🌹🌹🌹🌹
Saat itu di sebuah butik seorang gadis dengan cekatan merapikan penempatan barang-barang yang dianggap indah di matanya.
Gadis itu nampak terlalu serius hingga tak menyadari seseorang telah di sampingnya.
"Maaf Nona, apakah di sini disediakan jas kantor yang berbahankan katun sutra?" tanya seorang pria tampan berkaca mata.
Wanita itu mengangkat wajahnya melihat kearah suara yang mengganggu dan Hatinya tiba-tiba berdebar saat tahu yang berdiri di depannya itu.
"Bisma ...." kejutnya.
"Anda mengenalku?" tanya pria yang bernama Bisma itu.
Gadis itu mengangguk.
"Dimana kau mengenalku?" tanya Bisma lagi. Ia begitu penasaran di mana wanita cantik ini mengenalnya.
"Kamu tidak mengingatku?" gadis itu balik bertanya. Bisma menggelengkan kepalanya. Wajah gadis itu nampak kecewa.
"Aku teman seSMA mu waktu dulu!" jelas Tasya pelan sambil memanyunkan bibirnya.
"Tunggu ... Sepertinya aku mulai ingat!"
"Siapa?"
"Kamu gadis yang terkena lemparan bolaku waktu itu, kan!" Tasya tertawa Bisma semakin yakin dan kini ikut tertawa. Ia tak pernah menyangka akan bertemu dengan salah satu sahabatnya.
"Ternyata kamu telah jadi pengusaha yang sukses, Ya?" celetuk Bisma.
"Masih seperti ini saja hehe" Tasya merendah.
"Kalau kamu sekarang kerja dimana?" Tasya balik bertanya.
"Aku bekerja di kantornya Andika!" jelasnya.
"Oh ... Ya gimana kabar sahabatmu itu! Siapa lagi namanya?" Bisma memijit keningnya untuk mengingat sahabat Tasya.
"Naira maksudmu!?" Bisma mengangguk mengiyakan.
"Entahlah dimana dia saat ini, sudah empat tahun aku tak pernah bertemu dengannya, terakhir aku dengar kabarnya ada di Jakarta!" cerita Tasya begitu sedih.
Gadis itu membayangkan setiap kenangan bersama sahabatnya itu.
Bisma ikut terenyuh juga melihat Tasya meneteskan air mata mengenang sahabatnya yang kini tak ditau rimbanya.
***
"Ibu .... " panggil gadis berkaca mata itu. Wanita setengah baya itu menoleh."Ibu ... Ibu ...." ucap gadis itu terbata lalu berlutut di bawah kaki wanita yang dipanggilnya ibu tersebut.
"Naira ...." lirih wanita itu tak dapat menahan air mata. Wanita itu menangis tak percaya bahwa yang di depannya kini adalah anak yang pergi meninggalkan dia empat tahun silam.
"Ibu ... Maafkan anakmu ini," isak Naira.
"Kau tumbuh dengan cepat, Sayang! Kau kini begitu cantik, Anakku! Maafkan ibumu ini yang tak bisa menjaga dan mengawasi perkembanganmu selama ini" tutur wanita itu sedih. Lalu memeluk anaknya.
"Jangan menangis, Ibu! Air matamu adalah derita bagiku." Naira menghapus lembut air mata yang jatuh di pipi wanita itu.
Naira membawa wanita itu masuk ke dalam rumah tua itu.****
Sedang saat itu Andika yang telah selesai memimpin rapat kini kembali ke ruangannya. Pria itu mencari Bisma namun tak menemukannya."Kemana Bisma?" ucapnya pelan.
Andika duduk di kursi kerja dan pikirannya selintas memikirkan tentang kejadian pagi tadi. Saat ia menabrak seseorang."Siapa gadis itu, mengapa tiba-tiba aku memikirkan seseorang yang telah lama tak kudengar kabar beritanya." pikir pria itu.
"Tok ... Tok ..." seseorang mengetuk ruangan itu.
"Masuklah!" perintah Andika.
Nampaklah seorang gadis yang selalu membuat Andika jengah dengan kedatangannya.
"Aku ingin mengajakmu makan siang, And!" kata wanita itu sedikit manja.
"Aku lagi sibuk!" tukas Andika memberi alasan.
"Kapan ada waktumu untukku, And?" tanya wanita itu yang tiada lain adalah Meli. Wanita yang begitu ambisius untuk memilikinya.
