"Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?"
BruushhAir mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air.San menutup mulutnya dengan telapak tangan."Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik.Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala."Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir.San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?"Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini.Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain.Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya.'Maafin Papa, San.' Genta memijat pelipis nya. Semua tentang San dan Mama nya selalu membuat Genta merasa bersalah.Apalagi, dengan kehadiran Gia sekarang yang bisa mencuci otak San kapan saja."San," panggil Genta dengan emosi tertahan. "Tante Gia bukan Mama kamu."San mengusap-usap dagunya. Wajahnya fokus berpikir seperti orang dewasa. "Jadi, kalau bukan Mama aku, gak bisa dipanggil Mama, ya, Pa?""Gak bisa, dong." Genta meraup wajahnya dengan kedua tangan. Terlihat frustasi. "Kamu jangan aneh-aneh ya, San. Papa gak suka."San menyengir lebar hingga gigi kecilnya yang bercampur mesis terlihat. Tidak terlihat takut dengan nada penuh peringatan yang diucapkan Genta."Tapi tante Gia suka, tuh, Pa," ujar San."Hah?" alis Genta tertaut bingung. "Maksud kamu, Nak?"'Gak mungkin, kan, Gia bilang kalau dia suka aku?' batin Genta. Bisa gawat kalau Gia terang-terangan mengungkapkan perasaannya di depan anaknya Genta sendiri.Genta tidak ingin San berprasangka yang aneh-aneh.San menumpukan kedua tangannya di atas dagu. Matanya memperhatikan Sang Papa yang menampilkan ekspresi panik.'Padahal aku cuma bilang kalau tante Gia suka.' San tidak paham apa yang membuat Papa nya begitu panik."Tante Gia suka, kok, Pa, kalau aku panggil dia 'Mama'." San menjelaskan.Genta terperangah mendengar ucapan San. 'Keterlaluan kamu Nagia!' batin Genta mengamuk.Gia ternyata tidak peduli dengan peringatannya tempo hari. Wanita itu terang-terangan mengibarkan bendera perang kepada Genta.Pria itu menarik nafas panjang. 'Tahan Genta, tahan.'"Tante Gia bilang gitu?" tanya Genta, dengan kesabaran yang sudah setipis tisu.San mengangguk mengiyakan. "Kata tante Gia, aku boleh panggil dia apa aja. Selama aku senang, tante Gia gak masalah, kok, Pa."'Gak masalah, ya?'"Hm.. San," panggil Genta."Iya, Pa?" San menatap Papa nya dengan pandangan bertanya."Karena kamu gak boleh panggil tante Gia dengan sebutan 'Mama', gimana kalau kamu panggil tante Gia dengan sebutan lain?" Genta menyeringai tipis."Wah.. apa, Pa?" San antuasias ingin mendengar ide Papa nya.Seringai Genta tercetak sempurna. 'Kena, kamu! Nagia!'"Panggil tante Gia dengan sebutan penyihir, atau biar tante Gia makin suka, panggil dia penyihir centil."San mengerutkan alisnya. "Kenapa harus penyihir centil, Pa?""Karena panggilan itu cocok banget sama tante Gia. Tante Gia itu.. seperti penyihir."đ đ "Penyihir centil!"Tidak ada jawaban. San menghentakkan kakinya kesal."Penyihir centil!"Gia masih tidak menoleh. Di depan mobilnya yang terpakir di halaman rumah, wanita itu sibuk berbincang di telepon.Sanâyang baru pulang sekolah, berjalan lebih dekat hingga sampai di depan pagar rumah Gia yang tidak terlalu tinggi.Anak laki-laki itu memajukkan bibirnya. Tampang San sudah kesal bercampur ingin menangis.'Tante Gia sombong!' pekiknya dalam hati."Ish! Tante Gia, nengok dong!""San?" Gia terlonjak mendengar anak itu berteriak. "Kamu..?" ucapan Gia tertahan karena dilihatnya mata San yang sudah berlinang.Gia membuka pagar rumah. "Ayo, masuk dulu." dengan lembut, dituntunnya bahu San agar berjalan masuk."Gak mau! Aku kesal sama tante Gia!" rajuk San sambil menghempaskan tangan Gia.Gia terdiam. Tidak biasanya San seperti ini. "San, jangan di depan pagar. Ayo, masuk dulu."Sambil memanyunkan bibirnya, San mengikuti Gia hingga sampai teras rumah. Gia berjongkok dan mengusap lembut kepala San."Kamu kenapa? Tante Gia bikin kamu kesal, ya?"San menggigit bibir bawahnya. Dia tidak suka Gia mengabaikannya. Dia kesal. Maka dari itu, anak laki-laki itu memilih membuang muka."San.." panggil Gia. Batinnya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan anak kecil ini sehingga mengabaikannya."San, kalau tante Gia buat salah, bilang aja. Biar tante Gia gak bingung, San marah kenapa." Gia menunduk. Hela nafas kecil keluar dari bibirnya.San melirik dari sudut mata. 