Sumpah Terkutuk bab 10
Bibir Vino tersunging, saat menyaksikan seorang perempuan yang tak henti-hentinya tertawa senang atas apa yang akan diperolehnya setelah ia bisa keluara dari kurungan itu.
"Dasar, perempuan semua sama saja! Tidak peduli dengan keselamatan nyawa dan harga dirinya, bila sudah melihat harta yang melimpah di depan matanya," gumam Vino kesal.
Dia lalu teringat dengan ibu kandungnya sendiri. Ketika mendapatkan uang yang banyak dari hasil merampas hak orang lain, ibunya bisa tertawa lepas dan berwajah gembira.
Lain halnya bila sang ayah yang hanya bisa memberikan uang gajinya yang tak seberapa jumlahnya. Si ibu pasti langsung murka, dan tak segan-segan memaki lelaki yang telah hidup bersamanya itu.
"Kalau aku gak usaha sendiri, bisa-bisa aku mati kelaparan dengan uang yang kamu berikan ini!"
"Tapi, itu adalah hasilku yang halal, Dik," jawab ayah Vino dengan wajah lesu.
"Halaah! Mau halal atau haram, yang penting
Raut wajah Vino nampak geram, lalu dia menghampiri ranjang tempat tidurnya. Dipungutnya dua kuntum bunga kecil berwarna putih. Barulah dia menyadari, kalau di ruangan itu tercium bau bunga melati.Wanita setengah baya yang diteriaki oleh Vino, datang tergopoh-gopoh."Ada apa sih, Tuan? Bibi bawa piring sampai kaget. Tuh, jadinya semua piring yang Bibi bawa pecah semua.""Jangan pikirin piring pecah, Bi! Nih, ada bunga lagi. Siapa yang naruh di atas tempat tidurku? Pasti Bibi, ya?""Eeeh ... Tuan jangan sembarangan nuduh, ya? Jelek-jelek begini, Bibi gak suka main bunga. Sukanya main pisau!" Pembantu yang sudah belasan tahun bekerja di rumah Vino itu, wataknya pun sudah ikut-ikutan tuannya. Tak takut apapun juga.Vino mengembangkan senyumnya. Dia sangat sayang kepada pembantunya yang satu itu. Bahkan, sudah dianggapnya sebagai pengganti ibunya juga.Sudah sering kali Vino melarang si bibi untuk bekerja terlalu berat. Menyediakan makanan u
Paman dan bibi Vino berusaha membujuk anak lelaki berusia sepuluh tahun itu, agar tak menangis lagi.Namun, Vino tetap menangis, karena tak ingin kehilangan lelaki yang selama ini sangat menyayanginya dengan sepenuh hati.Ibu kandungnya telah tega mengusirnya dari rumah, jadi Vino tak ingin ayahnya pergi meninggalkan dirinya."Vino, kamu sudah besar, jadi sudah bisa menjaga diri sendiri. Pesan Ayah, kelak, jadilah seorang lelaki yang tangguh. Tak mudah menyerah, dan bekerja dengan rajin, agar dirimu tak direndahkan oleh wanita manapun," ucap si ayah, yang tak terlalu dipahami oleh Vino.Dirinya masih sangat kecil untuk mencerna kata-kata ayahnya itu. Tapi, dia tetap mendengarkan dengan seksama. Tak ingin membuat ayahnya merasa kecewa kepadanya.Lalu, si ayah pun melanjutkan kata-katanya, "mungkin, saat ini Vino belum mengerti dengan yang ayah katakan tadi. Nanti, bila umurmu sudah tujuh belas tahun, tanyalah kepada bibimu, tenta
Tok ... tok ... tok!"Maaf, tuan ... makan malam sudah siap," kata si pembantu, yang langsung membuyarkan lamunan Vino yang sedang mengingat masa lalu."Hhh ... iya, Bi. Bikin kaget aja, Bi!""Kik ... kik ...kik ...," si pembantu tertawa sambil berlalu dari pintu kamar Vino.Lelaki yang mempunyai hidung mancung dan bibir yang berwarna merah alami itu, menikmati makan malam dengan pikiran yang tak tenang.Dia masih teringat tentang bunga melati yang bisa tiba-tiba berada di dalam kamarnya. Di layar monitor dari rekaman CCTV pun, menunjukkan tak ada orang lain yang memasuki kamarnya, selain dia dan si pembantu tua."Hhh ... apa mungkin, bunga itu dari–""Maaf, Tuan ... hapenya dari tadi berdering terus," kata si bibi–pembantu Vino, sambil menyerahkan telpon genggam yang tadi tertinggal di kamar."Halo! Ada apa, Bram?"[Bos, Nikita maksa pengen ketemu sekarang.]"Suruh dia masuk!"
