TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN

TA'ARUF YANG DI TAKUTKAN

last updateLast Updated : 2025-01-16
By:  Umi adibah Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 rating. 1 review
6Chapters
202views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Hilya Salsabila 20 Thn. Adalah gadis sederhana yang anggun dengan hijabnya. Ia tumbuh dalam keluarga yang hangat dan penuh cinta, namun kali ini kehidupannya mengalami perubahan besar. Abi dan Uminya memutuskan untuk menjodohkannya melalui proses Ta'aruf dengan seorang pemuda yang sama sekali tidak ia kenal. Hilya berada di persimpangan antara rasa takut, ketidakpastian, dan keinginan untuk tetap taat kepada orang tuanya. Baginya, menikah adalah sebuah perjalanan besar yang tidak boleh sembarangan. Siapakah pemuda yang dipilih untuknya? Apakah ia mampu menerima keputusan ini, atau justru menemukan keberanian untuk menolak? Di balik semua itu, tersimpan rahasia tentang alasan sebenarnya Abi dan Umi memutuskan untuk mempercepat perjodohan ini. Akankah Hilya menemukan cinta sejatinya, atau justru bertemu dengan ujian yang mengubah hidupnya selamanya? "Ta'aruf yang di Takutkan" adalah kisah tentang keikhlasan, keberanian, dan perjalanan menemukan makna cinta yang sejati dalam kerangka keimanan.

View More

Chapter 1

1.Pulihan yang tak terduga

Langit senja mulai merona keemasan, menciptakan lukisan alam yang menenangkan. Hilya Salsabila berdiri di teras rumahnya, memandang jauh ke arah sawah yang membentang di depan mata. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung jilbabnya, membawa aroma padi yang mulai menguning. Namun, damainya sore itu tidak sejalan dengan hatinya yang resah.

“Hilya, sini sebentar, Nak,” suara lembut Umi terdengar dari dalam rumah.

Hilya menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Di ruang tengah, Abi dan Umi sudah duduk di sofa, wajah mereka serius namun tetap hangat.

“Ada apa, Umi?” tanyanya hati-hati.

Abi yang menjawab, “Nak, ada sesuatu yang ingin Abi dan Umi bicarakan denganmu. Ini soal masa depanmu.”

Kata-kata itu membuat jantung Hilya berdebar. Ia mendekat dan duduk di hadapan kedua orang tuanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

“Abi dan Umi sudah menemukan seorang pemuda yang baik untukmu. Kami ingin kamu menjalani Ta’aruf dengannya,” ujar Abi dengan suara tenang namun penuh ketegasan.

Seakan bumi berhenti berputar, Hilya terdiam. Ta’aruf? Ia bahkan tidak pernah membayangkan akan menikah dalam waktu dekat, apalagi dengan seseorang yang tidak ia kenal.

“Tunggu, Abi, Umi… ini mendadak sekali. Kenapa tiba-tiba Ta’aruf? Bukankah Hilya masih kuliah?” Hilya mencoba merangkai kata-kata, meski suaranya bergetar.

Umi menggenggam tangan Hilya dengan lembut. “Nak, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Pemuda ini adalah anak dari teman lama Abi. Dia memiliki akhlak yang baik, pendidikannya bagus, dan keluarganya juga terhormat. Umi yakin, ini keputusan yang tepat.”

“Tapi… Umi, Hilya bahkan tidak tahu siapa dia. Bagaimana jika kami tidak cocok?” Hilya mencoba mengungkapkan kegelisahannya.

Abi tersenyum tipis, “Itulah gunanya Ta’aruf, Nak. Untuk mengenal dan mencari kecocokan tanpa melanggar syariat. Kami tidak akan memaksamu jika memang tidak ada kecocokan, tapi setidaknya beri kesempatan untuk mencoba.”

Hilya terdiam. Kata-kata Abi dan Umi terasa seperti pintu yang hanya terbuka setengah, cukup untuk memberikan sedikit cahaya namun belum cukup untuk meyakinkannya melangkah.