"Kamu tahu, kan! Apa kerjaanku di sini, Mel!" tekan Andika menahan kekesalannya.
"Hmmm baiklah ... Aku akan menunggumu di sini" desah Meli dengan malas. Lalu duduk di salah satu kursi di ruangan itu.
Bersambung.....
TAKDIRKU ADALAH KAMU🌹🌹🌹🌹Siang itu Naira mengajak Ibunya melihat rumah yang baru di beli dari gaji pertamanya."Terima kasih, Nai!" ucapnya berlinangan air mata."Maafkan aku, Bu! Belum bisa membahagiakan mu, aku hanya bisa memberikan rumah ini untukmu!" Naira memeluk ibunya. Wanita itu mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang. "Ibu, masuklah! Aku harus berangkat kerja, maaf tidak bisa membantumu membereskan rumah ini!" ucap Naira sambil mencium pipi Sulastri dan Gadis itupun beranjak pergi meninggalkan ibunya.Pagi ini ia harus ke kantor tempat barunya bekerja. Setelah beberapa bulan mengabdi di Puskesmas Kecamatan kini dia ditugaskan untuk mengabdi di rumah sakit Umum Raha.Dengan kepandaian serta keuletannya kini telah membuktikan bahwa dirinya benar-benar mampu melawan kerasnya
🌹🌹🌹Saat ini Naira sedang memeriksa keadaan Ayah Andika. Dan kebetulan saat ini dalam ruangan itu tidak banyak yang menemani."Sudah dimakan buburnya, Tuan?" tanya Naira lembut."Belum, Dok!" jawab Ayah Andika.Naira lalu duduk di samping pria paruh baya itu."Kenapa tidak dimakan, Tuan, nanti Tuan akan lama sembuhnya!" jelas Naira pelan."Baiklah dok, sudah memperhatikan saya!"Naira mengangguk, lalu berpamitan untuk melihat pasien yang lain lagi."Dokter muda, tunggu! Siapa namamu?" panggil Husen mencegah kepergian dokter muda itu.Naira tersenyum lalu balik ke tempat pembaringan ayah Andika."Naira, Tuan! Nama saya Naira!" sahutnya Lembut."Nama yang cantik, maukah kau menjadi menantuku?!" Husen sudah terpikat pada kelembutan sikap Naira hingga b
🌹🌹🌹Setelah menjenguk ayah Andika, Tasya berniat untuk mengunjungi rumah sahabatnya yang telah lama tak ditemuinya itu. Iapun menatap Bisma dan ingin meminta persetujuan dari pria yang belakangan ini sering menghabiskan waktu bersamanya."Ada apa kau memandangiku seperti itu! Jangan bilang kau mulai mencintaiku?" ledek Bisma sambil tersenyum lebar."Kau terlalu percaya diri!" elak Tasya mengerucutkan bibirnya."Bisakah kau mengantarkan aku kerumah sahabatku, Bis!?" sambung Tasya lagi."Ke rumah Naira, maksudmu!"Tasya mengangguk cepat.Bisma tersenyum mengiyakan sambil berbisik dalam hati."Bagaimana aku akan menolakmu, Sya! Kau begitu berarti untukku."Tasya tersenyum senang. Merekapun segera menuju ke arah rumah Naira. Tapi betapa kecawanya hati mereka saat menemui rum
🌹🌹🌹 "Nai, kaukah ini?" tanya seorang gadis dalam keremangan senja. Naira mengangguk merekapun saling berpelukan diiringi tangisan yang mengharukan. "Mengapa kau setega ini padaku, Nai! Pergi tanpa berita, apakah kau tidak merindukanku, eoh!" ucap Tasya memandang tajam pada sahabatnya tersebut. "Maafkan aku!" lirih Naira tanpa berani menatap Tasya. "Aku kehilanganmu, Bodoh! Kamu kemana saja selama ini, tidak sempatkah kau memberiku kabar sedetik saja." "Maafkan aku!" Naira hanya mampu mengucapkan kata-kata itu. Dia merasa bersalah karena pergi tanpa berpamitan pada Tasya. "Tidakkah kau mengijinkan aku untuk duduk lebih dulu, sebelum aku bercerita?" tanya Naira sambil menekuk wajahnya menatap Tasya. "Tidak!!! Ini hukumanmu karena hilang tanpa kabar?" sungut Tasya berpura-pura marah pada Naira "Ayolah ... aku capek berdiri! Dan maafkanlah kesalahanku ini, kumohon," rajuk Naira sambil menarik kedua kupingnya