'Aku kesal!tapi aku juga sedih lihat tante Gia coba bujuk aku.'"Tante.. cuekin aku," ucap San pelan.Alis Gia saling bertaut. "Kapan?" karena seingat Gia, kapan pun San ingin bermain di rumahya, pintu nya akan selalu terbuka lebar."Tadi, Tante!" San berkacak pinggang. "Waktu Tante sedang menelepon, Tante gak nengok pas aku panggil!""Tapi kamu gak manggil nama tante, San." Gia mencoba mengingat kembali, apakah dia memang tidak mendengar panggilan anak laki-laki ini."Iya, memang! Aku manggilnya penyihir centil. Tapi, Tante gak nengok!" San mengembungkan pipi nya.'Penyihir centil?' kening Gia mengkerut. Panggilan macam apa itu? Dan.. sejak kapan San berani memanggilnya seperti itu?Gia merasa ada yang tidak beres. Walaupun santai dan pemberani, San memiliki sopan santun yang tinggi terhadap orang yang lebih tua.Jadi, pasti ada yang mengajarinya hingga anak sepolos ini memanggilnya dengan sebutan 'penyihir centil'."San, Tante gak nengok karena Tante kira itu cuma panggilan anak iseng. Tante baru sadar pas kamu panggil nama Tante.""Tapi, kan, aku bukan anak iseng!" seru San, kesal.Gia menghela nafas lagi. Ternyata berhadapan dengan anak kecil yang sedang marah membutuhkan banyak kesabaran. Gia baru tau."Terus kenapa kamu panggil Tante 'penyihir centil'? Itu, kan, bukan nama Tante. Siapa yang ngajarin kamu, San?" raut dan suara Gia yang terkesan serius membuat San diam.'Tante Gia marah, ya?' batin San bertanya-tanya. Ia tidak ingin tante Gia marah."Papa!" ucap San, yang seketika membuat Gia melongo.'Jadi, ini suruhan mas Genta?'"Papa bilang, karena aku gak boleh panggil tante Gia 'Mama', aku boleh panggil tante penyihir centil." adu anak laki-laki itu dengan ekspresi sebal."Papa juga bilang, panggilan itu cocok sama tante Gia, soalnya Tante kayak penyihir." Ucapan yang keluar dari bibir San sangat polos.Sementara itu, Gia hanya bisa geleng-geleng kepala. Perkara panggilan Mama, sepertinya Genta sangat murka hingga menyuruh anaknya untuk memanggilnya dengan sebutan aneh-aneh.'Papa kamu childish banget, San,' ujar Gia dalam hati. 'Mungkin ini baru permulaan.'Gia tidak mungkin lupa bahwa Genta akan melakukan berbagai cara untuk menjauhkan Gia dengan putra nya. Sedangkan banyak teka-teki yang bisa Gia dapat dari San, termasuk soal 'Mama' nya."San, dengarin Tante, ya." Gia memegang bahu San dengan lembut. Mata polos San memperhatikan Gia."Kita gak boleh memanggil orang lain dengan panggilan yang burukâ""Memang penyihir itu buruk, ya, Tante?" sela San dengan mata membulat kaget.Gia tersenyum kecil, lantas mengangguk. "Penyihir itu tokoh jahat dalam dongeng. Nanti kapan-kapan, Tante bawain buku dongeng tentang penyihir jahat buat kamu."San menggeleng panik. "Tapi, kan, Tante gak jahat."Seulas senyum tulus muncul di bibir Gia. Gemas, diusapnya rambut San hingga acak-acakan."Nanti-nanti, gak boleh seperti itu lagi, ya. San, kan, anak baik. San gak boleh meniru ucapan yang buruk, atau mengikuti perintah yang buruk." tutur Gia.San bersedekap dengan decakan kesal. "Maafin aku, ya, Tante. Ini semua gara-gara, Papa! Huh, Papa emang nyebelin!""Ta? Saya kira kamu gak datang!" Memang tidak dipungkiri Genta selalu menghindari undangan pesta yang diselenggarakan di sebuah klub malam. Apalagi malam ini, undangan yang datang dari seorang aktris ternama ibu kota itu hanya