🌹🌹🌹
Entah angin apa yang membawa Meli tiba-tiba sudah berada tepat di depan meja Naira.
Wajah sinisnya begitu nampak, kebencian begitu tergambar jelas.
"Buang jauh-jauh mimpimu untuk merayu Andika! Pria itu tak akan mungkin jatuh cinta padamu! Dasar gadis tak tahu malu!" Ucapnya tanpa basa-basi lagi.
Naira terkejut mendengar apa yang diucapkan Meli. Namun gadis ini berusaha tenang. Andai saat ini Tasya di sampingnya mungkin gadis itulah yang lebih dulu melawan Meli.
"Apa maksudmu, Mel?"
"Jangan pura-pura bodoh, Nai! Semua orang tahu bahwa kamu adalah salah satu pengagum rahasia Andika! Yang tiada henti menerornya dengan surat-surat cinta tiap pagi!" Cemoh Meli dan membuat suasana ruangan kelas menjadi riuh.
"Dasar tak tahu malu!"
"Dimana harga dirimu, Nai!"
"Gadis macam apa kamu, Nai?"
Seru beberapa orang membuat Naira makin terpojok dan hanya mampu meneteskan air mata serta menggelengkan kepalanya.
"Kalian mau tahu, gadis ini sudah tak punya muka lagi! Sekalipun tiada balasan yang diterima namun masih saja nekat tiap hari mengirimi surat!" Tuding Meli makin menjadi, merasa di atas angin mendapat respon dari teman-teman kelas Naira.
"Dasar Naira!" Cibir seorang teman lalu mendorong kepala Naira dengan telunjuknya.
"Aku tidak seperti itu, dia bohong!" Jerit Naira tak mampu lagi untuk menahan penganiayaan itu.
Jeritan Naira hingga terdengar ke luar kelas, Tasya yang mendengar segera berlari masuk. Dan betapa terkejutnya melihat Naira menangis di kelilingi oleh anak-anak satu kelasnya bahkan ada Meli si biang kerok itu.
"Berhentiii ....!" Teriaknya tanpa peduli lagi suaranya akan menggelegar ke mana-mana.
Semua mata beralih memandang Tasya, perasaan mereka menciut dan melangkah mundur memberi jalan agar gadis itu dapat lewat. Mereka tahu bagaimana Tasya saat kemarahan tak dapat dikendalikan.
"Kalian berbuat apa pada sahabatku?!" Tanyanya tajam. Tasya memandangi satu persatu dan pandangan membentur Meli.
Gadis yang dipandangi hanya acuh dengan santainya dia berjalan meninggalkan tempatnya. Namun belum berapa langkah tangan Tasya telah mencekalnya.
"Mau kemana? Apa sudah puas membuat sahabatku menangis! Jadi seorang gadis itu yang terhormat dikit, Dong!" tandas Tasya dengan menekan sedikit kemarahannya.
"Lepaskan tanganku, atau aku akan melaporkan ini sebuah pembulian!" Protes Meli sambil mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Tasya.
Tasya tersenyum mendengarnya.
"Lakukanlah! Atau kamu yang akan lebih dulu aku laporkan!" Tasya balik mengancam.
"Lalu apa maumu!?" desisnya pasrah.
"Minta maaflah pada Naira, maka kuijinkan kamu keluar dari kelas ini dengan baik-baik!" Ucap Tasya dengan penekanan dan mempererat cengkeramannya.
Meli mendelik ucapan Tasya tak masuk di akal.
"Kamu mau atau tidak!" Bentak Tasya membuat Meli makin mengkerut.
"Lepaskan dia, Sya! Aku tak apa-apa!" Pinta Naira dengan suara lembutnya.
"Nah, cepat lepaskan tanganku! Bukankah, dia saja tidak keberatan! Karena apa yang aku ucapkan adalah benar! Gadis sepertinya itu harus di beri pelajaran!" cibir Meli.
"Plaaak ....!" Tamparan keras mendarat di pipi mulus Meli.
"Cepat pergi dari sini, atau kutampar lagi pipimu!" usir Tasya. Gadis itu sudah memberi tamparan manis di pipi Meli.
Sedang Meli segera melangkah keluar dengan memegang bekas tamparan Tasya.
Tasya mengedarkan pandangannya semua orang kembali ke tempat masing-masing.
"Nai, kamu baik-baik saja?" tanyanya lalu mendekati Naira dan menggenggam lembut tangan sahabatnya itu.
Naira hanya tersenyum mengangguk.
"Maafkan aku, Nai! Aku terlalu lama di perpustakaan!" ucapnya penuh penyesalan.