Malam itu, Hilya mengurung diri di kamarnya. Ia menatap layar ponselnya, jari-jarinya sibuk menggulir obrolan grup dengan teman-temannya, namun pikirannya melayang entah ke mana. Sesekali ia membayangkan bagaimana rupa pemuda yang disebut Abi dan Umi. Apakah ia orang yang menyenangkan? Atau justru sebaliknya?

Ia meraih Al-Qur’an di meja samping tempat tidurnya. Dengan hati yang gelisah, ia membuka lembarannya, berharap menemukan jawaban. Hilya membaca surat Al-Baqarah ayat 216:

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui."

Ayat itu menggema di hati Hilya, menimbulkan perasaan campur aduk. Apakah keputusan Abi dan Umi benar-benar takdir yang terbaik untuknya?

Tiga hari berlalu dengan cepat. Hari ini adalah hari di mana Hilya akan bertemu dengan orang tua pria yang dijodohkan untuknya. Hilya duduk di ruang tamu, mengenakan gamis sederhana berwarna biru muda. Tangannya bermain dengan ujung jilbabnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin tidak terkendali.

“Tenang saja, Nak. Keluarga mereka adalah keluarga yang baik,” bisik Umi sambil menepuk pundaknya sebelum beranjak menuju dapur.

Pintu depan terbuka perlahan, dan Abi masuk bersama seorang pria paruh baya. Hilya menundukkan pandangannya, hanya melihat bayangan sepatu dan ujung celana kain yang rapi.

“Hilya, ini Pak Malik ayah nak Arfan,” suara Abi memperkenalkan.

Hilya perlahan mengangkat pandangannya. Di hadapannya berdiri seorang pria paruh baya dengan wajah teduh, namun bukan dengan kesan lembut yang biasa, melainkan dengan aura yang bijaksana, seolah mengerti keraguan dalam diri Hilya. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan peci hitam, menampilkan sosok yang matang dengan kesan tegas namun ramah.

“Assalamualaikum Nak Hilya,” suara Pak Malik terdengar jelas dan tenang, namun ada ketegasan dalam setiap ucapannya.

“Waalaikumussalam, Pak,” jawab Hilya hampir berbisik.

Percakapan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Pak Malik menjelaskan pekerjaan anaknya sebagai seorang pengajar di lembaga pendidikan Islam yang baru saja berkembang, dan menceritakan dengan sederhana tentang keluarganya yang tinggal di desa sebelah. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar tulus, tetapi Hilya bisa merasakan adanya lapisan kedalaman dalam perkataannya—ada sesuatu yang belum ia ungkapkan sepenuhnya. Pria ini sepertinya sangat memahami keadaannya, namun dalam cara yang lebih halus dan penuh kebijaksanaan.

Namun, meski kesan pertama orang tua Arfan cukup baik, hati Hilya masih dipenuhi kebimbangan. Di era seperti ini, semua terasa serba cepat dan tak pasti. Apakah benar ini jalannya? Atau ada sesuatu yang belum ia pahami?

Ketika Pak Malik pulang, Hilya duduk termenung di ruang tamu. Abi dan Umi memandangnya penuh harap.

“Bagaimana perasaanmu, Nak?” tanya Umi hati-hati.

“Pak Malik… beliau sangat baik, Umi. Tapi Hilya butuh waktu untuk mencerna semuanya,” jawab Hilya jujur, masih merasakan keraguan yang mengganjal.

“Tidak apa-apa, Nak. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Kami hanya ingin kamu bahagia,” Abi menepuk pundaknya lembut.

Namun, di balik senyuman Abi dan Umi, tersimpan sesuatu yang belum mereka ungkapkan. Sebuah alasan yang membuat mereka begitu ingin mempercepat perjodohan ini. Alasan yang kelak akan mengubah hidup Hilya selamanya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Umi adibah
Mohon dukungannya ya
2025-01-20 15:25:05
0
6 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status