acara ulang tahun yang tidak resmi. Walaupun bukan termasuk jajaran aktor atau influencer, tetapi Genta dan Zayn merupakan rekan kerja Steffi KenzaâSang bintang yang tengah berulang tahun, sehingga keduanya secara resmi diundang.Genta tersenyum kecil melihat reaksi sahabat sekaligus rekan kerjanyaâZayn Javeer. "Tadinya juga saya gak mau datang. Tapi dari sore, San ngambek dan minta nginep di rumah Eyang nya. Jadilah saya di sini, dari pada di rumah, sendiri," ucap Genta. Nada nelangsa dari sahabatnya itu membuat Zayn terkekeh. Jarang-jarang Sanâputra Genta yang menggemaskan itu, merajuk. "San pasti sangat kesal dengan Papa nya," Zayn tertawa. Genta mendengus panjang. "Iya, dia bahkan menolak panggilan telepon saya." 'Dan semua itu gara-gara Nagia!' Zay
Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini. Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa. "Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti. Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan. "Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Veroâyang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta. Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang. "Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia. Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin. Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta. Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gi
Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya. Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak. "Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'. Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh. Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah. "Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau. Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin ti
Gerimis kecil membasahi permukaan tanah sejak malam hingga pagi saat ini. Rutinitas yang biasa dilakukan Genta dan San di hari weekendâyaitu lari pagi bersama, jadi dibatalkan. Sebagai gantinya, San sibuk merangkai puzzle dengan 100 kepingan yang akan menjadi gambar lukisan Van Googh, di ruang keluarga. Tidak lupa, Tv yang menyala tanpa ditonton menemani San pagi itu. Genta menatap anak semata wayangnya dari koridor kamar lantai dua. 'Maafin, Papa, San'. Sesalnya dalam hati. Genta lantas masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, dan mengambil sebuah pigura foto yang tersimpan di dalam laci nakas. Foto pernikahannya delapan tahun yang lalu. "Maafin aku," suara Genta bagai bisikan di malam hari. Begitu lirih dan sedih. Sejak malam itu perasaan bersalah tidak berhenti menghinggapi benak Genta. Dia merasa tidak bisa menjaga batasan sebagai suami. Meski tidak ada yang mengetahui selain Gia, Genta tetap merasa telah melakukan perbuatan terlarang. Matanya terus memandang sosok wanita
"Soal kontrak kerja sama kita, kamu gak perlu khawatir. Saya sudah menghubungi Zayn untuk menerima kamu." Ucapan Genta serta merta membuat Gia yang sejak tadi menundukâmengangkat kepala. Gia mempertanyakan apa maksud Pria itu melalui sorot matanya. "Kamu akan main dalam series besutan Praz Company. Itu, kan, yang kamu inginkan?" tanya Genta. Gia terdiam. Semua rencana yang Pria itu susun sangat sempurna. Keberuntungannya bertemu dengan Vero membuat Genta langsung bergerak cepat untuk mengunci pergerakan Gia. Sekarang, Gia tau dia tidak bisa melakukan apa-apa. Meski sebagian hatinya ingin terus mengenal San, namun Gia sadar ada prioritas yang harus ia selamatkan. Karir dan reputasinya jauh lebih penting dari mencari tahu keberadaan istri Genta yang belum pernah Gia temui. "Aku.. mau ketemu sama San, boleh?" Pertanyaan Gia ditanggapi Genta dengan dengusan panjang. "Terakhir kali. Saya hanya kasih kamu kesempatan hari ini," titah Genta tidak ingin dibantah. Gia mengangguk. Genta
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener