihir centil, Pa?"

"Karena panggilan itu cocok banget sama tante Gia. Tante Gia itu.. seperti penyihir."

👠👠

"Penyihir centil!"

Tidak ada jawaban. San menghentakkan kakinya kesal.

"Penyihir centil!"

Gia masih tidak menoleh. Di depan mobilnya yang terpakir di halaman rumah, wanita itu sibuk berbincang di telepon.

San—yang baru pulang sekolah, berjalan lebih dekat hingga sampai di depan pagar rumah Gia yang tidak terlalu tinggi.

Anak laki-laki itu memajukkan bibirnya. Tampang San sudah kesal bercampur ingin menangis.

'Tante Gia sombong!' pekiknya dalam hati.

"Ish! Tante Gia, nengok dong!"

"San?" Gia terlonjak mendengar anak itu berteriak. "Kamu..?" ucapan Gia tertahan karena dilihatnya mata San yang sudah berlinang.

Gia membuka pagar rumah. "Ayo, masuk dulu." dengan lembut, dituntunnya bahu San agar berjalan masuk.

"Gak mau! Aku kesal sama tante Gia!" rajuk San sambil menghempaskan tangan Gia.

Gia terdiam. Tidak biasanya San seperti ini. "San, jangan di depan pagar. Ayo, masuk dulu."

Sambil memanyunkan bibirnya, San mengikuti Gia hingga sampai teras rumah. Gia berjongkok dan mengusap lembut kepala San.

"Kamu kenapa? Tante Gia bikin kamu kesal, ya?"

San menggigit bibir bawahnya. Dia tidak suka Gia mengabaikannya. Dia kesal. Maka dari itu, anak laki-laki itu memilih membuang muka.

"San.." panggil Gia. Batinnya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan anak kecil ini sehingga mengabaikannya.

"San, kalau tante Gia buat salah, bilang aja. Biar tante Gia gak bingung, San marah kenapa." Gia menunduk. Hela nafas kecil keluar dari bibirnya.

San melirik dari sudut mata. 'Aku kesal!tapi aku juga sedih lihat tante Gia coba bujuk aku.'

"Tante.. cuekin aku," ucap San pelan.

Alis Gia saling bertaut. "Kapan?" karena seingat Gia, kapan pun San ingin bermain di rumahya, pintu nya akan selalu terbuka lebar.

"Tadi, Tante!" San berkacak pinggang. "Waktu Tante sedang menelepon, Tante gak nengok pas aku panggil!"

"Tapi kamu gak manggil nama tante, San." Gia mencoba mengingat kembali, apakah dia memang tidak mendengar panggilan anak laki-laki ini.

"Iya, memang! Aku manggilnya penyihir centil. Tapi, Tante gak nengok!" San mengembungkan pipi nya.

'Penyihir centil?' kening Gia mengkerut. Panggilan macam apa itu? Dan.. sejak kapan San berani memanggilnya seperti itu?

Gia merasa ada yang tidak beres. Walaupun santai dan pemberani, San memiliki sopan santun yang tinggi terhadap orang yang lebih tua.

Jadi, pasti ada yang mengajarinya hingga anak sepolos ini memanggilnya dengan sebutan 'penyihir centil'.

"San, Tante gak nengok karena Tante kira itu cuma panggilan anak iseng. Tante baru sadar pas kamu panggil nama Tante."

"Tapi, kan, aku bukan anak iseng!" seru San, kesal.

Gia menghela nafas lagi. Ternyata berhadapan dengan anak kecil yang sedang marah membutuhkan banyak kesabaran. Gia baru tau.

"Terus kenapa kamu panggil Tante 'penyihir centil'? Itu, kan, bukan nama Tante. Siapa yang ngajarin kamu, San?" raut dan suara Gia yang terkesan serius membuat San diam.

'Tante Gia marah, ya?' batin San bertanya-tanya. Ia tidak ingin tante Gia marah.

"Papa!" ucap San, yang seketika membuat Gia melongo.

'Jadi, ini suruhan mas Genta?'

"Papa bilang, karena aku gak boleh panggil tante Gia 'Mama', aku boleh panggil tante penyihir centil." adu anak laki-laki itu dengan ekspresi sebal.

"Papa juga bilang, panggilan itu cocok sama tante Gia, soalnya Tante kayak penyihir." Ucapan yang keluar dari bibir San sangat polos.

Sementara itu, Gia hanya bisa geleng-geleng kepala. Perkara panggilan Mama, sepertinya Genta sangat murka hingga menyuruh anaknya untuk memanggilnya dengan sebutan aneh-aneh.

'Papa kamu childish banget, San,' ujar Gia dalam hati. 'Mungkin ini baru permulaan.'

Gia tidak mungkin lupa bahwa Genta akan melakukan berbagai cara untuk menjauhkan Gia dengan putra nya. Sedangkan banyak teka-teki yang bisa Gia dapat dari San, termasuk soal 'Mama' nya.

"San, dengarin Tante, ya." Gia memegang bahu San dengan lembut. Mata polos San memperhatikan Gia.

"Kita gak boleh memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk—"

"Memang penyihir itu buruk, ya, Tante?" sela San dengan mata membulat kaget.

Gia tersenyum kecil, lantas mengangguk. "Penyihir itu tokoh jahat dalam dongeng. Nanti kapan-kapan, Tante bawain buku dongeng tentang penyihir jahat buat kamu."

San menggeleng panik. "Tapi, kan, Tante gak jahat."

Seulas senyum tulus muncul di bibir Gia. Gemas, diusapnya rambut San hingga acak-acakan.

"Nanti-nanti, gak boleh seperti itu lagi, ya. San, kan, anak baik. San gak boleh meniru ucapan yang buruk, atau mengikuti perintah yang buruk." tutur Gia.

San bersedekap dengan decakan kesal. "Maafin aku, ya, Tante. Ini semua gara-gara, Papa! Huh, Papa emang nyebelin!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   21. Gosip Baru

    Wajah berseri-seri yang dilengkapi dengan senyum manis itu menyapa siapa saja yang ditemuinya di lokasi syuting. Walau hari menjelang malam, aura kebahagiaan terpancar jelas dari mata coklat terang milik Gia hingga setiap orang yang melihatnya sepakat wanita itu sedang bahagia. "Pagi semua!" Gia merentangkan tangan sambil tersenyum lepas. "Pagi kak Gia!" seorang aktris muda yang Gia ketahui bernama Ellen— balas menyapanya dengan senyum ramah. Di ruang istirahat tempat para pemain webseries berjudul 'Mengapa Kau Pilih Dia'— Gia membawakan hampers kecil berisi cookies yang lalu dibagikan oleh Ken dan seorang office boy. Terdapat 5 aktris dan 3 aktor juga beberapa asisten mereka, dan kru webseries yang mendapat hampers dari Gia. Karena ia membawa cukup banyak, Gia menyuruh office boy untuk turut membagikannya ke kru-kru lain di luar ruangan. Selesai dengan tugasnya, Ken beralih ke sebuah sofa untuk mengecek jadwal Gia. Decak kagum saling bersahutan melihat isi hampers Gia

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   20. Ibu dan Anak Laki-lakinya

    Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   19. Kebohongan Yang Berkembang

    “Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   18. Titipan Genta

    Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   17. Sore Bersama mas Genta

    Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   16. Aku Sudah Tau Semuanya

    Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status