Share

4: KEMBALI

DIRGA Point of View

Andien menatap lekat wajahku, lalu pandangannya turun mengamati penampilanku dari kepala hingga ujung kaki. Ia tersenyum, bukan senyuman yang tulus, tapi terlihat lebih dipaksakan.

"Jadi, selama itu Kak Dirga suka sama aku?" tanyanya.

Bukannya tadi aku sudah bilang ya kalau aku mencintainya selama ini?

"Tapi selama ini baik-baik aja kan tanpa aku?" lanjutnya lagi.

"Maksud kamu?" perasaanku mulai tidak enak, sepertinya akhir dari percakapan ini akan menyulut emosiku. Aku berusaha menenangkan gemuruh di dada dan kepalaku. Walaupun wajar jika ia meragukanku, tetapi menganggapku baik-baik saja sugguh itu tak benar sama sekali.

"Well, look at me Kak!"

"I am!"

'Sedari tadi aku terus memandangmu sayang!' batinku.

"Aku tidak dalam level kepercayaan diri yang baik pada diriku sendiri. Apalagi untuk membuka hatiku lagi" katanya lagi.

'Oh, ok! Jadi itu sebabnya?'

Aku mengatur napasku. Menarik dalam, menahan udara di paru-paru untuk sesaat, kemudian menghembuskan udara itu kembali perlahan. Aku berusaha menenangkan diri.

'Omongan gue dari tadi kayanya udah bikin dia ga nyaman banget.'

'Ya Tuhan, sepertinya aku harus menjahit mulutku sepulang dari sini.'

'Udah pasti sih ini. Dibersikap kaya gini pasti karena omongan-omongan agresif gue dari tadiBad move, Dirga!' suara-suara di kepalaku mulai membuatku gila.

Aku berusaha merangkai kalimat di benakku, untuk menanggapi pernyataannya setenang mungkin.

"Ga usah buru-buru, Ndien... Aku bisa nunggu kok. Dan aku gak keberatan untuk dekatin kamu dan anak-anak pelan-pelan, supaya kamu nyaman".

Andien diam, sesekali menyesap kopi di genggamannya, lalu menelusuri pinggir tumbler itu dengan jarinya.

"Andien... Just give us a chance... I'm so in love with you. Aku lelah menyimpan perasaan ini sendiri. Aku ingin kamu bisa merasakannya. See I can do anything for you. See that I love you. Seeing me! Please..."

Kami terdiam. Andien masih menatap tumbler di genggamannya. Aku tau dia mendengarku. Sementara aku terus menatap lekat dirinya.

'ting'

Notifikasi pesan masuk ke ponselku.

[Kak Nisa]

Lo di mana?

[Me]

Jagain jodoh.

[Kak Nisa]

Lo utang cerita sama gue.

Gue mau ke Starbucks depan sama temen-temen. Nyambung ngobrol bentar, udah lama gak ketemu.

[Me]

Sekarang?

[Kak Nisa]

Ntar tunggu lo nikah lagi. Ya sekaranglah!

[Me]

Hahahaha

Ya udah, 10 menit lagi ya Kak, di lobby.

[Kak Nisa]

Ga usah. Gue bareng Lisa. Lo nyusul aja. Ini gue udah di parkiran.

[Me]

Ok

"Udah mau pulang?" tanya Andien.

Aku mematikan layar ponselku dan kembali menatap perempuan pujaanku itu.

"Aku juga mau pulang, sudah malam. Anak-anak pasti sudah lelah." katanya lagi.

"Kak Nisa mau nongkrong dulu sama teman-temannya, tapi dia udah jalan duluan, aku tinggal nyusul jemput." jawabku.

"Jadi benar itu kakak kamu?" tanya Andien.

"Emang kamu pikir siapa?" aku balas bertanya.

"Iya tadi aku lihat emang ada mirip-miripnya." jawabnya.

"Kalau lihat aku, ada manis-manisnya?" candaku dan dijawab tawa renyahnya.

Aku masih saja terpana dengan tawa dan senyumannya. Hatiku selalu menghangat melihatnya.

"Mau jalan sebentar mutarin gedung ini?" ajakku. Aku masih ingin menikmati waktu sebentar lagi hanya dengannya. Ia pun mengangguk tanda setuju.

Dalam diam kami berjalan beriringan. Aku ingin sekali menggenggam tangannya, tetapi daripada nantinya berakhir dengan tamparan - lebih baik kusimpan saja tangan ini di dalam saku celanaku. Bahkan hanya dengan berjalan bersama seperti ini, hatiku begitu menghangat.

"Dulu kenapa ga pernah bilang?" pertanyaan Andien memecah kesunyian di antara kami.

"Terlalu banyak rival" jawabku seraya tertawa garing. Memberi sedikit jeda sebelum mencoba menjelaskan lebih lanjut.

"Ga pede juga sih, Ayah dan Ibu kamu kan terkenal terpandang, tegas, galak malah. Kamunya juga jarang banget keluar rumah. Rasanya ga ada moment yang ngebuat kita bisa dekat. Waktu itu pun aku masih labil. Masa-masa beranjak remaja yang bahkan kita masih mencari jati diri kita sendiri. Aku lagi senang-senangnya main dan bikin masalah. Jujur, di masa itu cinta bukan prioritasku. Aku ga mau seperti teman-temanku yang pacaran hanya untuk ajang pelepasan hormon pubertas, sekedar buat senang-senang aja. Apalagi orang yang aku suka itu kamu. Tapi aku sering di dekat kamu, cuma kamu ga sadar.

