Share

bab 3

Jarum jam sudah di angka 5 sore, tetapi Jannah belum juga selesai dengan pekerjaannya. Dia masih berkutik di depan komputer. Jannah masih mengerjakan proposal yang diminta oleh Abercio, atasannya. Wanita itu merenggangkan ototnya yang kaku karena duduk seharian penuh.

"Jan, aku duluan, ya?" Ratna pamit pada Jannah dan dia meninggalkan ruangan kerjanya.

Jannah tidak menjawab, tetapi dia hanya menganggukkan kepala dan melambaikan tangannya. Tetapi, matanya tetap fokus pada layar komputer.

"Permisi, Bu Jannah. Tuan Abercio, minta Ibu untuk segera mengumpulkan proposal sekarang juga." Asisten Abercio memberitahu Jannah untuk mengumpulkan proposal di ruangan Abercio.

"Baik," jawab Jannah dengan ragu-ragu karena saat ini dia belum selesai mengerjakan proposal tersebut.

Karena sudah tidak ada waktu untuk menyalin file Jannah pun langsung mengirimnya ke email atasannya. Sesudah itu Jannah keluar dari ruangannya dan melangkah cepat menuju ruangan CEO.

"Mana proposal yang saya minta?" Tanpa melihat ke arah Jannah, Abercio meminta proposal dari Jannah.

"Saya sudah mengirimnya ke email, Bapak." Jannah menjawab dengan kepala menunduk.

Abercio tidak banyak bertanya lagi, tetapi dia buka emailnya dan mengecek proposal yang dikirim oleh Jannah. Abercio mengerutkan keningnya saat melihat proposal yang menurutnya belum selesai dikerjakan oleh Jannah.

"Apa ini sudah selesai?" tanya Abercio dengan nada tinggi. Dia menunjukan layar komputernya ke arah Jannah.

"Be -- belum, Pak," jawab Jannah masih dengan kepala yang menunduk.

"Selesaikan pekerjaan kamu sekarang juga. Sebelum proposal ini jadi kamu tidak boleh pulang!" Dengan tegas Abercio meminta Jannah untuk menyelesaikan proposal tersebut.

"Baik, Tuan." Jannah kembali ke ruangannya dan dia kembali fokus dengan pekerjaannya.

Sedangkan karyawan yang lain sudah ada yang pulang dan ada juga yang lembur.

Saat Jannah fokus dengan pekerjaannya tiba-tiba terdengar suara ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk. Jannah melirik ke arah ponselnya dan dia mengangkat telfon tersebut saat dilayar ponselnya ternama nama ayah.

"Ayah, malam ini Jannah lembur." Jannah memberitahu ayahnya diseberang sana.

"Nanti kalau Jannah pulang, Jannah kabari Ayah," sambung Jannah.

Usai berbicara dengan sang ayah lewat telfon, Jannah pun kembali fokus dengan pekerjaannya.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 3 jam, akhirnya Jannah selesai juga menyelesaikan pekerjaannya. Proposal yang diminta oleh Abercio, akhirnya jadi juga.

Jannah pun langsung mengirim ke email CEO, setelah itu dia juga mendatangi ruangan CEO guna menyampaikan kalau dia sudah selesai mengerjakan proposal.

"Kamu sudah boleh, tapi besok kamu harus datang lebih pagi. Karena kamu harus ikut saya ke luar kota, kamu yang bertanggung jawab untuk menjelaskan kerja sama perusahaan kita dengan klien." Abercio meminta Jannah untuk ikut bersama ke luar kota.

"Baik, Pak," jawab Jannah. Sesudah itu Jannah pun langsung pamit pulang. Jannah keluar dari ruangan itu, dia kembali ke ruangannya mengambil tas dan sesudah itu Jannah pun langsung pulang.

Sedangkan Abercio, dia juga langsung pulang.

Abercio melesat mobilnya keluar dari parkiran. Dia melihat ke kiri dan kanan, lalu dia menghentikan mobilnya di depa halte.

Saat ini Jannah masih duduk di halte, dia menunggu ayahnya yang menjemputnya.

"Kenapa Pak Abercio berhenti di sini?" Jannah dibuat bingung saat melihat mobil atasannya yang berhenti di depan halte.

Setelah menunggu lama akhirnya Ayahnya Jannah datang dan Jannah langsung pulang.

Begitu juga dengan Abercio, pria itu langsung pulang ke rumahnya.

-

-

Brandon berjalan mondar mandir dengan raut wajah merah padam. Dia begitu marah karena ayahnya mengambil kembali perusahaan darinya.

"Ini semua gara-gara si wanita miskin itu, dia pasti sudah menghasut ayahku." Brandon mempersalahkan Jannah atas apa yang dilakukan ayahnya padanya.

"Aku harus beri wanita itu pelajaran agar dia dan keluarganya tahu rasa!" Brandon mengepalkan kedua tangannya. Saat ini amarahnya sudah sangat membludak. Dia tidak terima dijadikan karyawan biasa di perusahaannya sendiri.

Apa lagi selama ini Brandon sudah berkoar-koar pada kekasihnya jikalau dia adalah seorang CEO kaya raya dan dia juga sudah berjanji pada kekasihnya kekasih jikalau dalam waktu dekat mereka akan menikah, tetapi nyatanya sekarang semua fasilitas dan juga jabatannya di cabut oleh ayahnya.

Brandon yang sedari tadi di dalam kamarnya, dia pun bergegas keluar dan menemui ayahnya.

"Ada apa, Brandon?" tanya Lusi.

"Brandon ingin berbicara dengan Ayah." Brandon melihat ke arah Egi yang duduk santai sambil menghisap rokok. Pria paruh baya itu seakan tidak peduli dengan kedatangan putranya.

Brandon berjalan menghampiri Egi dan dia menjatuhkan bokongnya di kursi kosong yang ada di hadapan Ayahnya.

Egi masih tidak menghiraukan Brandon, matanya terus menatap ke arah jendela yang terbuka. Dia benar-benar merasa kecewa pada putranya itu.

"Ayah, Brandon ingin bicara dengan Ayah. Brandon tidak mau jadi karyawan biasa di perusahaan Brandon sendiri." Brandon pun to the poin pada Ayahnya dia mengatakan jikalau dia tidak mau jadi karyawan biasa.

"Itu bukan perusahaan milikmu. Jika kamu tidak terima dengan keputusan saya, kamu bisa cari melamar pekerjaan perusahaan lain." Egi berbicara dengan nada dingin dan datar. Pria paruh baya itu kembali menyesap rokok yang terselip diantara kedua jar tangannya dan asap rokok mengepul ke udara.

"Ayah, Brandon adalah anak laki-laki satu-satu di keluarga kita. Kenapa Ayah mempersulit putra Ayah sendiri?" Brandon menaikan intonasi suaranya, dia juga mengepalkan kedua tangannya dan matanya menatap nyalang sang Ayah.

"Anak tidak tahu diri sepertimu tidak pantas mendapatkan posisi sebagai CEO, dan Ayah rasa orang seperti kamu pantas menjadi karyawan biasa biar kamu tidak merendahkan orang lain." Egi sudah bulat dengan keputusannya dan keputusannya tidak bisa diganggu gugat.

mendengar perkataan Egi, Brandon membanting meja. Brandon sangat marah pada Ayahnya.

Brak!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status