Andai saja tadi ia mengajak Naira mungkin perlakuan keji Meli tak akan terjadi. Pasti saat ini sahabatnya ini mengalami tekanan batin.
"Kamu harus kuat, Nai! Tak lama lagi kita akan lulus dan tidak akan ketemu orang-orang itu lagi!" Tasya memberi penguatan. Dan lagi-lagi Naira hanya mengangguk mengiyakan.
Merekapun terdiam, namun tak lama tatapan mata Naira membentur satu sosok yang telah berdiri di hadapannya.
"Aku ingin berbicara padamu, Nai! Ayo ikut!" Ajak pria itu dan menarik paksa tangan Naira.
"Lepaskan temanku! Hey ....!" Seru Tasya.
"Aku hanya meminjamnya, tak akan lama! Dan aku jamin dia baik-baik saja!" sahutnya dengan tatapan dingin.
Naira diam saja mengikuti langkah kaki itu, dadanya berdebar tak menentu, sesorang yang di kagumi berada dekat di depannya bahkan sedang menggenggam tangannya.
"Kau mau membawaku ke mana, And?" tanya Naira, akhirnya gadis itu mampu mengeluarkan suara. Saat melihat Andika membawanya ke ujung belakang sekolah.
Andika hanya diam tak menyahuti pertanyaan Naira.
Perlahan Andika melepaskan genggamannya dan menatap tajam pada Naira.
"Apa yang kau lakukan pada Meli, Nai? Mengapa kau menamparnya!" Tanya Andika dengan wajah datar.
"Aku ....!" tunjuk Naira pada dirinya sendiri.
"Iya kamu! Tamparan itu tergambar jelas di pipinya!" Ungkap Andika.
Naira gelisah apa yang harus dikatakannya kalau bukan dia yang menampar. Tapi ia tak mungkin mengatakan bahwa semua itu Tasya yang melakukannya.
"Aku ... Aku ...!" gugup Naira
"Bicara yang jelas, Nai! Semua orang tahu kan aku ini siapa buat Meli! Dan ....!"
"Cukup, And! Tak usah kau perjelas aku tahu siapa dirimu dan Meli, aku juga tahu bagaimana hubungan kalian! Satu hal yang harus kamu tahu, aku tak akan menamparnya jika dia bisa menjaga mulutnya!" putus Naira dengan nafas memburu tak ingin mendengar kelanjutan ucapan Andika tentang siapa Meli buat pria itu. Iapun membalik dan berlari meninggalkan Andika yang mematung melihat kepergiannya.
"Yah, gadis itu salah paham lagi!" Andika mengaruk kepalanya.
***
4 tahun kemudian setelah kejadian di belakang sekolah itu.
Seorang gadis dengan anggunnya berjalan mencari bus yang akan membawanya ke kampung halamannya. Tubuhnya yang semampai menambah pesona dan membuat mata para pria tak jemu memandangnya.
"Bruukk" seseorang menabrak gadis itu.
Gadis itu hampir saja terjatuh untung tangan pria itu segera meraih pinggang wanita itu. Tatapan mata yang tajam membuat hati Naira berdebar tak menentu. Tatapan mata itu yang selalu ia rindukan selama empat tahun belakangan ini.
"Andika ...." lirih gadis itu.
"Maaf....!" ucapa Andika lalu melepaskan pelukan itu. Sang gadis hanya tersenyum tanpa melepas kaca matanya. Andika segera berlalu setelah mengucapkan maaf itu. Pria itu seperti sedang terburu-buru.
"Masih seperti dulu, jantung ini selalu berdetak kencang bila melihatnya" bisik Naira.
Dan takdir kenapa selalu mempertemukan mereka jika akhirnya Naira tak bisa bahagia bersama pria itu. Tapi kedewasaan Naira saat ini membuat gadis itu lebih tegar.
Bersambung.......
***
Empat tahun kemudian setelah kejadian di belakang sekolah itu.Seorang gadis dengan anggunnya berjalan mencari bus yang akan membawa ke kampung halaman. Tubuhnya yang semampai menambah pesona dan membuat mata para pria tak jemu untuk memandang.
"Bruukk ....!" seseorang menabrak gadis itu.
Gadis itu hampir saja terjatuh untung tangan pria itu segera meraih pinggang wanita itu. Tatapan mata yang tajam membuat hati Naira berdebar tak menentu. Tatapan mata itu yang selalu ia rindukan selama empat tahun belakangan ini.
"Andika ...." lirih gadis itu.
