Di tempat lain, Hamdan baru saja keluar dari toilet tempat wisata. Pria itu menemani putra pertamanya untuk buang air kecil di sana.“Kita beli anggur dulu ya, Pa,” ucap Rizki.“Oh, Kaka suka buah?”“Iya, Kaka suka buah anggur. Beli yang banyak, ya. Buat Mama sama adik juga,” pinta Rizki bersemangat. Dia memang begitu menantikan kelahiran adiknya yang diprediksi adalah perempuan.“Iya, Nak. Beli yang banyak untuk Mama.” Hamdan mengiyakan. Setelah keduanya membeli buah yang Rizki sukai, keduanya kembali kepada Tian yang sedang duduk di sebuah kursi. Menunggu kedatangan mereka.“Sudah pipisnya, anak Mama?” tanya Tian.“Sudah, Ma,” jawab Rizki. Kemudian menyerahkan oleh-oleh yang dia bawa kepada mamanya. “In untuk Mama sama adik ....”“Oh, iya, Sayang. Terima kasih.” Tian mengusap kepala Sang Anak dengan sangat sayang.“Sama-sama Mama!”Namun ada yang berbeda dari Hamdan, pria itu mengernyit ketika melihat kembali ponselnya yang tertinggal. Ada log panggilan masuk Riri di sana.“Kenapa ka
Riri mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang ada di dalam ruangan itu. Setelah beberapa saat, dia baru menyadari bahwa ia tak sedang berada di rumahnya sendiri. Terakhir kali Riri ingat, ia berada di dekat lobby, merasakan sakit yang luar biasa pada area perutnya, kemudian terasa ada yang mengalir deras ke bawah, lalu pingsan di sana dan di teriakkan banyak orang.“Ya Allah ... anakku,” desisnya. Pening ia rasakan hingga bumi terasa berputar-putar. Dia bahkan mual-muntah selama beberapa kali di sana, terpaksa mengotori setengah badannya ke atas karena belum bisa bergerak lebih. Mungkin, ini akibat efek bius yang dokter suntikkan untuk mencegah nyeri selama tindakan medis dilakukan.Riri meraba perutnya. Dia sudah tidak lagi merasakan sesuatu di dalam sana dan menyadari rahimnya telah kosong. Tidak salah lagi, dia baru saja di kuretase.“Anakku ...” rintihnya dengan buliran mata yang mengalir deras, “mana anakku? Ke mana semua orang?” dia berteriak sekuat tenaga. Tapi sayang, tid
Flashback.Beberapa orang membawa Riri untuk di angkat ke brankar yang kemudian di dorong menuju ke IGD. Di sana, wanita itu langsung ditangani, diberi obat penguat kandungan dan dipasang infus.Bingung lantas membuat mereka terpaksa menggeledah tas Riri untuk menemukan identitas. Sebab Riri hanya datang seorang diri.“Namanya Ibu Riri,” ucap salah seorang suster yang sedang bertugas di IGD itu.“Apa ada kartu jaminan kesehatannya?” sahut dokter jaga yang juga berada di shift yang sama.“Nggak ada, Dok. Sudah saya cari-cari.”“Hubungi saja keluarganya kalau begitu,” Dokter memutuskan.“Baik, Dok. Laksanakan.” Suster tersebut mengambil ponsel milik Riri, kebetulan Riri memang tak pernah mengunci ponselnya, membuat urusan sang suster menjadi lebih mudah.Namun, karena ketidaktahuannya, si suster malah menghubungi salah satu nomor Panji, pria yang sebelumnya sempat meminjamkan uang kepada Riri. Karena di history panggilan, nama dia berada di urutan paling atas, sehingga suster mengira ba
“Mas, bisakah aku ketemu sama anak-anak?” pinta Riri kepada suaminya, “aku merindukan mereka. Apa mereka sudah makan? Sudah minum susu? Aku nggak bisa tenang, apalagi memikirkan Fadlan. Dia itu nggak bisa banget kalau jauh dari aku.”“Mereka sudah tidur nyenyak di tempat Ibu, Ri. Mereka senang karena ada kakak-kakaknya di sana, Rizki, Abraham sama Viona,” jawab Ilham.“Kamu tidurlah, istirahat. Supaya kamu bisa cepat kembali pulih. Ini kesempatan yang diberikan oleh Tuhan supaya kamu bisa sejenak beristirahat. Tenangkan pikiranmu.” Ilham mengusap-usap lengan istrinya agar Riri lekas tertidur. Namun wanita itu tetap tidak bisa melakukannya karena pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam masalah.“Aku masih merasa kehilangan anakku. Masih nggak percaya di sini sudah nggak ada dia,” kata Riri mengusap perutnya yang juga diikuti oleh Ilham.“Apa yang kamu rasakan, sama sepertiku. Aku saja bisa menangis, apalagi kamu yang mengandungnya,” balasnya ikut sedih lagi.“Apa mereka tahu aku ....”
