Share

7. Panggilan Aneh-aneh

"Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?"

Bruushh

Air mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air.

San menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik.

Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala.

"Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir.

San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?"

Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini.

Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain.

Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya.

'Maafin Papa, San.' Genta memijat pelipis nya. Semua tentang San dan Mama nya selalu membuat Genta merasa bersalah.

Apalagi, dengan kehadiran Gia sekarang yang bisa mencuci otak San kapan saja.

"San," panggil Genta dengan emosi tertahan. "Tante Gia bukan Mama kamu."

San mengusap-usap dagunya. Wajahnya fokus berpikir seperti orang dewasa. "Jadi, kalau bukan Mama aku, gak bisa dipanggil Mama, ya, Pa?"

"Gak bisa, dong." Genta meraup wajahnya dengan kedua tangan. Terlihat frustasi. "Kamu jangan aneh-aneh ya, San. Papa gak suka."

San menyengir lebar hingga gigi kecilnya yang bercampur mesis terlihat. Tidak terlihat takut dengan nada penuh peringatan yang diucapkan Genta.

"Tapi tante Gia suka, tuh, Pa," ujar San.

"Hah?" alis Genta tertaut bingung. "Maksud kamu, Nak?"

'Gak mungkin, kan, Gia bilang kalau dia suka aku?' batin Genta. Bisa gawat kalau Gia terang-terangan mengungkapkan perasaannya di depan anaknya Genta sendiri.

Genta tidak ingin San berprasangka yang aneh-aneh.

San menumpukan kedua tangannya di atas dagu. Matanya memperhatikan Sang Papa yang menampilkan ekspresi panik.

'Padahal aku cuma bilang kalau tante Gia suka.' San tidak paham apa yang membuat Papa nya begitu panik.

"Tante Gia suka, kok, Pa, kalau aku panggil dia 'Mama'." San menjelaskan.

Genta terperangah mendengar ucapan San. 'Keterlaluan kamu Nagia!' batin Genta mengamuk.

Gia ternyata tidak peduli dengan peringatannya tempo hari. Wanita itu terang-terangan mengibarkan bendera perang kepada Genta.

Pria itu menarik nafas panjang. 'Tahan Genta, tahan.'

"Tante Gia bilang gitu?" tanya Genta, dengan kesabaran yang sudah setipis tisu.

San mengangguk mengiyakan. "Kata tante Gia, aku boleh panggil dia apa aja. Selama aku senang, tante Gia gak masalah, kok, Pa."

'Gak masalah, ya?'

"Hm.. San," panggil Genta.

"Iya, Pa?" San menatap Papa nya dengan pandangan bertanya.

"Karena kamu gak boleh panggil tante Gia dengan sebutan 'Mama', gimana kalau kamu panggil tante Gia dengan sebutan lain?" Genta menyeringai tipis.

"Wah.. apa, Pa?" San antuasias ingin mendengar ide Papa nya.

Seringai Genta tercetak sempurna. 'Kena, kamu! Nagia!'

"Panggil tante Gia dengan sebutan penyihir, atau biar tante Gia makin suka, panggil dia penyihir centil."

San mengerutkan alisnya. "Kenapa harus penyihir centil, Pa?"

"Karena panggilan itu cocok banget sama tante Gia. Tante Gia itu.. seperti penyihir."

👠👠

"Penyihir centil!"

Tidak ada jawaban. San menghentakkan kakinya kesal.

"Penyihir centil!"

Gia masih tidak menoleh. Di depan mobilnya yang terpakir di halaman rumah, wanita itu sibuk berbincang di telepon.

San—yang baru pulang sekolah, berjalan lebih dekat hingga sampai di depan pagar rumah Gia yang tidak terlalu tinggi.

Anak laki-laki itu memajukkan bibirnya. Tampang San sudah kesal bercampur ingin menangis.

'Tante Gia sombong!' pekiknya dalam hati.

"Ish! Tante Gia, nengok dong!"

"San?" Gia terlonjak mendengar anak itu berteriak. "Kamu..?" ucapan Gia tertahan karena dilihatnya mata San yang sudah berlinang.

Gia membuka pagar rumah. "Ayo, masuk dulu." dengan lembut, dituntunnya bahu San agar berjalan masuk.

"Gak mau! Aku kesal sama tante Gia!" rajuk San sambil menghempaskan tangan Gia.

Gia terdiam. Tidak biasanya San seperti ini. "San, jangan di depan pagar. Ayo, masuk dulu."

Sambil memanyunkan bibirnya, San mengikuti Gia hingga sampai teras rumah. Gia berjongkok dan mengusap lembut kepala San.