"Maaf....!" ucapa Andika lalu melepaskan pelukan itu. Sang gadis hanya tersenyum tanpa melepas kaca matanya. Andika segera berlalu setelah mengucapkan maaf itu. Pria itu seperti sedang terburu-buru.
"Masih seperti dulu, jantung ini selalu berdetak kencang bila melihatnya" bisik Naira.
Dan takdir kenapa selalu mempertemukan mereka jika akhirnya Naira tak bisa bahagia bersama pria itu. Tapi kedewasaan Naira saat ini membuat gadis itu lebih tegar.Bersambung .....
🌹🌹🌹🌹Saat itu di sebuah butik seorang gadis dengan cekatan merapikan penempatan barang-barang yang dianggap indah di matanya.Gadis itu nampak terlalu serius hingga tak menyadari seseorang telah di sampingnya."Maaf Nona, apakah di sini disediakan jas kantor yang berbahankan katun sutra?" tanya seorang pria tampan berkaca mata.Wanita itu mengangkat wajahnya melihat kearah suara yang mengganggu dan Hatinya tiba-tiba berdebar saat tahu yang berdiri di depannya itu."Bisma ...." kejutnya."Anda mengenalku?" tanya pria yang bernama Bisma itu.Gadis itu mengangguk."Dimana kau mengenalku?" tanya Bisma lagi. Ia begitu penasaran di mana wanita cantik ini mengenalnya."Kamu tidak mengingatku?" gadis itu balik bertanya. Bisma menggelengkan kepalanya. Wajah gadis itu nampak kecewa."Aku teman seSMA mu waktu dulu!" jelas Tasya pelan sambil memanyunkan bibirnya."Tunggu ... Sepertinya aku mulai
TAKDIRKU ADALAH KAMU🌹🌹🌹🌹Siang itu Naira mengajak Ibunya melihat rumah yang baru di beli dari gaji pertamanya."Terima kasih, Nai!" ucapnya berlinangan air mata."Maafkan aku, Bu! Belum bisa membahagiakan mu, aku hanya bisa memberikan rumah ini untukmu!" Naira memeluk ibunya. Wanita itu mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. "Ibu, masuklah! Aku harus berangkat kerja, maaf tidak bisa membantumu membereskan rumah ini!" ucap Naira sambil mencium pipi Sulastri dan Gadis itupun beranjak pergi meninggalkan ibunya.Pagi ini ia harus ke kantor tempat barunya bekerja. Setelah beberapa bulan mengabdi di Puskesmas Kecamatan kini dia ditugaskan untuk mengabdi di rumah sakit Umum Raha.Dengan kepandaian serta keuletannya kini telah membuktikan bahwa dirinya benar-benar mampu melawan kerasnya
🌹🌹🌹Saat ini Naira sedang memeriksa keadaan Ayah Andika. Dan kebetulan saat ini dalam ruangan itu tidak banyak yang menemani."Sudah dimakan buburnya, Tuan?" tanya Naira lembut."Belum, Dok!" jawab Ayah Andika.Naira lalu duduk di samping pria paruh baya itu."Kenapa tidak dimakan, Tuan, nanti Tuan akan lama sembuhnya!" jelas Naira pelan."Baiklah dok, sudah memperhatikan saya!"Naira mengangguk, lalu berpamitan untuk melihat pasien yang lain lagi."Dokter muda, tunggu! Siapa namamu?" panggil Husen mencegah kepergian dokter muda itu.Naira tersenyum lalu balik ke tempat pembaringan ayah Andika."Naira, Tuan! Nama saya Naira!" sahutnya Lembut."Nama yang cantik, maukah kau menjadi menantuku?!" Husen sudah terpikat pada kelembutan sikap Naira hingga b
🌹🌹🌹Setelah menjenguk ayah Andika, Tasya berniat untuk mengunjungi rumah sahabatnya yang telah lama tak ditemuinya itu. Iapun menatap Bisma dan ingin meminta persetujuan dari pria yang belakangan ini sering menghabiskan waktu bersamanya."Ada apa kau memandangiku seperti itu! Jangan bilang kau mulai mencintaiku?" ledek Bisma sambil tersenyum lebar."Kau terlalu percaya diri!" elak Tasya mengerucutkan bibirnya."Bisakah kau mengantarkan aku kerumah sahabatku, Bis!?" sambung Tasya lagi."Ke rumah Naira, maksudmu!"Tasya mengangguk cepat.Bisma tersenyum mengiyakan sambil berbisik dalam hati."Bagaimana aku akan menolakmu, Sya! Kau begitu berarti untukku."Tasya tersenyum senang. Merekapun segera menuju ke arah rumah Naira. Tapi betapa kecawanya hati mereka saat menemui rum