"Dan di saat aku sudah siap untuk nyatain perasaanku ke kamu, ternyata kamu udah ga tinggal di situ."

Andien menoleh sambil tersenyum begitu manis sambil memiringkan wajahnya. Dia kemudian memegang lenganku, berhenti melangkah.

Bertanya dengan suara lembutnya...

"Bukan karena aku ga cukup berharga? Ga pantas buat kamu?"

"Kamu berharga, Andien! Kita akan butuh waktu semalam suntuk kalau kamu mau mendengarkan ceritaku tentang kamu!" jawabku.

Ya Tuhan, apa yang terjadi dengannya? Kenapa ia begitu meragukan nilai dirinya?

"Oh ya? Hmm, next time maybe!" ujarnya seraya menjauhiku.

Aku mengamatinya naik ke undakan yang membatasi taman di sepanjang sisi perjalan kami. Lalu melangkah mendekat padanya.

"Hati-hati!" kataku.

"Aku pakai sneakers kok, aman." sanggahnya.

Dia yang berjalan di undakan itu kini terlihat tak terlalu jauh berbeda tinggi denganku.

Andien berhenti tepat di samping salah satu pilar - di halaman luar salah satu gedung yang ada di komplek itu. Aku berdiri tepat menghadapnya. Kami saling menatap, sepertinya tidak berniat untuk mengalihkan pandangan masing-masing.

"Jangankan untuk mengakhiri, bahkan ada cerita yang belum sempat dimulai. Kupikir, ini semua... Tidak nyata." ucapnya.

"Then let's start now. Our relationship." pintaku.

Andien terdiam. Entah kapan jemarinya menyentuh rahangku, mengelusnya perlahan, dan... Buliran bening menetes dari kedua matanya.

Saat itu hatiku mengingatkanku 'jika kamu terus mengingat seseorang bahkan ketika ia tak tergapai, maka sebenarnya ia pun merindumu.'

Andien tertawa sedih, "Lucu ya... Bahkan saat hidupku seperti kembali ke titik nol, satu-satunya orang yang ingin aku temui - justru orang yang bahkan aku ga ingat wajahnya. Orang yang aku harapkan untuk menemuiku - justru orang yang ga pernah tau tentang perasaanku, yang bahkan ga pernah menyatakan apapun padaku. Di satu sisi, aku kecewa karena kamu ga pernah mengatakan apapun padaku sementara aku terus menunggu. Tapi di sisi lain, aku selalu berharap, jika aku bisa kembali mencinta, bisakah kamu yang datang?"

Parau, suaranya berubah parau menjelang kalimat yang ia tuturkan berakhir.

Aku menyentuh kedua lengannya lembut, menatap lekat kedua netranya yang tergenang, "Kamu lupa, I already said that I love you. Then, now and my plans forever. I miss you too, Andien. So bad! And if there's still a chance for me to start again, I really want you to be the one."

Kakiku melangkah, lebih merapat lagi padanya. Tangannya masih memberi sentuhan lembut di rahangku. Kami masih bersitatap.

Aku mengikis jarak. Mendekatkan wajah kami.

"Aku mencintaimu!" ucapku seraya menempelkan bibirku di keningnya, lalu ke puncak hidungnya, berlanjut ke bibirnya. Memanggutnya perlahan.

Aku ingin ia merasakan betapa aku mencintainya.

Andien masih terdiam.

Aku berhenti sejenak, menarik wajahku, mengamatinya yang kini berurai air mata.

Sedetik, dua detik, tiga detik, tak ada tamparan yang mendarat di pipiku.

Tangannya sudah turun mendarat di pundakku.

"Listen, baby! I love you. Really love you."

Sebelah tanganku turun memeluk pinggangnya, tangan yang lain menahan tengkuknya, aku nekat mencium bibirnya kembali.

Kali ini, ia pun membalas ciumanku. Kami saling memanggut, mengecup, mengulum. Tak menuntut lebih, baik diriku ataupun dirinya. Aku hanya ingin menyayanginya, menebus dosaku karena membiarkannya menunggu, menunjukkan padanya bahwa sejak saat ini aku akan selalu ada bersamanya. Aku ingin ia tau aku menginginkannya, setidaknya  untuk saat ini - dengan cara seperti ini.

'God, I love her so bad! Thank you for bringing her back to me.'

Setelah beberapa saat kami saling memberikan dan menikmati kasih sayang, kami berhenti. Tanganku berpindah, mengusap lembut wajahnya dari air mata yang membasahi. Lalu tersenyum.

Terkunci di kedua netra hazel miliknya, aku kembali mengeratkan rengkuhanku di pinggangnya.

"Kita official kan, sayang?" tanyaku.

Andien tersenyum, mengangguk.

"Semoga kamu sabar ngadepin aku. Nama tengahku nyebelin kalau kamu mau tau." ujarnya sambil tertawa renyah.

Aku ikut tersenyum melihatnya.

"I love you." hanya itu yang mampu kuucapkan.

Ia tidak menjawab pernyataanku, melainkan menyentuh lembut rahangku lagi.

Tak apa, aku sanggup menunggu seumur hidup hingga ia mencintaiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status