Segera diambilnya sepucuk pistol di dalam laci meja kerjanya, lalu Vino menghampiri jendela yang kacanya sudah hancur itu.Diamatinya keadaan di luar melalui jendela itu. Tak nampak ada siapa pun, hanya kembali tercium bau bunga melati lagi."Huh!" Vino mendengkus kesal, karena merasa telah dipermainkan oleh seseorang atau sesuatu."Hei! Keluarlah kamu, jangan sembunyi!" teriak Vino yang sudah tersulut emosi.Setelah beberapa saat menunggu dengan senjata di tangan, akhirnya Vino keluar dari kamar untuk memanggil pembantunya."Andi!" Teriakan Vino yang hanya sekali saja, langsung disambut oleh kedatangan seorang lelaki yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, dan berbadan tinggi kurus."Siap, Tuan!""Bersihkan pecahan kaca di dalam kamarku.""Baik, Tuan." Tanpa bertanya apa-apa lagi, pembantu lelaki yang bernama Andi itu langsung menuju ke kamar Vino, setelah membawa beberapa peralatan yang diperlukan."An
"Kenapa kamu kaget begitu? Memangnya, aku gak boleh jatuh cinta?" Vino mengeraskan gerahamnya, karena kesal melihat anak buahnya yang seperti melihat sisok hantu."Bu–bukan begitu, Bos. Tapi–""Dah, gak ada tapi tapian! Mau kuledakkan isi kepalamu itu, hah!" Ancam Vino sambil menodongkan pucuk pistol ke kepala Tom. "Sejak kapan kamu bicara gagap begitu?" lanjutnya lagi."Saya ....""Sudah! Sekarang, tugasmu mencari cewek yang bernama Maya. Bawa ke hadapanku besok!""Siap, Bos!" Tom tercengang, belum juga dia menanyakan gadis yang bernama Maya berasal dari mana, si bos langsung masuk ke mobil dan meninggalkannya."Gila! Mau kucari di mana cewek yang namanya Maya itu? Ah, yang penting, semua cewek cakep yang bernama Maya, langsung gue culik aja, deh."Sambil menyetir mobilnya, Vino membayangkan wajah seorang gadis yang telah membuatnya penasaran sekaligus jatuh hati.Di usianya yang tak lagi muda itu, di
Pemuda yang telah dihina habis-habisan oleh seorang gadis yang angkuh dan sombong itu berlari sekencang-kencangnya menuju ke rumahnya.Sepasang matanya berkaca-kaca, bukan karena bersedih atau ingin menangis. Hatinya telah diselimuti dendam membara, pikirannya pun sudah mulai tak waras lagi.Di sepanjang jalan yang dilaluinya, yaitu pepohonan yang sangat rindang, tak bisa menyejukkan hatinya. Malah, wajahnya nampak merah padam, giginya pun bergemeletuk menahan amarah."Gadis itu harus mati di tanganku. Tidak, aku tak ingin menghabisinya sendiri, tapi dia harus merasa siksaan yang berat, sebelum mengakhiri hidupnya sendiri." Ucapan Vino itu terus diulang-ulangnya, seakan itu adalah sebuah mantra.Setibanya di tempat tinggalnya, Vino mencari bibi dan pamannya di dalam gubug yang tak terlalu luas itu. Biar pun begitu, sudah hampir tujuh tahun tinggal di tempat yang tak bisa dikatakan mewah, Vino bisa merasakan ketenangan, dan mendapatkan
Sumpah Terkutuk bab 17Raut wajah Vino nampak penasaran, tak sabar menunggu penjelasan dari paman dan bibinya tentang apa yang telah dialami oleh ayah dan kakeknya.Sebab, yang dia tahu, kakek dan ayahnya meninggal dengan cara yang wajar. Hanya ketika penguburan si ayah, Vino baru melihat hal yang aneh, yaitu datangnya binatang melata yang jumlahnya ratusan.Kakeknya dulu termasuk orang yang berkehidupan mapan dan disegani warga di kampung tempat tinggalnya. Mempunyai dua orang anak, yaitu Purnomo–ayah Vino dan Norma.Namun, ketika Vino baru berusia setahun, si kakek meninggal dengan mewariskan harta yang tak sedikit jumlahnya."Vino, umurmu masih enam belas tahun. Kamu pasti masih ingat ucapan ayahmu, kan?" ujar si bibi dengan lemah lembut."Jadi, aku harus menunggu setahun lagi untuk bisa menggunakan batu itu, Bi?"Si bibi mengangguk sambil tersenyum, "sabarlah ... pada saat usiamu sudah cukup, Bibi pasti akan menceritakan sem
"Anton, kenapa kau ceroboh sekali! Barang berharga begitu, kau gak bisa jaga baik-baik!" bentak si lelaki gemuk kepada temannya. "Tadi, tidak kau buka itu, Dik?" tanyanya ke arah Vino."Enggak, Bang. Ya udah, saya pulang dulu ya, Bang." Vino berbalik badan hendak pergi."Eh, tunggu dulu, Dik. Ini kartu nama Abang. Kalau Dik–""Nama saya Vino, Bang.""Oh, ya ... kalau Dik Vino perlu sesuatu, atau ingin kerja yang bisa menghasilkan uang banyak, hubungi Abang saja."Vino mengangguk, seraya menerima sebuah kartu berwarna putih. Lalu, dia segera meninggalkan tempat itu."Gila kau, Ton! Untung saja, berlian ini dikembalikan sama anak itu. Kalau tidak ... habislah nyawamu!"Vino masih mendengar lamat-lamat ucapan lelaki yang sedang mengumpat temannya itu."Berlian? wah, kalau tadi gak kukembalikan, aku gak perlu menunggu dua tahun lagi untuk menjadi kaya. Tapi ... ah, biarlah. Aku gak ingin menjadi orang kaya saja,