🌹🌹🌹 "Nai, kaukah ini?" tanya seorang gadis dalam keremangan senja. Naira mengangguk merekapun saling berpelukan diiringi tangisan yang mengharukan. "Mengapa kau setega ini padaku, Nai! Pergi tanpa berita, apakah kau tidak merindukanku, eoh!" ucap Tasya memandang tajam pada sahabatnya tersebut. "Maafkan aku!" lirih Naira tanpa berani menatap Tasya. "Aku kehilanganmu, Bodoh! Kamu kemana saja selama ini, tidak sempatkah kau memberiku kabar sedetik saja." "Maafkan aku!" Naira hanya mampu mengucapkan kata-kata itu. Dia merasa bersalah karena pergi tanpa berpamitan pada Tasya. "Tidakkah kau mengijinkan aku untuk duduk lebih dulu, sebelum aku bercerita?" tanya Naira sambil menekuk wajahnya menatap Tasya. "Tidak!!! Ini hukumanmu karena hilang tanpa kabar?" sungut Tasya berpura-pura marah pada Naira "Ayolah ... aku capek berdiri! Dan maafkanlah kesalahanku ini, kumohon," rajuk Naira sambil menarik kedua kupingnya
🌹🌹🌹Naira belum mampu memejamkan matanya. Ia masih teringat kembali permintaan ayah Andika."Kabulkan permintaan orang tua ini, Nak!""Tapi Tuan, apakah pantas aku untuk putra tuan?" Naira bingung harus menjawab apa.Disisi lain dia memang mencintai Andika tapi ia ingin pria itu juga mencintainya bukan karena perjodohan."Dari sekian banyak gadis hanyalah kamu menurutku yang pantas untuk putraku!""Tapi Tuan!""Aku mohon, Nai! Aku akan tenang meninggalkan dia bila Andika memiliki pasangan hidup seperti dirimu"Naira terdiam. Hingga kini ia bingung harus bagaimana."Ya Tuhan inikah takdir hidupku!" batin Naira dalam diamnya sebelum ia terlelap dalam alam mimpi. Namun malam ini seperti mata itu enggan terpejam. Pikirannya masih melayang-layang jauh memikirkan problema yang
🌹🌹🌹🌹Seorang pria paruh baya menatap sayu pada kedua wanita itu. Hatinya tersayat pilu menatap anak dan mantan istrinya yang dia tinggalkan dulu."Maafkan ayah, Nai!" bisik lelaki itu. Iapun segera berjalan meninggalkan mereka.Tapi tanpa sengaja Sulastri menoleh ke arah pria paruh baya tersebut saat ojek sudah membawa barang-barangnya. Mata mereka saling menatap. Namun tatapan yang diberikan oleh Sulastri adalah tatapan yang mematikan. Dengan langkah tergesa Sulastri menarik tangan Naira cepat. Naira terkejut namun mengikuti saja langkah ibunya."Pelan-pelan, Ibu! Kakiku terasa mau patah." Naira memperlambat langkahnya. Namun ibunya tetap menarik kuat tangan Naira."Ibuuu ... Kakiku sakit" rengek Naira."Aduh Ibu, sebenarnya kau sedang mengejar apa?" tanya Nairakesal. Melihat ibunya tak peduli dengan keadaannya."Diamlah ....!!! Ikuti saja i
🌹🌹🌹🌹"Tok ... Tok" suara pintu diketuk membuat Sulastri terkejut. Iapun segera membuka pintunya.Betapa terkejutnya saat melihat siapa yang kini berdiri di depannya. Pria yang selama ini begitu dibenci kini hadir di depan pintu rumahnya. Lelaki yang telah menoreh luka dan membuatnya menderita hingga kini mampu ia lupakan."Untuk apa kamu datang menemuiku lagi!" bentak Sulastri.Pria itu memandang sejenak lalu jatuh berlutut di bawah kaki wanita itu."Maafkan aku, Tri! aku telah menyakiti kalian, aku ingin menebus kesalahan itu!" tatap pria itu meminta maaf pada mantan istrinya. Dan bersimbuh, Sulastri bersurut mundur menghindari jangkauan tangan pria paruh baya itu.Kenangan masa lalu kembali bermain di kepalanya."Maaf untuk apa! Kamu pikir kesalahanmu yang membuat kami, menderita itu dengan mudah kami maafkan! Tidaak ... Tidak akan pernah." sungut Sulastri."Aku mohon, aku sangat menyesali