"Kamu kenapa? Tante Gia bikin kamu kesal, ya?"

San menggigit bibir bawahnya. Dia tidak suka Gia mengabaikannya. Dia kesal. Maka dari itu, anak laki-laki itu memilih membuang muka.

"San.." panggil Gia. Batinnya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan anak kecil ini sehingga mengabaikannya.

"San, kalau tante Gia buat salah, bilang aja. Biar tante Gia gak bingung, San marah kenapa." Gia menunduk. Hela nafas kecil keluar dari bibirnya.

San melirik dari sudut mata. 'Aku kesal!tapi aku juga sedih lihat tante Gia coba bujuk aku.'

"Tante.. cuekin aku," ucap San pelan.

Alis Gia saling bertaut. "Kapan?" karena seingat Gia, kapan pun San ingin bermain di rumahya, pintu nya akan selalu terbuka lebar.

"Tadi, Tante!" San berkacak pinggang. "Waktu Tante sedang menelepon, Tante gak nengok pas aku panggil!"

"Tapi kamu gak manggil nama tante, San." Gia mencoba mengingat kembali, apakah dia memang tidak mendengar panggilan anak laki-laki ini.

"Iya, memang! Aku manggilnya penyihir centil. Tapi, Tante gak nengok!" San mengembungkan pipi nya.

'Penyihir centil?' kening Gia mengkerut. Panggilan macam apa itu? Dan.. sejak kapan San berani memanggilnya seperti itu?

Gia merasa ada yang tidak beres. Walaupun santai dan pemberani, San memiliki sopan santun yang tinggi terhadap orang yang lebih tua.

Jadi, pasti ada yang mengajarinya hingga anak sepolos ini memanggilnya dengan sebutan 'penyihir centil'.

"San, Tante gak nengok karena Tante kira itu cuma panggilan anak iseng. Tante baru sadar pas kamu panggil nama Tante."

"Tapi, kan, aku bukan anak iseng!" seru San, kesal.

Gia menghela nafas lagi. Ternyata berhadapan dengan anak kecil yang sedang marah membutuhkan banyak kesabaran. Gia baru tau.

"Terus kenapa kamu panggil Tante 'penyihir centil'? Itu, kan, bukan nama Tante. Siapa yang ngajarin kamu, San?" raut dan suara Gia yang terkesan serius membuat San diam.

'Tante Gia marah, ya?' batin San bertanya-tanya. Ia tidak ingin tante Gia marah.

"Papa!" ucap San, yang seketika membuat Gia melongo.

'Jadi, ini suruhan mas Genta?'

"Papa bilang, karena aku gak boleh panggil tante Gia 'Mama', aku boleh panggil tante penyihir centil." adu anak laki-laki itu dengan ekspresi sebal.

"Papa juga bilang, panggilan itu cocok sama tante Gia, soalnya Tante kayak penyihir." Ucapan yang keluar dari bibir San sangat polos.

Sementara itu, Gia hanya bisa geleng-geleng kepala. Perkara panggilan Mama, sepertinya Genta sangat murka hingga menyuruh anaknya untuk memanggilnya dengan sebutan aneh-aneh.

'Papa kamu childish banget, San,' ujar Gia dalam hati. 'Mungkin ini baru permulaan.'

Gia tidak mungkin lupa bahwa Genta akan melakukan berbagai cara untuk menjauhkan Gia dengan putra nya. Sedangkan banyak teka-teki yang bisa Gia dapat dari San, termasuk soal 'Mama' nya.

"San, dengarin Tante, ya." Gia memegang bahu San dengan lembut. Mata polos San memperhatikan Gia.

"Kita gak boleh memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk—"

"Memang penyihir itu buruk, ya, Tante?" sela San dengan mata membulat kaget.

Gia tersenyum kecil, lantas mengangguk. "Penyihir itu tokoh jahat dalam dongeng. Nanti kapan-kapan, Tante bawain buku dongeng tentang penyihir jahat buat kamu."

San menggeleng panik. "Tapi, kan, Tante gak jahat."

Seulas senyum tulus muncul di bibir Gia. Gemas, diusapnya rambut San hingga acak-acakan.

"Nanti-nanti, gak boleh seperti itu lagi, ya. San, kan, anak baik. San gak boleh meniru ucapan yang buruk, atau mengikuti perintah yang buruk." tutur Gia.

San bersedekap dengan decakan kesal. "Maafin aku, ya, Tante. Ini semua gara-gara, Papa! Huh, Papa emang nyebelin!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status