Malam itu dilalui oleh Ibu Saida dengan perasaan yang begitu nelangsa lantaran harapannya telah pupus begitu saja. Padahal ia telah membeli peralatan dan persiapannya menuju ke sana. Ke Mekkah, satu-satunya impiannya yang belum terwujud. ‘Padahal tujuanku mulia, hanya ingin meminta ampunan dan mendoakan anak-anakku agar kelak mereka berubah menjadi lebih baik, selamat dunia akhirat. Tapi sayang, Kau belum mengizinkannya sekarang. Ya Allah, aku mohon ... semoga sebelum aku tiada Kau telah mewujudkannya,’ batin Ibu Saida penuh harap.Dia pun menyebut nama Allah berulang-ulang dan terus bertanya kepada-Nya, apa kesalahannya di masa lalu sehingga mengalami masa tua yang sedemikian pedih. Beliau tidak di uji kekurangan, tapi di uji dengan buruknya sifat anak perempuan dan menantunya.‘Aku merasa gagal mendidik anakku.’Keesokan harinya.“Apa satu pun dari kalian belum menjenguk Riri?” tanya Ibu Saida kepada mereka semua yang sedang melakukan sarapan pagi di dalam kamar tempat beliau di ra
Dua hari berlalu semenjak kepulangan Riri dari rumah sakit. Semenjak itu pula Riri tidak berani melakukan apa pun karena dokter melarangnya melakukan pekerjaan berat selama seminggu ini. Yang dilakukannya sekarang ini hanyalah tidur-tiduran di kamarnya, makan diambilkan, mandi pun ditemani. Sesekali ia menemani anak-anak belajar, itu pun hanya sejauh ruang tamu.“Terima kasih ya, Mas. Maaf merepotkanmu,” ujarnya ketika Ilham membantunya berjalan jauh dari kamar keluar kamar, “bahkan untuk mandi pun masih selalu kamu temani. Sebenarnya tidak usah sampai di papah pun aku bisa berjalan sendiri, kok. Sudah nggak terasa begitu sakit. Hanya tinggal pemulihan saja.”“Tetap saja kamu tanggung jawabku,” jawab pria itu tersenyum. Sesekali matanya melihat ke arah luar mengawasi anak-anaknya yang tengah bermain kelereng. “Kamu pasti capek, ya. Sudah melakukan semua pekerjaan rumah, belum lagi ada anak-anak yang nggak bisa kamu tinggal ...” kemudian, Riri memaparkan satu-persatu pekerjaan rumah i
Dua minggu kemudian, kondisi Riri sudah benar-benar pulih pasca kuretase. Sudah tidak ada lagi darah yang menetes dan telah dinyatakan bersih oleh dokter sehingga dia sudah diperbolehkan beribadah, berhubungan intim, atau beraktivitas lagi seperti biasa. Hanya saja, dia belum diperbolehkan hamil lagi sebelum melewati tiga kali masa subur untuk menghindari ketidaksiapan rahim itu sendiri—lantaran dikhawatirkan masih lemah, atau luka akibat benda yang pernah mengangkat janinnya. Ilham pun sudah masuk kerja lagi. Fadly juga sudah kembali sekolah seperti biasanya. “Tapi sebelum berangkat, Kaka harus sarapan dulu sedikit, biar belajarnya bisa lebih konsentrasi.” Riri menyuapi Fadly yang matanya tengah menatap layar televisi, film kartun kesukaannya. “Buka mulutnya, Nak.”Fadly mengangguk.“Yang pintar belajarnya, ya.”“Iya, Ma,” jawabnya dengan gumaman yang terdengar kurang jelas, sebab mulutnya sedang penuh.“Ade juda mau makan ...” sahut Fadlan dengan wajah gemas. Anak berusia tiga ta
Riri turun dari angkutan umum setelah ia tiba di depan gang rumahnya. Mobil sedan atau truk-truk besar pengangkut semacam ini memang tak bisa masuk ke dalam sana karena selain gangnya sempit, di sana juga lumayan sepi. Semua anak-anak sekolah di sana sebagian banyak memakai kendaraan roda dua sendiri di antarkan oleh orang tuanya. Sesampainya di rumah, Riri langsung terduduk lemas. Kilatan sakit masih saja terasa di hatinya mengingat betapa akrabnya Ilham tadi saat tengah berbicara dengan seorang perempuan. Sejak kapan mereka saling mengenal? Apa dia salah satu temannya di tempat kerjanya yang baru? Batin Riri menduga-duga. Dan yang membuat hatinya begitu terbakar cemburu adalah, ketika dia melihat perempuan itu lebih cantik darinya dan lebih terawat. Sangat berbanding terbalik darinya yang begitu sederhana dan jarang bersolek.“Bagaimana aku bisa merawat diri, bisa mempunyai baju yang bagus, kalau untuk makan dan jajan anak-anak saja sudah pas-pasan?” Riri menatap pakaian yang dia