🌹🌹🌹Naira belum mampu memejamkan matanya. Ia masih teringat kembali permintaan ayah Andika."Kabulkan permintaan orang tua ini, Nak!""Tapi Tuan, apakah pantas aku untuk putra tuan?" Naira bingung harus menjawab apa.Disisi lain dia memang mencintai Andika tapi ia ingin pria itu juga mencintainya bukan karena perjodohan."Dari sekian banyak gadis hanyalah kamu menurutku yang pantas untuk putraku!""Tapi Tuan!""Aku mohon, Nai! Aku akan tenang meninggalkan dia bila Andika memiliki pasangan hidup seperti dirimu"Naira terdiam. Hingga kini ia bingung harus bagaimana."Ya Tuhan inikah takdir hidupku!" batin Naira dalam diamnya sebelum ia terlelap dalam alam mimpi. Namun malam ini seperti mata itu enggan terpejam. Pikirannya masih melayang-layang jauh memikirkan problema yang
🌹🌹🌹🌹Seorang pria paruh baya menatap sayu pada kedua wanita itu. Hatinya tersayat pilu menatap anak dan mantan istrinya yang dia tinggalkan dulu."Maafkan ayah, Nai!" bisik lelaki itu. Iapun segera berjalan meninggalkan mereka.Tapi tanpa sengaja Sulastri menoleh ke arah pria paruh baya tersebut saat ojek sudah membawa barang-barangnya. Mata mereka saling menatap. Namun tatapan yang diberikan oleh Sulastri adalah tatapan yang mematikan. Dengan langkah tergesa Sulastri menarik tangan Naira cepat. Naira terkejut namun mengikuti saja langkah ibunya."Pelan-pelan, Ibu! Kakiku terasa mau patah." Naira memperlambat langkahnya. Namun ibunya tetap menarik kuat tangan Naira."Ibuuu ... Kakiku sakit" rengek Naira."Aduh Ibu, sebenarnya kau sedang mengejar apa?" tanya Nairakesal. Melihat ibunya tak peduli dengan keadaannya."Diamlah ....!!! Ikuti saja i
🌹🌹🌹🌹"Tok ... Tok" suara pintu diketuk membuat Sulastri terkejut. Iapun segera membuka pintunya.Betapa terkejutnya saat melihat siapa yang kini berdiri di depannya. Pria yang selama ini begitu dibenci kini hadir di depan pintu rumahnya. Lelaki yang telah menoreh luka dan membuatnya menderita hingga kini mampu ia lupakan."Untuk apa kamu datang menemuiku lagi!" bentak Sulastri.Pria itu memandang sejenak lalu jatuh berlutut di bawah kaki wanita itu."Maafkan aku, Tri! aku telah menyakiti kalian, aku ingin menebus kesalahan itu!" tatap pria itu meminta maaf pada mantan istrinya. Dan bersimbuh, Sulastri bersurut mundur menghindari jangkauan tangan pria paruh baya itu.Kenangan masa lalu kembali bermain di kepalanya."Maaf untuk apa! Kamu pikir kesalahanmu yang membuat kami, menderita itu dengan mudah kami maafkan! Tidaak ... Tidak akan pernah." sungut Sulastri."Aku mohon, aku sangat menyesali
🌹🌹🌹Saat ini Bisma menemani Tasya di butiknya. Pria itu begitu menyayangi gadis tersebut. Walau cinta itu tak mampu diungkapkannya tapi ia terasa begitu bahagia bila di sisi Tasya."Apa agendamu hari ini, Sya?" tanya Bisma sambil memainkan jarinya di meja."Aku akan menemui Naira!""Naira?? Sejak kapan kamu bertemu dengannya?" kejut Bisma mendengar Tasya telah bertemu sahabatnya dan gadis itu tak menceritakan sedikitpun padanya."Beberapa hari yang lalu dia datang menemuiku." jelas Tasya."Lalu mengapa kau diam saja! Apa aku tak berhak tahu!" sungut Bisma dengan wajah di tekuk. Tasya tertawa melihat reaksi dari wajah Bisma yang menurutnya sangat lucu."Aku pikir, nanti aku akan memberitahumu! Aku belum sempat!""Kamu memang jahat, tak pernah menganggapku ada!" kilah Bisma dengan bibir tambah dimanyunkan.Tasya semakin tertawa geli melihatnya, iapun mendekati pria itu dan mengu